Disiplin
Budaya Ilmu Pengetahuan
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES
PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012
Kompas telah menurunkan tajuk (10/1) yang
langsung membangkitkan kenangan indah selagi saya belajar di Sorbonne,
Perancis. Tajuk ini membahas buah pikiran kimiawan Ilya Prigogine, peraih Nobel
1977, demi pemahaman keadaan Indonesia yang mengkhawatirkan dewasa ini.
Pemikiran teoretisnya tentang ”struktur
disipatif”, creation of order through disorder, telah dielaborasi oleh sosiolog
Edgar Morin jadi suatu metode berpikir antisipatif tentang (perkembangan)
sesuatu kejadian: dari ”tata tertib” (order) ke ”kekacauan” (disorder) ke
”interaksi” dan ke ”tata tertib kembali” (organisasi).
Perbuatan sosiolog ini kiranya mirip dengan
apa yang pernah dilakukan oleh matematikawan Laplace terhadap karya Newton
tentang alam semesta. Dia menciptakan rumus-rumus matematika canggih sebagai
penjelasan nalariah mengenai hal-hal yang belum terjelaskan Newton dengan
alasan ”invisible hand”. Dengan rumusan matematikanya, Laplace mampu membilang
tiap keadaan masa datang dan masa lalu dalam sistem alam semesta.
Dia menunjukkan karyanya kepada Napoleon.
Setelah mempelajarinya, sang Kaisar menanyakan mana kehadiran Tuhan, pencipta
alam semesta ini. Laplace menjawab dengan ungkapan, yang kemudian menjadi
begitu ”historis”, berbunyi: Sire, je n’ai pas besoin de cet hypothese—Tuhan,
saya tidak memerlukan hipotesis itu.
Saya pernah bertanya kepada Abdus Salam,
fisikawan Pakistan, bagaimana pendapatnya tentang ungkapan ini. Dari jawabannya
tentang hubungan antara kesalehan dan nalar (akal), saya simpulkan bahwa tak
menyebut Tuhan dalam usaha merumuskan hukum alam bukan berarti tak beriman,
justru karena mengagumi Sang Pencipta alam secara ex-nihilo. Setelah saya
kembali ke Tanah Air, Abdus Salam meraih Nobel Fisika pada 1979.
Pembelajaran
Sejarah
Tajuk rencana Kompas menyatakan betapa
pemikiran Ilya Prigogine merupakan suatu jembatan antara ilmu eksakta dengan
ilmu sosial. Memang benar. Penjembatanan ini berupa suatu pembelajaran baru
ilmu pengetahuan yang pernah dibahas Ortega Y Gasset, filosof Spanyol, awal
abad XX. Dia adalah—menurut Albert Camus, peraih Nobel Sastra 1957 dari
Perancis—penulis terbesar Eropa sesudah Nietzsche. Pembelajaran baru ini adalah
pengkajian ilmu fisika selaku ”disiplin kebudayaan” di samping sebagai
”disiplin ilmiah”. Peruntukan ganda ini mengingatkan adanya perbedaan antara
suatu ”disiplin kebudayaan” yang secara vital terkait pada hidup dan kehidupan
dan the corresponding ”disiplin ilmiah” yang mengasuh ”disiplin kebudayaan”
tadi.
Fisika dan metode kerja keilmuannya merupakan
salah satu instrumen esensial dari berpikir dan berpenalaran modern. Ia adalah
ciptaan yang diwarisi oleh seluruh humanitas. Ke dalam ilmu pengetahuan yang
satu ini telah dipompakan disiplin intelektual selama hampir lima abad. Kajian
fisika selaku ”disiplin kebudayaan” berusaha menggali ide vital yang dikandung
doktrinnya tanpa terlalu menonjolkan teknikalitas khas (matematika canggih)
dari penalaran fisika.
Doktrin fisika terkait erat dengan konsep
manusia tentang Tuhan, ketuhanan dan masyarakat, tentang materi dan
bukan-materi, bersama dengan semua esensial lain untuk suatu kehidupan yang
mencerahkan. Melalui pemaparan asas-asas fisika dan penelusurannya, dapat dijelaskan
jalannya evolusi historis dari asas-asas tersebut.
Ide itu dikatakan ”vital” karena ia adalah
persepsi kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita. Jadi, ia
merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian aktif kita
tentang natur dunia kita beserta sesama makhluk yang mendiaminya, keyakinan
mengenai hierarki dari nilai sesuatu. Adapun sistem nilai yang dihayati, per
definisi, adalah kebudayaan.
Ide vital mengenai hidup dan bagi kehidupan
serta dunia yang diciptakan disiplin ilmiah jadi kian jelas melalui pemaparan
tentang gerakan-gerakan besar dari sejarah yang telah mengantar humanitas
kepemisahan jalan-jalan kehidupan selama ini. ”Disiplin kebudayaan” dari ilmu
sejarah bisa membantu pengembangan penilaian manusia karena ia menunjuk
rangkaian kasus pengambilan keputusan di saat-saat krusial atau apa yang
seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kondisi tertentu.
Machiavelli dan Bismarck menyimpulkannya
sebagai pembelajaran sejarah. Bukankah Bung Karno juga cenderung berpikir
begitu dengan mengatakan ”jas merah”, jangan melupakan sejarah. Jenderal Vo
Nguyen Giap mampu memimpin pasukannya mengusir Perancis dan Amerika dari
Vietnam dengan pembelajaran ilmu sejarah selaku ”disiplin kebudayaan”. Di zaman
kolonial, dia guru sejarah sekolah menengah di Saigon dan tak pernah dapat
pendidikan formal kemiliteran. Kepiawaian berperang diperoleh dari mempelajari
kiat berperang Napoleon dan Jomini, marsekal kesayangan sang Kaisar.
Diskusi
yang Mencerahkan
Diskusi interaktif dalam kelas selalu lebih
meriah dan mencerahkan jika kuliah mengenai ”disiplin kebudayaan” dari sesuatu
ilmu pengetahuan karena diikuti oleh lebih banyak mahasiswa dari aneka disiplin
spesialis, lebih-lebih kalau dipandu oleh Prof Edgar Morin. Dia sangat meminati
gejala multidimensional dan bukan disiplin yang membelah satu dimensi dalam
gejala ini. Menurut dia, segala yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis,
ekonomis, historis, demografis. Jadi, penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak
dipisah-pisah, tetapi bergabung menuju visi poliokuler. Artinya, orang
menyiapkan diri menjadi ”a specialist in the construction of the whole”, suatu
kualitas yang diniscayakan bagi pemimpin, terutama di bidang ketatanegaraan dan
politik.
Tak jarang diskusi dilanjutkan para mahasiwa
di klub-klub studi, di trotoar kafe-kafe yang bertebaran di sekitar Sorbonne.
Keunikan diskusi lanjutan ini adalah bahwa ia bisa diikuti siapa saja, termasuk
turis yang sedang lewat, hanya bermodal secangkir kopi sebagai sewa kursi.
Kalau cuaca sedang baik, diskusi kadang dilakukan di Taman Luxembourgi yang
berlokasi tidak jauh dari Sorbonne. Para peserta diskusi duduk atau tiduran di
rumput, tanpa bayaran.
Suatu ketika diskusi di taman ini berupa
”disiplin kebudayaan” dari ilmu biologi. Seperti biasa, ada saja orang-orang
yang bukan mahasiswa turut bicara. Salah seorang di antaranya sangat
mengesankan karena pembahasannya teratur, betul-betul mengena dan bermutu,
tentang apa-apa yang sedang didiskusikan. Bahasa Perancisnya lancar dan
sesekali, kelihatan tanpa disengaja, telontar ungkapan dalam kata-kata Belanda.
Saya terpaksa menerjemahkannya ke bahasa Perancis untuk teman-teman mahasiswa.
Agak lama dia turut berdiskusi, kemudian
pergi begitu saja. Para mahasiswa tak peduli karena orang boleh datang dan
pergi sesuka hati. Diskusi berjalan terus. Setelah bubar, salah seorang peserta
asing, bukan mahasiswa, mengatakan bahwa orang yang sangat mengesankan itu
adalah seorang guru besar dari Universite Libre di Brussel, Belgia, dan sedang
didesas-desuskan sebagai salah seorang calon laureat Nobel, bernama Ilya
Prigogine. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar