Mencegah
Jadi Negara Koboi
Nuri Widiastuti V., MAHASISWA
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PERTAHANAN DI UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA DAN
STAF DI KEMENKO POLHUKAM
Sumber
: JAWA POS, 27
Januari 2012
SENJATA api kembali menjadi
perhatian. Penggunaan senjata api untuk berbagai aksi kejahatan seperti
penembakan di Aceh, perampokan di Jakarta, dan aksi terorisme di berbagai
daerah menunjukkan peredaran senjata api ilegal masih perlu diwaspadai.
Sejak maraknya penggunaan senjata api saat konflik di berbagai daerah seperti Poso, Aceh, Papua, dan Ambon, sebenarnya pemerintah telah memberlakukan penghentian pemberian izin senjata api kepada warga sipil. Berdasar telegram Kapolri pada Agustus 2005, warga sipil dilarang memiliki senjata api untuk keperluan pertahanan diri. Mereka hanya dimungkinkan memiliki senjata untuk olahraga.
Itu pun persyaratan memperoleh izin tidak mudah. Prosesnya kompleks. Misalnya, punya sertifikat keanggotaan klub menembak, lulus tes menembak, lulus tes psikologi dan kesehatan, serta mendapat rekomendasi dari polres setempat. Rumitnya persyaratan itu diharapkan senjata api tidak mudah beredar di kalangan warga sipil.
Secara universal, sesuai dengan survei gunpolicy.org, di antara 179 negara, Indonesia berada di urutan ke-169 dalam hal kepemilikan senjata api oleh sipil. Survei itu menyimpulkan bahwa Indonesia, yang angka kepemilikannya 0,5 untuk 100.000 penduduk, tidak termasuk negara dengan budaya penggunaan senjata api yang tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk kategori ketat (restrictive) seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Sedangkan kepemilikan senjata api yang gampang didapatkan (highly permissive) adalah Laos, Myanmar, Filipina, dan Thailand. Sedangkan negara yang menerapkan larangan total adalah Brunei, Kamboja, dan Vietnam.
Meski begitu, kita tak boleh memandang enteng permasalahan senjata api. Mengingat, sejarah konflik sejak pergantian pemerintahan pada 1998, yakni konflik di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua melibatkan senjata api selundupan, rakitan, maupun pembelian ilegal. Konflik itu merupakan sumber peredaran senjata api karena tidak semua senjata api sisa konflik diserahkan kepada aparat ketika konflik berakhir. Selain itu, kondisi geografis Indonesia dengan 17.508 pulau dan memiliki wilayah perbatasan terbuka yang panjang telah mengakibatkan aktivitas pengawasan batas laut dan darat amat sulit dilakukan.
Upaya mengatasi peredaran senjata api ilegal yang menjadi sumber ketidakamanan masyarakat perlu mempertimbangkan dua hal. Yaitu, perlunya mengetahui karakteristik senjata api dan kebijakan yang relevan untuk mengatasi karakteristik senjata api itu.
Menurut Mike Bourne dalam Arming the Conflict: Proliferation of Small Arms (2007), beberapa karakteristik senjata api adalah mudah digunakan dan tahan lama, harganya yang murah dan mudah diperoleh, mudah dibawa dan disembunyikan, sangat mematikan, serta dipergunakan secara luas oleh sipil maupun aktor keamanan. Itulah yang menjadikan senjata api sebagai masalah keamanan yang serius.
Pertama, senjata api dapat digunakan dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun, bahkan oleh mereka yang tidak mempunyai keahlian menembak sekalipun. Harganya yang murah membuka akses bagi kelompok kriminal, teroris, pemberontak (insurgent), dan warga sipil mendapatkan senjata api dengan mudah. Teknologinya cukup sederhana untuk bisa memproduksi dan merakit senjata api seperti perajin senjata api ilegal di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Harganya relatif terjangkau, Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta. Senjata api juga mudah dibawa dan mudah disembunyikan karena bentuknya yang kecil dan ringan. Bahkan, peraturan kita masih memperbolehkan membawa senjata di ruang publik meskipun harus memiliki izin khusus. Itu rentan terhadap penyalahgunaan.
Selanjutnya, senjata api sangat mematikan apabila berada di tangan pihak yang minim keahlian menembak karena kemungkinan salah sasaran. Terlebih lagi bila berada di tangan kelompok kriminal dan militan. Korban penembakan di Aceh sejak awal Januari tahun ini menewaskan sedikitnya empat orang. Sedangkan penembakan polisi terkait terorisme sepanjang 2010 menewaskan sepuluh orang. Penggunaan senjata api di kalangan aparat keamanan dan sipil menimbulkan risiko kebocoran dan penjualan ilegal dari oknum aparat keamanan. Senjata itu kemudian sampai ke tangan penadah senjata di pasar gelap yang kemudian menjualnya kembali ke berbagai pihak seperti pengusaha, penjahat, dan teroris.
Kedua, diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi berbagai karakteristik senjata api. Untuk mengatasi sifat mudah digunakan dan tahan lama, diperlukan kebijakan nasional tentang penyimpanan (stockpile), pengumpulan senjata pascakonflik dengan program disarmament, demobilization, and rehabilitation (DDR), dan mekanisme penghancuran senjata api. Kemudian, untuk mengatasi mudahnya memperoleh senjata, diperlukan kebijakan nasional tentang produksi, impor, perizinan usaha manufaktur senjata api, dan penindakan terhadap perajin senjata ilegal.
Untuk mengatasi sifat mudah dibawa dan disembunyikan, diperlukan kebijakan nasional yang tegas dalam proses transfer dan pemindahan. Sedangkan untuk mengatasi sifat senjata api yang mematikan dan dipergunakan secara luas oleh aktor keamanan dan sipil, diperlukan kebijakan yang mengatur kepemilikan senjata api secara lebih ketat, termasuk dengan analisis psikologis.
Pada dasarnya, pengaturan senjata api di Indonesia telah mempertimbangkan sebagian besar dari semua karakteristik senjata api di atas. Yang diperlukan adalah komitmen mencegah dan mengetati meluasnya peredaran senjata api agar tak menjadi negeri koboi. ●
Sejak maraknya penggunaan senjata api saat konflik di berbagai daerah seperti Poso, Aceh, Papua, dan Ambon, sebenarnya pemerintah telah memberlakukan penghentian pemberian izin senjata api kepada warga sipil. Berdasar telegram Kapolri pada Agustus 2005, warga sipil dilarang memiliki senjata api untuk keperluan pertahanan diri. Mereka hanya dimungkinkan memiliki senjata untuk olahraga.
Itu pun persyaratan memperoleh izin tidak mudah. Prosesnya kompleks. Misalnya, punya sertifikat keanggotaan klub menembak, lulus tes menembak, lulus tes psikologi dan kesehatan, serta mendapat rekomendasi dari polres setempat. Rumitnya persyaratan itu diharapkan senjata api tidak mudah beredar di kalangan warga sipil.
Secara universal, sesuai dengan survei gunpolicy.org, di antara 179 negara, Indonesia berada di urutan ke-169 dalam hal kepemilikan senjata api oleh sipil. Survei itu menyimpulkan bahwa Indonesia, yang angka kepemilikannya 0,5 untuk 100.000 penduduk, tidak termasuk negara dengan budaya penggunaan senjata api yang tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk kategori ketat (restrictive) seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Sedangkan kepemilikan senjata api yang gampang didapatkan (highly permissive) adalah Laos, Myanmar, Filipina, dan Thailand. Sedangkan negara yang menerapkan larangan total adalah Brunei, Kamboja, dan Vietnam.
Meski begitu, kita tak boleh memandang enteng permasalahan senjata api. Mengingat, sejarah konflik sejak pergantian pemerintahan pada 1998, yakni konflik di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua melibatkan senjata api selundupan, rakitan, maupun pembelian ilegal. Konflik itu merupakan sumber peredaran senjata api karena tidak semua senjata api sisa konflik diserahkan kepada aparat ketika konflik berakhir. Selain itu, kondisi geografis Indonesia dengan 17.508 pulau dan memiliki wilayah perbatasan terbuka yang panjang telah mengakibatkan aktivitas pengawasan batas laut dan darat amat sulit dilakukan.
Upaya mengatasi peredaran senjata api ilegal yang menjadi sumber ketidakamanan masyarakat perlu mempertimbangkan dua hal. Yaitu, perlunya mengetahui karakteristik senjata api dan kebijakan yang relevan untuk mengatasi karakteristik senjata api itu.
Menurut Mike Bourne dalam Arming the Conflict: Proliferation of Small Arms (2007), beberapa karakteristik senjata api adalah mudah digunakan dan tahan lama, harganya yang murah dan mudah diperoleh, mudah dibawa dan disembunyikan, sangat mematikan, serta dipergunakan secara luas oleh sipil maupun aktor keamanan. Itulah yang menjadikan senjata api sebagai masalah keamanan yang serius.
Pertama, senjata api dapat digunakan dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun, bahkan oleh mereka yang tidak mempunyai keahlian menembak sekalipun. Harganya yang murah membuka akses bagi kelompok kriminal, teroris, pemberontak (insurgent), dan warga sipil mendapatkan senjata api dengan mudah. Teknologinya cukup sederhana untuk bisa memproduksi dan merakit senjata api seperti perajin senjata api ilegal di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Harganya relatif terjangkau, Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta. Senjata api juga mudah dibawa dan mudah disembunyikan karena bentuknya yang kecil dan ringan. Bahkan, peraturan kita masih memperbolehkan membawa senjata di ruang publik meskipun harus memiliki izin khusus. Itu rentan terhadap penyalahgunaan.
Selanjutnya, senjata api sangat mematikan apabila berada di tangan pihak yang minim keahlian menembak karena kemungkinan salah sasaran. Terlebih lagi bila berada di tangan kelompok kriminal dan militan. Korban penembakan di Aceh sejak awal Januari tahun ini menewaskan sedikitnya empat orang. Sedangkan penembakan polisi terkait terorisme sepanjang 2010 menewaskan sepuluh orang. Penggunaan senjata api di kalangan aparat keamanan dan sipil menimbulkan risiko kebocoran dan penjualan ilegal dari oknum aparat keamanan. Senjata itu kemudian sampai ke tangan penadah senjata di pasar gelap yang kemudian menjualnya kembali ke berbagai pihak seperti pengusaha, penjahat, dan teroris.
Kedua, diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi berbagai karakteristik senjata api. Untuk mengatasi sifat mudah digunakan dan tahan lama, diperlukan kebijakan nasional tentang penyimpanan (stockpile), pengumpulan senjata pascakonflik dengan program disarmament, demobilization, and rehabilitation (DDR), dan mekanisme penghancuran senjata api. Kemudian, untuk mengatasi mudahnya memperoleh senjata, diperlukan kebijakan nasional tentang produksi, impor, perizinan usaha manufaktur senjata api, dan penindakan terhadap perajin senjata ilegal.
Untuk mengatasi sifat mudah dibawa dan disembunyikan, diperlukan kebijakan nasional yang tegas dalam proses transfer dan pemindahan. Sedangkan untuk mengatasi sifat senjata api yang mematikan dan dipergunakan secara luas oleh aktor keamanan dan sipil, diperlukan kebijakan yang mengatur kepemilikan senjata api secara lebih ketat, termasuk dengan analisis psikologis.
Pada dasarnya, pengaturan senjata api di Indonesia telah mempertimbangkan sebagian besar dari semua karakteristik senjata api di atas. Yang diperlukan adalah komitmen mencegah dan mengetati meluasnya peredaran senjata api agar tak menjadi negeri koboi. ●
Dalam tulisan ini ada kata-kata "diperlukan kebijakan nasional", apakah sampai saat ini Inodonesia tidak memiliki kebijakan nasional mengenai peredaran senjata api ilegal?
BalasHapus