Saatnya
Agama Dipahami secara Utuh
Benny Susetyo, BUDAYAWAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 24 Januari 2012
Wahid Institut dalam laporan mengenai tindak
intoleransi selama tahun 2011, menyebutkan telah terjadi peningkatan
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di
Indonesia. Apabila pada 2010 hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18 persen
menjadi 92 kasus.
Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang
paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktivitas keagamaan atau
kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48 persen, kemudian
tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20
persen, pembiaran kekerasan 11 kasus (11 persen), kekerasan dan pemaksaan
keyakinan 9 kasus (9 persen), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9
persen), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan empat kasus (4
persen).
Dari temuan lapangan baik yang dihimpun Wahid
Institut maupun Setara Institut menunjukkan kekerasan atas
nama agama cenderung meningkat. Hal yang sangat disayangkan, pada banyak
kejadian aparat negara absen dalam menindak pelaku kekerasan, selain ada faktor
pendangkalan akan pemahaman agama yang utuh.
Hal mendasar yang bisa ditanyakan dalam hal
ini adalah, apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan dalam memahami
dan mengaktualisasikan ajaran agama? Disebut pendangkalan sebab tidak ada nilai
agama manapun yang mengajarkan kekerasan.
Setiap agama mengajarkan hidup damai. Karena
itu ketika terdapat kenyataan ada penganut agama tertentu yang lebih menyukai
cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah identitas keagamaannya, dapat
dikatakan telah terjadi pendangkalan cara beragama.
Tanpa disadari, justru realitas ini
menimbulkan potensi agama sebagai ruang yang mudah dimanipulasi demi
kepentingan politik sesaat. Agama kerap digunakan sebagai instrumen untuk
membakar emosi para pemeluknya. Meyer pun pernah mengingatkan kita bahwa agama
memang mudah dimanipulasi demi kepentingan sesaat tergantung dari penafsiran
yang ada.
Hal itu tentu saja berbahaya jika elite
politik, misalnya, menggunakannya demi alasan kekuasaan dan penguasaan sumber
daya alam. Banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama, misalnya
manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi
berlandaskan etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial.
Krisis Makna
Pelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang
dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam
komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Ketika
merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di situlah
tindakan kekerasan potensial diledakkan.
Agama direduksi ke dalam pemaknaan yang amat
sempit. Dalil agama seolah mengabsahkan perusakan dan pembunuhan, tanpa pernah
mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian.
Pemahaman agama secara miopik dan dangkal
seperti itu disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran
agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan.
Pertanyaan yang dikandung dalam kenyataan di
atas, mengapa sebagian orang mudah tertarik dalam pemahaman sempit seperti itu?
Mengapa agama lebih mudah dijadikan sebagai aspirasi daripada inspirasi dalam
kehidupan ini?
Pemahaman agama yang terjerembab dalam lubang
kegelapan seperti itu memiliki konsekuensi logis, yakni sulitnya orang keluar
dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai satu-satunya pembenaran
untuk melancarkan teror dan kekerasan.
Mereka yang sudah berada di dalamnya sulit
diajak berkomunikasi. Cara berkehidupannya pun sangat eksklusif. Mereka seolah
hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya tertutup rapat
oleh tebalnya “keimanan” dan keyakinan paling benar sendiri di antara
lainnya.
Karena demikian, maka apa yang ada di dalam
otak mereka adalah membasmi orang-orang di luar yang tidak berpemahaman sama
dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapatkan citra yang sangat
buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat eksklusif
dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.
Dalam konteks seperti inilah Meyer menegaskan
bahwa agama sangat mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik picik sempit
atau sekadar alat pembenaran kekerasan. Padahal, dalam hal kekerasan, tentu
saja teks kitab suci harus dilihat sesuai konteksnya, khususnya di masa lampau.
Tak disangkal bahwa dalam teks kitab suci
sering ditemukan nilai “kekerasan” dan seolah-olah membenarkannya. Tapi, tanpa
kacamata pandang progresif masa kini, nilai tersebut justru kontradiktif bila
diterapkan begitu saja tanpa diimbangi dengan penafsiran kebutuhan masa kini.
Penafsiran tekstualitas agama secara sempit
cenderung melegalkan seolah-olah kekerasan dibenarkan. Tetapi, tentu saja kita
harus melihat konteks sosial budaya pada zaman lalu dalam konteks situasi
politik, kebudayaan dan ekonomi. Keadaan masa lalu tentu amat beda dengan masa
sekarang.
Penafsiran teks kitab suci di masa kini
justru membantu bagaimana cara beragama kita lebih rasional, toleran, peka,
terbuka dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh
alasan perjuangan keagamaan.
Dalam situasi itu dapat kita rasakan dewasa
ini agama makin kehilangan wajah kemanusiaannya. Pada titik inilah kita sering
kehabisan akal untuk memahami rasionalitas tindakan suci yang dijadikan
pembenaran dari kekerasan dan pembantaian itu.
Hal yang dibutuhkan saat ini adalah
pendidikan secara mendasar agar umat beragama tidak mudah tertipu dengan janji
surga; agar agama kembali menjadi inspirasi batin berkehidupan dan bukan
merupakan aspirasi politik yang penuh dengan aroma busuk kekuasaan.
Sebagai inspirasi batin, agama berusaha
membebaskan manusia dari kuasa kegelapan yang destruktif, juga dari kejahatan
atas nama kesucian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar