Sengkarut
Citra Kepolisian
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS,
JAKARTA;
PESERTA
COMMUNITY POLICING DEVELOPMENT PROGRAM, JEPANG
Sumber
: KORAN TEMPO, 26
Januari 2012
Tekanan bercampur kecaman ke arah
institusi Kepolisian RI kian deras. Banyak kalangan beranggapan, wibawa korps
Tribrata itu saat ini benar-benar di tebing. Presiden Yudhoyono sendiri, pada
pembukaan Rapim Polri (17 Januari 2012), membesarkan hati Polri agar tidak
gundah oleh hujatan publik. Persoalannya, bagaimana mungkin Polri tidak
berkecil hati dan tidak risau manakala di dalam hujatan masyarakat itu
bersimpul berbagai masalah yang lebih karut-marut lagi?
Andai hari ini dilakukan survei
kepercayaan publik terhadap Polri, kecil kemungkinan Polri berada pada posisi
yang meyakinkan. Bandingkan dengan, antara lain, survei MORI pada 1983-2006,
yang menempatkan kepolisian Inggris (selaku lembaga pelayanan publik) pada
posisi menengah sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Juga survei George
Mason University pada 2000-an, di mana lembaga kepolisian berada di peringkat
tiga dari sepuluh besar.
Jika citra negatif Polri
berlarut-larut, keselamatan para personel Polri di lapangan bisa sangat
berisiko. Walau cedera atau bahkan kematian merupakan risiko yang melekat erat
dengan profesi polisi, cedera maupun tewasnya aparat Polri saat menjalankan
tugas--pada dasarnya--adalah juga kematian manusia. Pada tataran itu, nilai
mereka setara dengan cedera, apalagi kematian, warga masyarakat yang disebut-sebut
menjadi korban kebrutalan polisi. Manakala personel Polri sadar akan
meningginya risiko maut saat bertugas, reaksi psikologis berupa turunnya
kendali emosi dan perilaku betapapun manusiawi pada gilirannya dapat berisiko
pada keselamatan publik.
Dengan reputasi yang melorot,
efektivitas kerja Polri menjadi persoalan penting. Situasi memang belum tentu
linear, melainkan bisa saja berputar-putar: apakah reputasi yang mempengaruhi
kerja Polri, ataukah keandalan yang kurang memadai yang pada gilirannya menentukan
citra Polri? Bagaimanapun buruknya citra Polri di mata masyarakat, Polri tetap
harus bekerja. Jadi, bukan perbaikan citra yang harus disasar. Pada pembenahan
kerja semestinya Polri semata-mata memfokuskan diri.
Persepsi masyarakat terhadap institusi
kepolisian sebenarnya tidak ditentukan oleh institusi Polri sendiri. Di samping
turut dipengaruhi oleh pemerintah yang tengah berkuasa dan konstelasi politik
secara sekaligus, Polri hanya satu dari sekian lembaga penegakan hukum yang
ada. Jadi, persepsi publik terhadap Polri, disadari maupun tidak, juga
dipengaruhi oleh kerja lembaga-lembaga penegakan hukum selain Polri.
Dapat dinalar, sebaik apa pun kerja
Polri, ketika institusi hukum selain Polri menunjukkan performa yang tidak
seimbang, maka Polri yang akan paling buruk terkena getahnya. Publik
mengarahkan kritik paling tajam utamanya kepada Polri. Ini konsekuensi dari
posisi polisi, dibandingkan misalnya jaksa dan hakim, selaku penegak hukum yang
berhubungan paling dekat dan paling langsung dengan masyarakat.
Tambahan lagi, peran polisi pun
tampak lebih mengemuka dalam situasi menjelang puncak krisis serta pada titik
ledakan krisis. Dalam dua episode krisis tersebut, aksi-aksi kekerasan kian
berpeluang terjadi. Kendati kekerasan sendiri hingga beberapa segi memang
merupakan bagian dari kerja formal polisi dalam rangka menjalankan tugas,
situasi krisis akan menempatkan aparat di lapangan pada situasi di mana sekat
antara kekerasan dan kebrutalan menjadi sangat tipis.
Peran sedemikian rupa tak ayal akan
melekatkan Polri dengan sisi penegakan hukum yang keras. Berbeda dengan jaksa
dan hakim, yang “baru” mulai bekerja tatkala puncak krisis sudah berlalu dan
sisi keras tadi sudah disaring (diredakan) polisi. Jaksa dan hakim, dengan kata
lain, bekerja ketika kejadian pelanggaran hukum ataupun kejahatan telah dikemas
ke bentuk lembut.
Kondisi semacam itu, walhasil,
menuntut Polri dan jajaran penegak hukum lainnya untuk terus bersinergi.
Perombakan seradikal apa pun di tubuh Polri tidak akan benar-benar berefek
produktif, baik bagi kerja maupun citra, selama pembenahan tersebut masih
berlangsung sektoral atau tidak terintegrasi dengan perombakan pada
lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya secara simultan.
Penilaian masyarakat terhadap
institusi Polri juga tidak sebatas pada hasil kerja. Meningginya ekspektasi
publik akan standar kerja dan etika Polri membuat masyarakat tidak lagi menakar
keberhasilan kerja Polri berdasarkan statistik kejahatan, misalnya. Bahkan
rendahnya angka kejahatan tidak akan banyak mengubah persepsi publik apabila
pada masa yang sama dua wujud perpolisian yang memangsa (predatory policing)
masih lebih dominan ketimbang perpolisian yang santun dan bersih. Ini kiranya
yang menjadi penjelasan mengapa masyarakat begitu antusias mencela kerja Polri
di Bima namun dingin saja merespons keberhasilan Polri mengamankan puluhan
kilogram ekstasi dari tangan sindikat narkoba.
Jadi, tanpa mengesampingkan
penuntasan kasus, justru Polri perlu lebih banyak melakukan koreksi terhadap
cara-cara kerja mereka menuntaskan kasus. Terkait cara kerja, saya menekankan
bahwa langkah koreksi tidak semestinya bertumpu pada Propam sebagai unit yang
berpendekatan penghukuman (punitive). Laiknya pemadam kebakaran, Propam
lebih terpusat pada personel yang bermasalah. Sebagai gantinya, unit Polri yang
berhubungan dengan pemberdayaan, yakni pembinaan sumber daya manusia serta
pendidikan dan pelatihan, sepatutnya dijadikan sebagai ujung tombak bagi
aktivitas koreksi tersebut.
Satu elemen yang erat hubungannya
dengan pencitraan institusi kepolisian adalah media massa. Lazimnya, masyarakat
menjadikan pemberitaan media sebagai referensi atas pandangan-pandangan mereka
terhadap Polri. Persoalannya, ada pola tipikal bahwa media lebih menaruh
perhatian pada kejadian-kejadian sensasional. Pewartaan media tentang kinerja
kepolisian juga cenderung membingkai polisi sebagai pihak yang gagal
menjalankan tugas. Pola seperti itu, bisa dipahami, akan membentuk persepsi
negatif masyarakat terhadap kepolisian.
Terlepas dari itu, ternyata media bukan
segalanya. Riset menunjukkan, penilaian bukan hanya pandangan publik terhadap
kepolisian jauh lebih ditentukan oleh kontak terakhir antara masyarakat dan
petugas polisi. Implikasi temuan ini adalah pentingnya polisi membangun relasi
seintensif dan sepositif mungkin dengan masyarakat. Semakin banyak dan mutakhir
pengalaman masyarakat berhubungan langsung dengan polisi, itulah yang akan
mengangkat citra polisi.
Pada saat yang sama, saya
mempertanyakan relevansi keberadaan unit humas Polri. Unit semacam ini dapat
memunculkan salah kaprah di kalangan personel Polri sendiri, yakni mereka
menganggap bahwa kehumasan seolah merupakan domain unit tertentu saja. Atas
dasar itu, di masa mendatang, patut dipertimbangkan opsi pembubaran unit humas
atau pembatasan lingkup kerja unit tersebut menjadi unit hubungan media (media
relations). Pada saat yang sama, kehumasan dikembalikan ke kodratnya
sebagai aktivitas yang harus ditekuni, bahkan sukma yang harus dihayati, oleh
setiap insan Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar