KPK,
Fokuslah!
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI
(PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber
: KOMPAS, 30
Januari 2012
Meskipun Miranda Goeltom sudah ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia 2004, tugas Komisi Pemberatasan Korupsi masih sangat jauh untuk dapat
dikatakan selesai.
Publik kini tidak hanya menanti kejelasan
sumber dana yang digunakan dalam kasus suap ini. Mereka juga menanti langkah
KPK untuk membongkar dan menuntaskan semua megaskandal lain yang masih tersisa.
Hampir semua skandal korupsi yang bertautan dengan kuasa politik ternyata perlu
waktu lebih lama untuk bisa diselesaikan secara tuntas.
Banyak megaskandal yang berada di tengah
pusaran kuasa politik faktual, membuat proses hukum seperti mati suri. Andaipun
bisa bekerja, penegakan hukum hanya mampu menyentuh pelaku yang berada di
lingkar paling luar pusat kekuasaan. Di antara skandal yang masih jauh untuk
dapat dikatakan tuntas adalah kelanjutan proses hukum kasus Wisma Atlet, kasus
Hambalang, dan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Rangkaian kasus tersebut begitu menarik
perhatian publik karena bersentuhan langsung dengan mereka yang sedang berada
di pusaran kuasa politik faktual saat ini. Bahkan, banyak pihak menilai upaya
penuntasan kasus tersebut bisa jauh lebih rumit dibandingkan dengan skandal
suap yang melibatkan Miranda.
Pembuka
Jalan
Setelah mengalami kebuntuan yang panjang,
penetapan Miranda sebagai tersangka patut mendapatkan apresiasi khusus.
Penetapan Miranda sebagai tersangka ini tak hanya membuka jalan bagi
dilakukannya penelusuran lebih jauh misteri dan sumber dana cek perjalanan,
tetapi juga menjadi titik penting untuk menilai apakah KPK berani keluar dari
kungkungan rasa takut alias mati nyali untuk bergerak lebih jauh.
Dengan munculnya keberanian untuk keluar dari
kungkungan, KPK harus mampu bergerak dengan kecepatan tinggi. Apabila kembali
berdiam diri, proses hukum akan kembali menyerah terhadap kuasa politik
faktual. Ujung dari semuanya, gendang pelaku politik akan selalu mendominasi
proses hukum.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, proses
hukum terbukti tertatih-tatih menatap kegaduhan panggung politik. Seperti
diungkapkan dalam artikel “Membina(sakan) Korupsi” (Kompas, 2 Maret 2011),
dalam batas-batas tertentu, kehidupan politik lebih banyak hadir sebagai
”panglima” dalam proses penegakan hukum.
Akibatnya, acap kali karut-marut dunia
politik meluruhkan makna hakiki proses hukum dalam menegakkan hukum dan
keadilan. Agar tidak kembali terjebak dalam mati suri panjang, momentum yang
diraih KPK ketika menetapkan Miranda menjadi tersangka harus digerakkan dan
diberi energi tambahan untuk bisa menjangkau skandal lain yang hingga kini
masih menggantung.
Dalam konteks itu, ujian KPK sesungguhnya
bukanlah terletak pada keberanian untuk menindaklanjuti momentum pemulangan
Nunun Nurbaeti ke Tanah Air, tetapi kemampuan membongkar berbagai megaskandal
yang melilit sejumlah elite penguasa saat ini.
Harus
Fokus
Perubahan status hukum Miranda harus dilihat
dan ditempatkan sebagai pembuka jalan bagi KPK untuk menjamah skandal lain,
termasuk kasus Wisma Atlet. Langkah ini menjadi pilihan mendesak agar KPK tidak
dituding sengaja memperlambat penyelesaian skandal ini. Pernyataan Achmad
Mubarok, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, yang menyebut bahwa proses
hukum berlangsung bertele-tele (Kompas, 25 Januari 2012), barangkali bisa
menjadi pelecut.
Di tengah pusaran skandal korupsi, baik yang
lama maupun yang baru, KPK dituntut untuk mampu menentukan fokus dalam
penyelesaian kasus. Jika bekerja tanpa fokus, KPK akan dengan mudah
terperangkap dalam tumpukan kasus. Merujuk pengalaman saat ini, misalnya,
tiba-tiba KPK diberi tambahan beban dengan adanya laporan pengadaan di DPR.
Pada satu sisi, laporan ini membuktikan bahwa
KPK sudah menjadi tempat yang dipercayai untuk mengungkap kemungkinan adanya
penyelewengan di DPR. Namun, di sisi lain, bukan tidak mungkin laporan indikasi
penyelewengan itu sengaja didesain agar KPK terjebak tak berdaya dalam tumpukan
laporan kasus.
Dalam kasus Wisma Atlet, KPK bahkan tidak
hanya dituntut fokus, tetapi harus lebih fokus. Keharusan ini tak terlepas dari
perjalanan dan perkembangan proses hukum terhadap sejumlah pihak yang terkait.
Secara hukum, keterangan Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang bisa dikatakan
sudah lebih dari cukup untuk bisa melanjutkan kasus ini hingga ke semua pihak
yang diindikasikan terlibat.
Keterangan Nazaruddin dan Mindo yang
disampaikan saat persidangan tidak dapat dikatakan sebagai fakta biasa, tetapi
sudah menjadi fakta hukum. Artinya, KPK tidak perlu menunggu sampai adanya
putusan pengadilan yang mengukuhkan kesaksian Nazaruddin dan Rosalina. Jika
pergerakan berikutnya digantungkan pada putusan pengadilan, apalagi menunggu
hingga putusan hakim memiliki kekuatan hukum tetap, maka dapat dikatakan bahwa
nyali KPK belum sepenuhnya pulih.
Sekali lagi, kemauan dan kemampuan KPK
benar-benar dalam ujian serius menghadapi kasus yang berada di tengah pusaran
kekuasaan ini. Menarik menyimak Tajuk Rencana Kompas (30/12/2011) yang
menyebutkan bahwa proses penyelesaian yang tertunda-tunda dan tidak jelas hanya
akan membuat persoalan menumpuk dan tumpang tindih sehingga semakin sulit untuk
diurai.
Agar lebih fokus, pimpinan KPK harus mampu
menutup rapat-rapat telinga dan mata mereka dari kegaduhan yang ada di panggung
politik. Atas nama penegakan hukum, KPK dituntut untuk berani menghunus pedang
keadilan. Dengan menunda-nunda penuntasan kasus, termasuk skandal Wisma Atlet,
KPK tidak hanya akan menciptakan diskriminasi dalam penegakan hukum, tetapi
juga membunuh dan mengubur asa pemberantasan korupsi yang telah lama tergerus.
Karena itu, tidak terlalu berlebihan untuk menyerukan: KPK, fokuslah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar