Pentingnya
UU Keamanan Nasional
Kiki Syahnakri, KETUA DEWAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN
TNI
ANGKATAN DARAT
Sumber
: KOMPAS, 27
Januari 2012
Keamanan nasional yang terdiri dari aspek
keamanan (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan aspek pertahanan merupakan
fungsi pemerintahan negara. Kedua aspek keamanan nasional itu memiliki
kedekatan fungsi yang sangat erat sehingga penanganannya di banyak negara
dikoordinasikan oleh satu badan yang merupakan pembantu presiden. Koordinasi di
Amerika Serikat, India, Turki, dan lain-lain dilakukan oleh Badan Keamanan
Nasional.
Ketetapan MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000
serta Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen telah memisahkan fungsi pertahanan dan
keamanan secara mutlak-diametral. Fungsi keamanan dalam negeri, termasuk
keamanan negara dan keselamatan bangsa, diemban oleh Polri sendirian dengan
spektrum peran yang amat luas.
Sesungguhnya kedua fungsi tersebut selalu
bersifat tumpang tindih karena di negara mana pun masalah keamanan dapat
berkembang secara eskalatif. Dengan cepat, bahkan tanpa diduga, ia dapat
memasuki ranah pertahanan seraya mengancam keselamatan bangsa dan kedaulatan
negara. Maka, dibutuhkan pengerahan militer.
Dalam peristiwa rasial di California, AS,
pada 1981, misalnya, sejak dini militer AS dilibatkan sebab insiden itu
berpotensi berkembang dengan cepat ke banyak negara bagian serta mengancam
keamanan nasional dan keutuhan bangsa.
Keadaan semacam itu sering terjadi di
Indonesia, khususnya setelah reformasi, yang membuka keran kebebasan luas dan
nyaris tanpa batas. Akibatnya, spektrum masalah keamanan nasional pun kian
berkembang secara kualitatif dan kuantitatif.
Kondisi ini diperparah lagi dengan belum
berhasilnya penyelenggara fungsi pemerintahan menghadirkan kesejahteraan:
kemiskinan dan pengangguran masih membebani rakyat dan eksesnya selalu bermuara
pada gangguan keamanan.
Berbagai kasus keamanan aktual, seperti
penembakan misterius di Papua dan Aceh, konflik tanah di Mesuji dan Bima, aksi
teror, serta bentrokan horizontal di banyak daerah menunjukkan bahwa masalah
keamanan di Indonesia sedang bergerak secara eskalatif dan tak mungkin dapat
ditangani hanya oleh Polri. Perlu penanganan terpadu dan terarah.
Dalam menangani masalah keamanan nasional
saat ini, selain belum ada keterpaduan, setiap instansi cenderung berjalan
sendiri-sendiri. Hasilnya jauh dari mangkus. Konsep penanganannya pun kerap
justru bertentangan dengan undang-undang yang ada. Itu sebabnya sangat urgen
bagi kita sesegera mungkin menata kembali peran, fungsi, dan tugas semua aktor
yang berkaitan dengan penanganan masalah keamanan nasional.
UU Keamanan Nasional sebagai penjabaran
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk mengatasi masalah
kemasyarakatan dan kenegaraan yang amat fundamental, bukan sekadar dilatari rivalitas
TNI-Polri seperti wacana yang turut beredar—atau sengaja ditebar—belakangan
ini.
Untuk keterpaduan dan kemangkusan penanganan
keamanan nasional tersebut diperlukan kehadiran Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Tugas DKN secara umum adalah merumuskan (konsep) ketetapan kebijakan dan
strategi keamanan nasional sebagai konsep jangka panjang: menyangkut keamanan
perorangan, masyarakat, dan negara, termasuk penyelesaian konflik perbatasan.
DKN juga bertugas merancang konsep cara
bertindak presiden dalam mengatasi keadaan darurat atau masalah keamanan yang
muncul tanpa diperkirakan sebelumnya, baik dalam skala nasional maupun global.
Jadi, keberadaan DKN justru dapat mencegah kesewenang-wenangan aparat di bawah
serta menghindari kebijakan dan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan
perundang-undangan, eksesif, ataupun jadi pengekor kebijakan negara adikuasa.
RUU Keamanan Nasional
RUU Keamanan Nasional dibuat pada 2005 dan
telah beberapa kali direvisi. Hingga kini masih tetap mengundang kontroversi.
Draf versi terakhir, Maret 2011, kini sudah di tangan DPR. Namun, DPR masih
menunggu masukan kontributif- substantif dari masyarakat luas.
Draf versi 2010 dan draf versi 2011 berbeda
secara substansial. Versi 2010 mengatakan, DKN berstatus sebagai fasilitas staf
atau pembantu presiden di bidang keamanan nasional dan diketuai oleh pejabat
negara setingkat menteri yang ditunjuk oleh presiden. Namun, dalam versi 2011,
status DKN berubah menjadi badan eksekutor, dipimpin langsung oleh presiden dan
berwewenang memutuskan, menetapkan, dan mengendalikan.
Dengan begitu, kewenangan presiden menjadi
amat luas. Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI,
membawahkan langsung Polri dan memimpin langsung DKN yang menangani masalah
keamanan multiaspek (militer, politik, ekonomi, dan sebagainya) sehingga rawan
diselewengkan.
Dalam konteks potensi atau peluang
penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan inilah, UU Keamanan Nasional secara
fundamental kenegaraan seyogianya memicu dan mempercepat proses pembuatan UU
Kepresidenan yang sampai saat ini belum kita punyai. Jangan lupa, presiden
selain sebagai personal juga merupakan lembaga tinggi negara yang perlu diatur
sesuai dengan kehendak UUD 1945.
UU Keamanan Nasional memang sangat diperlukan
mengingat ancaman terhadap keamanan nasional cenderung meningkat secara
multiaspek. Namun, formulasi UU harus sesuai dengan keadaan lingkungan
strategis yang dihadapi, termasuk iklim demokrasi. Tanggapan minor dan
tendensius seperti pernyataan bahwa UU Keamanan Nasional belum diperlukan atau
dikhawatirkan akan memberi jalan bagi pemeranan TNI seperti dalam masa
Kopkamtib juga tidak tepat dan terlalu berlebihan.
TNI sudah kian solid dan profesional dalam
proses reformasi internal yang terus menggelinding disertai kontrol publik yang
sangat kuat sehingga tak ada titik untuk kembali ke ranah politik praktis. Kini
dalam membahas kepentingan yang lebih besar, kita mesti lebih mengedepankan
rasionalitas tanpa prasangka berlebihan yang disertai pula dengan kewaspadaan
akan kepentingan asing yang mungkin mendompleng atau kepentingan kelompok
tertentu yang akan dirugikan dengan kehadiran UU itu. ●
kalo Indonesia butuh UU Kamnas its, ok. tapi kalo isinya seperti yg ada dalam RUU Kamnas saat ini, saya memilih tidak setuju.
BalasHapus