Format
Ulang Upah Buruh
Rekson Silaban, KETUA MPO KSBSI
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
Intensitas aksi unjuk rasa buruh yang
menuntut kenaikan upah minimum meningkat tajam, baik dari skala massa maupun
daerah yang terlibat.
Konsolidasi buruh yang semakin kuat ditambah
dengan jaringan media sosial membuat cerita sukses kemenangan buruh di satu
daerah cepat menyebar dan ditiru daerah lain, bahkan dengan tuntutan kenaikan
yang lebih tinggi. Kenaikan upah minimum di DKI Jakarta yang sebelumnya
dianggap tertinggi (18,5 persen) kalah dengan kenaikan upah minimum 30 persen
di Banten, Sulawesi Utara, Bekasi.
Sekalipun tidak semua negara memiliki konsep
upah minimum—seperti Malaysia, Singapura, Jerman—setidaknya ada tiga hal utama
dalam menentukan upah.
Pertama, upah minimum sebagai jaring pengaman
sosial. Inilah respons pemerintah dalam melindungi buruh agar kebutuhannya yang
paling dasar dapat terpenuhi. Dalam hal ini pemerintah menentukan harga minimal
sehingga sekaligus juga berperan melindungi buruh dari kemungkinan
dieksploitasi majikan. Dalam pendekatan ini, upah minimum terutama untuk
melindungi kelompok buruh paling rentan, misalnya buruh tanpa keahlian,
pensiunan lanjut usia, informal, dan usaha kecil/mikro.
Kedua, upah minimum yang dipadukan dengan
jaminan sosial. Sejumlah negara mengaitkan upah minimum dengan tunjangan
keluarga, pensiun, pengangguran, perumahan, kesehatan. Namun, sistem ini sering
menimbulkan tekanan fiskal terhadap anggaran negara. Maka, praktik ini umumnya
hanya dilakukan oleh negara-negara kesejahteraan (welfare states).
Ketiga, upah minimum bertingkat. Upah minimum
dibedakan sesuai klasifikasi usaha. Misalnya, Vietnam membuat upah minimum yang
berbeda antara perusahaan domestik dan perusahaan asing. Australia membuat tiga
jenis: upah minimum federal, upah minimum pertanian, upah minimum lunak (soft
assistance). Negara lain membedakan upah minimum berdasarkan usaha skala
kecil/mikro dengan usaha skala besar.
Sumber
Masalah
Munculnya konflik upah minimum di Indonesia
salah satunya bersumber dari ketidakjelasan varian yang digunakan. Konsep upah
minimum yang kita praktikkan saat ini sebenarnya adalah upah minimum jaring
pengaman, setidaknya bisa dilihat dari 46 komponen upah minimum seperti
tertuang dalam Kepmenaker No 17/2005. Kuantitas dan kualitas bahan makan,
sandang, dan perumahan yang disediakan sangat minim.
Upah minimum kita juga hanya ditujukan
terhadap buruh lajang yang bekerja di bawah satu tahun. Dengan komponen seperti
itu, adalah sebuah kesalahan jika menggunakan upah minimum jaring pengaman
untuk menuntut upah hidup layak karena konsepnya memang hanya melindungi buruh
rentan.
Meski demikian, karena UU No 13/2003
mengamanatkan upah minimum untuk mencapai hidup layak, kalangan serikat buruh
akhirnya menggunakan upah minimum sebagai alat menuntut hidup layak.
Persoalannya adalah apakah buruh di Jakarta bisa hidup layak dengan upah Rp
1.529.000? Sesuai hasil survei dewan pengupahan, upah tersebut sudah sama
dengan upah hidup layak.
Apakah upah minimum melindungi semua buruh?
Tidak! Upah minimum hanya melindungi minoritas buruh. Kenaikan upah minimum
tentu saja penting. Sayangnya, cakupan upah minimum hanya untuk melindungi
sebagian kecil buruh, yaitu buruh formal saja. Sementara angkatan kerja
informal yang berjumlah 67 persen (70 juta orang) tidak memiliki perlindungan
upah sama sekali. Dengan kata lain, buruh formal yang minoritas dilindungi,
tetapi buruh informal yang mayoritas tidak dipikirkan.
Selain itu, kenaikan upah minimum yang
ditetapkan dewan pengupahan dengan metode survei dan pendekatan umum (tanpa
memandang skala usaha, produktivitas), pasti menghasilkan rekomendasi upah yang
tidak sesuai realitas perusahaan. Ini mendorong pengusaha tidak patuh dalam
pembayaran upah dan mempekerjakan sedikit pekerja.
Pengalaman menunjukkan, kenaikan upah yang
terlalu tinggi di sektor industri kota akan menghambat perekrutan tenaga kerja
di sektor tersebut, tetapi meningkatkan lapangan kerja di sektor pertanian dan
informal. Efek kenaikan tajam upah minimum tanpa mengaitkannya dengan
produktivitas juga meningkatkan ketidakpatuhan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia Juni 2010,
ketidakpatuhan pembayaran upah minimum tahun 2007 sudah mencapai 40 persen.
Jadi, dari jumlah buruh formal 33 juta, hanya 19 juta buruh yang terlindungi
pemerintah, sedangkan 85 juta angkatan kerja lain tidak mendapat perlindungan.
Inilah salah satu jawaban, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi
ternyata tidak berdampak pada penurunan angka pengangguran dan kemiskinan
rakyat.
Dua
Jenis Upah
Tidak ada jalan lain. Pemerintah Indonesia
harus segera mereformasi sistem pengupahan sekarang dengan menetapkan dua jenis
upah: upah minimum jaring pengaman dan upah hidup layak.
Upah minimum ditujukan untuk melindungi buruh
rentan, sementara untuk mencapai hidup layak perlu upah hidup kayak yang
besarnya di atas upah minimum. Komponen upah hidup layak bisa ditambah sesuai
definisi hidup layak.
Upah minimum direkomendasikan oleh dewan
tripartit kabupaten/kota, sementara upah hidup layak dirundingkan secara
bipartit di masing-masing perusahaan. Cakupan upah minimum akan lebih tinggi
karena semua buruh rentan, termasuk informal, buruh harian lepas, pekerja rumah
tangga, buruh tani dan nelayan, dicakup dalam aturan baru ini.
Format upah hidup layak nantinya akan lebih
realistis dibandingkan dengan konsep saat ini karena tuntutan buruh akan
diselaraskan dengan kondisi perusahaan. Yang lebih penting lagi, format baru
ini akan sulit dipolitisasi karena buruh tidak lagi beraksi pada tingkat
kabupaten/kota. Buruh pun akan menimbang-nimbang dulu sebelum beraksi karena
ada rasa kepemilikan terhadap kelangsungan usaha. Tinggal bagaimana membangun
perundingan upah bipartit ini lewat kejujuran dan transparansi keuangan
perusahaan.
Yang juga penting diperhatikan adalah adanya
korelasi positif antara keberadaan serikat buruh dan perbaikan upah. Sesuai
studi Organisasi Buruh Internasional (ILO), upah buruh akan lebih baik ketika
buruh memiliki serikat. Riset Bank Dunia mengonfirmasi fakta ini dengan
menyebutkan upah buruh akan 18 persen lebih tinggi di perusahaan yang ada
serikat buruhnya. Para buruh juga berpeluang lebih besar menerima tunjangan
non-upah, seperti uang pesangon, pelatihan, pensiun, dan bonus, jika
dibandingkan dengan buruh tanpa serikat.
Semua itu terjadi sebagai akibat adanya
perjanjian kerja bersama antara serikat buruh dan majikan. Jadi, keberadaan
serikat buruh sangat penting di luar mekanisme perlindungan negara karena lebih
efektif dalam melindungi hak-hak buruh. Itu sebabnya di negara yang
kebijakannya ramah terhadap buruh (labor friendly policy), konflik buruh sangat
rendah, upah lebih baik, dan ketimpangan upah juga rendah.
Terakhir, pemerintah perlu memperbaiki
pengawasan ketenagakerjaan, penegakan hukum, mengurangi biaya siluman, dan
mencegah sikap antiserikat buruh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar