Syiah
dan Ironi Negara
Fajar Kurnianto, PENELITI
PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK)
UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 30
Januari 2012
Suryadharma Ali, Menteri Agama Republik
Indonesia, menegaskan aliran Syiah bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai
pernyataan personal atau pendapat pribadi, ini sah-sah saja.
Tapi, dalam kapasitas dia sebagai Menteri
Agama yang antara lain punya tanggung jawab untuk menciptakan harmoni di tengah
masyarakat majemuk, terutama dalam soal agama dan keyakinan individual,
pernyataannya cukup mengganggu dan meresahkan.
Menteri Agama merupakan representasi dari
negara. Dengan demikian, ini menjadi preseden buruk terhadap negara bahwa
negara tidak adil terhadap kaum minoritas.
Syiah Bukan Islam?
Dalam sejarahnya, Syiah lahir dari rahim
Islam, yakni kecintaan terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi) yang setelah wafatnya
Nabi Muhammad terepresentasikan pada sosok Ali yang tiada lain adalah anak dari
pamannya, Abu Thalib. Ali dan keluarganya, Fatimah (istri) dan dua anaknya,
Hasan dan Husein. Berturut-turut kemudian keturunan dari Hasan dan
Husein.
Fatimah adalah putri kesayangan Nabi Muhammad
yang melihat detik-detik beliau wafat. Hasan dan Husein adalah cucu Nabi yang
sangat beliau cintai. Ada begitu banyak sabda Nabi tentang pujian terhadap Ali,
Fatimah, Hasan, dan Husein.
Ali pernah diberi kepercayaan penuh oleh Nabi
untuk menjadi pemegang panji perang di Khaibar. Sebelum memberikan panji itu,
beliau mengatakan orang yang memegang panji inilah yang akan berhasil merebut
Benteng Khaibar yang sulit ditembus siapa pun, dan orang itu adalah Ali.
Fatimah disebut Nabi sebagai pemimpin kaum
perempuan yang masuk surga. Hasan dan Husein adalah dua cucu kesayangan beliau.
Kepada seluruh kaum muslimin, Nabi memerintahkan mereka untuk mencintai
keduanya sebagaimana beliau mencintai keduanya.
Mencintai Ahlul Bait adalah termasuk ajaran
Islam. Ini yang dipegang kuat tidak hanya oleh Syiah, tapi juga Sunni. Karena
itu, pernyataan Suryadharma Ali bahwa ajaran Syiah bertentangan dengan Islam
tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, orang Syiah juga berpegang pada
Alquran. Rukun iman dan Islam mereka juga sama. Syahadat mereka juga sama.
Ada lebih banyak persamaan antara Syiah dan
Sunni dibandingkan perbedaannya. Perbedaan yang mungkin agak mencolok adalah
dalam soal fikih (yurisprudensi Islam). Syiah memiliki ulama-ulama fikih yang
berbeda dengan ulama-ulama Sunni. Perbedaan fikih dalam Islam bukan sesuatu
yang prinsipil.
Perbedaan lainnya, bisa disebut adalah
pergerakan. Sebagian orang menyebut Syiah adalah gerakan politik dibandingkan
aliran atau mazhab keagamaan. Sejarah Syiah banyak diidentikkan dengan
upaya-upaya merebut kekuasaan.
Dinasti Fatimiyah yang pernah berjaya di
Mesir (909-1171) adalah dinasti bermazhab Syiah. Revolusi Iran pada 1979 juga
digerakkan orang Syiah.
Tapi, salahkah jika Syiah mengambil jalan
politik? Dalam kenyataannya, Syiah tidak juga mengurus masalah politik semata,
tapi juga keagamaan. Ada Syiah sebagai gerakan politik, ada Syiah sebagai
aliran keagamaan. Kedua model Syiah ini yang sekarang terwujud di Iran
pascarevolusi Islam.
Berbeda dengan Syiah, riwayat aliran Sunni
tidak begitu “bersahabat” dengan politik. Tapi jangan lupakan fakta sejarah
bahwa meski tidak terlibat politik, Sunni ternyata cukup “bersahabat” dengan
kekuasaan, siapa pun pemegang kekuasaan, atau seburuk dan sejelek apa pun
kekuasaan itu.
Ini dapat dimaklumi, karena salah satu
doktrin yang dipegang Sunni soal kekuasaan adalah jangan sekali-kali
memberontak terhadap penguasa. Doktrin ini banyak dimanfaatkan para penguasa
untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan. Oleh sebab itu, mazhab Sunni
paling disenangi penguasa muslim, karena bisa dijadikan sebagai alat meraih
dukungan politis.
Ironi Negara
Pernyataan Suryadharma Ali bahwa aliran Syiah
bertentangan dengan ajaran Islam jelas tidak memiliki dasar, baik ditinjau dari
sudut sejarah Syiah maupun dari sudut doktrin-doktrin yang dipegang Syiah.
Islam dan Syiah tidak bisa dilepaskan.
Tidak ada yang namanya Syiah-Kristen,
Syiah-Hindu, Syiah-Buddha, Syiah Konghucu, atau yang lainnya. Syiah adalah
Islam, seperti halnya Sunni yang identik dengan Islam.
Forum-forum internasional juga mengakui Syiah
sebagai bagian dari Islam. Dengan demikian, sangat disayangkan pernyataan itu
keluar dari seorang menteri, representasi dari negara, atau simbol negara, yang
harusnya menjamin kehidupan beragama yang harmonis dalam kemajemukan.
Tapi sepertinya Suryadharma Ali memang harus
mengatakan demikian dalam posisinya itu. Tentu ada kepentingan lain yang
menguntungkan dirinya sebagai pribadi ataupun sebagai salah satu dari sekrup
kekuatan politik.
Salah satu bahaya dari “perselingkuhan”
antara agama dan politik memang adalah munculnya sosok-sosok yang lebih
mementingkan keuntungan diri dan kelompoknya, meski itu dengan menyudutkan dan
menekan kelompok lain.
Selalu, yang menjadi korban politik semacam
ini adalah kelompok atau masyarakat minoritas. Negara yang mestinya bersikap
adil dan mengayomi minoritas malah menjadi instrumen atau alat untuk menekan
minoritas.
Negara yang mestinya berdiri di atas semua
golongan tampaknya saat ini justru sebaliknya, berada di bawah satu golongan.
Negara sepertinya telah diperalat suatu kelompok tertentu, nyaris tanpa daya.
Atau memang ada semacam simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan
antara kelompok itu dengan negara.
Jika betul demikian, betapa lemahnya posisi
negara, betapa lemahnya posisi seorang Suryadharma Ali, sehingga untuk
memperkuatnya perlu injeksi-injeksi penyengat yang memicu dukungan politis,
meski itu mengorbankan rasa keadilan dalam masyarakat majemuk di negeri ini.
Ironis. ●
YANG JELAS SYIAH ITU SESAT DAN MENYESATKAN, DAN BILA ORANG SYIAH BERTEMU ORANG MUSLIM DIA AKAN BERPURA-PURA. TAPI JIKA KALIAN TAHU BETAPA SESATNYA SYIAH MAKA CELAKALAH! BUAT YG AWAM KLIK DI GOOGLE AJA SOAL SESATNYA SYIAH ATAU BISA DI YOUTUBE SOAL SESATNYA SYIAH MAKA KALIAN AKAN TERBELALAK!HANYA ORANG FANATIS BUTA DAN PICIK SAJALAH YG PERCAYA DENGAN SYIAH! SEMOGA MENDAPAT HIDAYAH
BalasHapus