Membersihkan
Noda Ekonomi
Ahmad Erani Yustika, GURU
BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF
INDEF
Sumber
: JAWA POS, 30
Januari 2012
DI
tengah berita gembira mengenai perekonomian nasional yang tetap bekerja dengan
lumayan bagus pada 2011 (pertumbuhan ekonomi sekitar 6,5 persen) dan status
layak investasi oleh Moody's Investor Service, kabar tidak sedap masih saja
berdatangan, seakan tidak berhenti. Yang termasuk paling menyesakkan adalah
kabar soal kredit yang tidak terpakai/terserap (undisbursed loan) dalam
jumlah sangat besar. Padahal, kredit itu sudah disetujui bank.
Sampai akhir November 2011, kredit tidak terpakai (KTT) mencapai Rp 661,87 triliun. Bisa jadi, sampai akhir 2011 KTT tembus Rp 700 triliun. Kecenderungan itu terus meningkat. Pada 2005 nilainya masih Rp 151,98, kemudian Rp 162,98 (2006), Rp 208,33 (2007), Rp 247,67 (2008), Rp 323,71 (2009), dan Rp 554,70 (2010, semua dalam triliun [Jawa Pos, 28/1/2012]). Dari data tersebut, terlihat persentase KTT meningkat setiap tahun.
Masalah di Lapangan
Realitas di atas tentu sangat mengecewakan. Sebab, sampai kini 80 persen sumber pembiayaan pergerakan ekonomi nasional masih ditopang sektor perbankan. Jika intermediasi perbankan tidak berjalan, praktis ekonomi mandek. KTT juga menjadi sumber rendahnya rasio kredit terhadap PDB di Indonesia, yang hanya sekitar 26 persen. Jika seluruh KTT tersebut bisa direalisasikan, rasio kredit terhadap PDB dapat didongkrak ke level 35 persen.
Padahal, rasio kredit terhadap PDB negara-negara Asia lain sangat tinggi. Misalnya; Tiongkok 114,5 persen; Malaysia 108,8 persen; Thailand 84,2 persen; dan India 47,4 persen (Bank Indonesia, 2010). Berdasar komparasi data tersebut, terlihat dengan terang betapa besar peran sektor perbankan di negara-negara itu dalam menggerakkan perekonomian, yang sebagian tentu disumbang akses masyarakat yang cukup tinggi terhadap sektor keuangan (financial inclusion).
Berikutnya, keluhan mendasar yang disuarakan pelaku ekonomi (khususnya investor/debitor) adalah tingginya tingkat suku bunga kredit perbankan sehingga biaya investasi menjadi mahal. Sampai Januari 2012, suku bunga kredit (nominal) 10,3-13,5 persen (bergantung sektor ekonomi) sehingga tingkat bunga tersebut tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Asia.
Hal itu bisa terjadi karena dua sumber. Pertama, net interest margin (NIM) di Indonesia sangat tinggi, yakni 5,89 persen. Dengan kata lain, bank di Indonesia mengambil margin laba yang begitu tinggi. Bandingkan dengan Filipina yang NIM-nya 3,92 persen; Vietnam yang mematok 3,43 persen; Malaysia yang mengambil 3,03 persen; dan Singapura yang NIM-nya 1,79 persen (BI, diolah).
Kedua, biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) juga sangat tinggi (boros). Jika dibuat rata-rata, BOPO perbankan per Oktober 2011 mencapai 85 persen, bahkan 95 persen. Padahal, rata-rata BOPO perbankan di ASEAN cuma di kisaran 60 persen. Dalam situasi itu sulit perbankan menurunkan tingkat bunga karena praktik tersebut dipakai untuk menutup biaya operasional yang boros.
Bukan hanya dari sisi perbankan, jika dikuliti lebih detail, sebagian besar KTT itu berasal dari kredit untuk pembangunan infrastruktur. Kendala investor untuk membangun infrastruktur adalah perizinan yang ruwet dan pembebasan lahan yang berbelit-belit. Studi Bank Dunia mengenai Doing Business 2012 menempatkan tiga aspek buruknya iklim investasi, yaitu inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur.
Pemerintah memang telah melakukan perbaikan dalam menurunkan biaya dan prosedur investasi. Tetapi, percepatannya kalah jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga. Dalam persoalan itu, Indonesia hanya lebih baik daripada Timor Leste, Laos, dan Kamboja pada level ASEAN. Akibatnya, meskipun kredit investasi yang diajukan telah disetujui perbankan, investor tetap tidak dapat menyerap kredit karena terbentur masalah perizinan dan lahan tersebut.
Dua Jalur Kebijakan
Dengan mencermati noda ekonomi itu, solusinya harus bersumber dari dua jalur. Pertama, di sisi perbankan upaya menurunkan tingkat suku bunga, NIM, dan BOPO merupakan agenda mendesak yang perlu dilakukan. Penerapan tingkat suku bunga kredit yang harus selalu lebih tinggi daripada inflasi sebetulnya sudah gugur. Sebab, di Thailand, Filipina, Malaysia, dan yang lain bunga kredit lebih rendah daripada inflasi. Bank Indonesia juga sudah benar saat meluncurkan kebijakan yang mewajibkan bank mengumumkan prime lending rate tiap bulan agar masyarakat tahu posisi bunga kredit tiap bank. Demikian pula, gubernur BI sudah mengimbau bank mengurangi biaya operasional yang tidak patut, seperti hadiah kepada nasabah dan bonus yang berlebihan. Gubernur BI juga perlu bertemu dengan menteri BUMN untuk menyepakati bank persero menjadi pionir penurunan tingkat bunga. Dipercayai cara itu akan diikuti bank-bank lain.
Kedua, pemerintah harus menyadari bahwa kebuntuan pergerakan kegiatan ekonomi sebagian besar disumbat ketiadaan infrastruktur. Problemnya, pembangunan infrastruktur tetap akan lambat bila dua persoalan inti tidak segera diselesaikan: perizinan dan lahan (di luar pembiayaan). Jika dua aspek itu saja dapat diperbaiki pemerintah, infrastruktur lekas dapat dibangun.
Pemerintah sebetulnya sudah paham sepenuhnya dengan persoalan dan gagasan itu, tapi entah kenapa tidak segera bergegas mengerjakannya. Konsentrasi pemerintah tampaknya menyebar ke banyak agenda sehingga prioritas kebijakan dan tindakan tidak lekas bisa dipilih. Tubrukan antara agenda politik dan keterbatasan kapasitas birokrasi mengakibatkan hal-hal yang sederhana menjadi rumit dan peluang yang datang lenyap begitu saja. Ini titik genting pemerintah: berupaya memanfaatkan peluang yang terbentang atau dikenang sebagai pecundang yang malang! ●
Sampai akhir November 2011, kredit tidak terpakai (KTT) mencapai Rp 661,87 triliun. Bisa jadi, sampai akhir 2011 KTT tembus Rp 700 triliun. Kecenderungan itu terus meningkat. Pada 2005 nilainya masih Rp 151,98, kemudian Rp 162,98 (2006), Rp 208,33 (2007), Rp 247,67 (2008), Rp 323,71 (2009), dan Rp 554,70 (2010, semua dalam triliun [Jawa Pos, 28/1/2012]). Dari data tersebut, terlihat persentase KTT meningkat setiap tahun.
Masalah di Lapangan
Realitas di atas tentu sangat mengecewakan. Sebab, sampai kini 80 persen sumber pembiayaan pergerakan ekonomi nasional masih ditopang sektor perbankan. Jika intermediasi perbankan tidak berjalan, praktis ekonomi mandek. KTT juga menjadi sumber rendahnya rasio kredit terhadap PDB di Indonesia, yang hanya sekitar 26 persen. Jika seluruh KTT tersebut bisa direalisasikan, rasio kredit terhadap PDB dapat didongkrak ke level 35 persen.
Padahal, rasio kredit terhadap PDB negara-negara Asia lain sangat tinggi. Misalnya; Tiongkok 114,5 persen; Malaysia 108,8 persen; Thailand 84,2 persen; dan India 47,4 persen (Bank Indonesia, 2010). Berdasar komparasi data tersebut, terlihat dengan terang betapa besar peran sektor perbankan di negara-negara itu dalam menggerakkan perekonomian, yang sebagian tentu disumbang akses masyarakat yang cukup tinggi terhadap sektor keuangan (financial inclusion).
Berikutnya, keluhan mendasar yang disuarakan pelaku ekonomi (khususnya investor/debitor) adalah tingginya tingkat suku bunga kredit perbankan sehingga biaya investasi menjadi mahal. Sampai Januari 2012, suku bunga kredit (nominal) 10,3-13,5 persen (bergantung sektor ekonomi) sehingga tingkat bunga tersebut tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Asia.
Hal itu bisa terjadi karena dua sumber. Pertama, net interest margin (NIM) di Indonesia sangat tinggi, yakni 5,89 persen. Dengan kata lain, bank di Indonesia mengambil margin laba yang begitu tinggi. Bandingkan dengan Filipina yang NIM-nya 3,92 persen; Vietnam yang mematok 3,43 persen; Malaysia yang mengambil 3,03 persen; dan Singapura yang NIM-nya 1,79 persen (BI, diolah).
Kedua, biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) juga sangat tinggi (boros). Jika dibuat rata-rata, BOPO perbankan per Oktober 2011 mencapai 85 persen, bahkan 95 persen. Padahal, rata-rata BOPO perbankan di ASEAN cuma di kisaran 60 persen. Dalam situasi itu sulit perbankan menurunkan tingkat bunga karena praktik tersebut dipakai untuk menutup biaya operasional yang boros.
Bukan hanya dari sisi perbankan, jika dikuliti lebih detail, sebagian besar KTT itu berasal dari kredit untuk pembangunan infrastruktur. Kendala investor untuk membangun infrastruktur adalah perizinan yang ruwet dan pembebasan lahan yang berbelit-belit. Studi Bank Dunia mengenai Doing Business 2012 menempatkan tiga aspek buruknya iklim investasi, yaitu inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur.
Pemerintah memang telah melakukan perbaikan dalam menurunkan biaya dan prosedur investasi. Tetapi, percepatannya kalah jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga. Dalam persoalan itu, Indonesia hanya lebih baik daripada Timor Leste, Laos, dan Kamboja pada level ASEAN. Akibatnya, meskipun kredit investasi yang diajukan telah disetujui perbankan, investor tetap tidak dapat menyerap kredit karena terbentur masalah perizinan dan lahan tersebut.
Dua Jalur Kebijakan
Dengan mencermati noda ekonomi itu, solusinya harus bersumber dari dua jalur. Pertama, di sisi perbankan upaya menurunkan tingkat suku bunga, NIM, dan BOPO merupakan agenda mendesak yang perlu dilakukan. Penerapan tingkat suku bunga kredit yang harus selalu lebih tinggi daripada inflasi sebetulnya sudah gugur. Sebab, di Thailand, Filipina, Malaysia, dan yang lain bunga kredit lebih rendah daripada inflasi. Bank Indonesia juga sudah benar saat meluncurkan kebijakan yang mewajibkan bank mengumumkan prime lending rate tiap bulan agar masyarakat tahu posisi bunga kredit tiap bank. Demikian pula, gubernur BI sudah mengimbau bank mengurangi biaya operasional yang tidak patut, seperti hadiah kepada nasabah dan bonus yang berlebihan. Gubernur BI juga perlu bertemu dengan menteri BUMN untuk menyepakati bank persero menjadi pionir penurunan tingkat bunga. Dipercayai cara itu akan diikuti bank-bank lain.
Kedua, pemerintah harus menyadari bahwa kebuntuan pergerakan kegiatan ekonomi sebagian besar disumbat ketiadaan infrastruktur. Problemnya, pembangunan infrastruktur tetap akan lambat bila dua persoalan inti tidak segera diselesaikan: perizinan dan lahan (di luar pembiayaan). Jika dua aspek itu saja dapat diperbaiki pemerintah, infrastruktur lekas dapat dibangun.
Pemerintah sebetulnya sudah paham sepenuhnya dengan persoalan dan gagasan itu, tapi entah kenapa tidak segera bergegas mengerjakannya. Konsentrasi pemerintah tampaknya menyebar ke banyak agenda sehingga prioritas kebijakan dan tindakan tidak lekas bisa dipilih. Tubrukan antara agenda politik dan keterbatasan kapasitas birokrasi mengakibatkan hal-hal yang sederhana menjadi rumit dan peluang yang datang lenyap begitu saja. Ini titik genting pemerintah: berupaya memanfaatkan peluang yang terbentang atau dikenang sebagai pecundang yang malang! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar