Menuju
Pemilu Demokratis
Fauzan Ali Rasyid, DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SGD
BANDUNG,
ALUMNUS DOKTOR ILMU
POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA (UI)
Sumber
: SINDO, 31
Januari 2012
Sejak awal pertumbuhannya, ide dasar
demokrasi sejatinya merupakan sarana penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
(human dignity).
Demokrasi diharapkan mampu menjadi
instrumen dalam memelihara nilai-nilai peradaban kemanusiaan, terutama agar
transisi kekuasaan dan proses penyelenggaraan pemerintahan dapat dikelola
secara baik. Indikator paling menonjol dalam sebuah masyarakat demokratik
adalah digelarnya sebuah pemilihan umum (pemilu) yang jujur,bersih,adil,terbuka
dan berkeadaban. Penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat mutlak
untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang kuat di mata publik.Kekuasaan akan
mudah goyah bila kemenangan dalam pemilu diraih dengan cara-cara yang tidak
demokratis.
Legitimasinya lemah, rentan konflik, dan memicu prahara sosial. Pemilu yang berlangsung secara tidak demokratis juga akan melahirkan konflik horizontal dan merusak kohesi sosial yang dalam jangka panjang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Secara substantif, pemilu akan berlangsung secara demokratis bila mampu menyediakan ruang publik (public sphere) yang seluas-luasnya bagi segenap rakyat dalam mewujudkan kedaulatannya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus bisa mengartikulasikan aspirasi, kehendak dan kepentingannya secara merdeka.
Rakyat harus bebas memanfaatkan ruang publiknya dengan menentukan calon pemimpinnya sendiri baik yang akan mengisi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Secara prosedural, tahapantahapan pemilu yang dilakukan bisa menjelmakan hak-hak substantif rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan dengan konsisten memegang teguh prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan.Kendati perlu dihindari proses-proses politik yang dilalui tidak terjebak pada demokrasi prosedural, yang justru menutupi esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Secara institusional,penyelenggara pemilu harus benarbenar independen, imparsial dan profesional.
Tanpa keberadaan penyelenggara pemilu yang berkualitas, demokrasi tidak akan tumbuh secara baik. Kualitas demokrasi amat sangat ditentukan oleh hadirnya pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak elite politik tertentu. Karena itu, upaya-upaya sistematis yang berusaha mencederai proses penyelenggaraan pemilu terutama dalam proses penghitungan suara harus diantisipasi dan dicegah.
Kriteria Pemilu Demokratis
Austin Ranney (1982) merumuskan delapan kriteria pokok sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pertama, adanya hak pilih umum (aktif maupun pasif). Dalam pemilu eksekutif ataupun pemilu legislatif, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam ruang publik (public sphere) untuk memilih dan dipilih.Kedua, kesetaraan bobot suara: tidak ada seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan bobot suara yang berbeda dengan yang lainnya.Ketiga, tersedianya pilihan kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda.
Keempat, lahirnya kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.Kelima,persamaan hak kampanye.Semua calon diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye. Keenam, kebebasan warga negara dalam memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.Kedelapan, penyelenggaraan pemilu secara periodik. Dalam konteks Indonesia, kriteria yang dirumuskan Ranney tersebut sebagian besar sudah terpenuhi.
Kecuali yang masih rawan dicederai adalah kriteria ketujuh, yaitu kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Selama penyelenggara pemilu tidak mencerminkan sikap independensi, imparsialitas dan profesionalismenya,maka kerawanan dalam proses penghitungan suara akan selalu terjadi. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan akan menyeruak. Situasi demikian akan menjadi pemantik konflik antar individu dan kelompok di masyarakat dan menguras energi bangsa.
Karena itu, penyelenggara pemilu mesti memahami betul spirit amanat UUD 1945 Bab VII B Pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini menuntut komisioner yang memiliki rekam jejak yang clean and clear sehingga segala keputusannya tidak berpihak (impartial),sah (legitimated) dan dipercaya (credible).
Menurut Wall et al (2005), penyelenggara pemilu mesti memenuhi prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional,dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip keadilan dan fairness dalam setiap proses tahapan pemilu.
Karena itu, hemat saya, pembangunan masyarakat sipil dan hadirnya kualitas penyelenggara pemilu harus berjalan seiring agar demokrasi kita tumbuh dengan performa yang lebih baik seperti yang pernah diteladankan para pendahulu kita pada Pemilu 1955, yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik modern Indonesia. Hadirnya prinsip-prinsip keadilan dalam proses-proses politik akan menghadirkan tatanan sosial (social order) yang madani (civilian).
Bila prinsipprinsip keadilan dan fairness mengejawantah dalam proses demokrasi khususnya dalam pemilu,akan menjadi pilar dalam pembaharuan peradaban politik bangsa ini ke depan. Semoga! ●
Legitimasinya lemah, rentan konflik, dan memicu prahara sosial. Pemilu yang berlangsung secara tidak demokratis juga akan melahirkan konflik horizontal dan merusak kohesi sosial yang dalam jangka panjang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Secara substantif, pemilu akan berlangsung secara demokratis bila mampu menyediakan ruang publik (public sphere) yang seluas-luasnya bagi segenap rakyat dalam mewujudkan kedaulatannya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus bisa mengartikulasikan aspirasi, kehendak dan kepentingannya secara merdeka.
Rakyat harus bebas memanfaatkan ruang publiknya dengan menentukan calon pemimpinnya sendiri baik yang akan mengisi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Secara prosedural, tahapantahapan pemilu yang dilakukan bisa menjelmakan hak-hak substantif rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan dengan konsisten memegang teguh prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan.Kendati perlu dihindari proses-proses politik yang dilalui tidak terjebak pada demokrasi prosedural, yang justru menutupi esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Secara institusional,penyelenggara pemilu harus benarbenar independen, imparsial dan profesional.
Tanpa keberadaan penyelenggara pemilu yang berkualitas, demokrasi tidak akan tumbuh secara baik. Kualitas demokrasi amat sangat ditentukan oleh hadirnya pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak elite politik tertentu. Karena itu, upaya-upaya sistematis yang berusaha mencederai proses penyelenggaraan pemilu terutama dalam proses penghitungan suara harus diantisipasi dan dicegah.
Kriteria Pemilu Demokratis
Austin Ranney (1982) merumuskan delapan kriteria pokok sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pertama, adanya hak pilih umum (aktif maupun pasif). Dalam pemilu eksekutif ataupun pemilu legislatif, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam ruang publik (public sphere) untuk memilih dan dipilih.Kedua, kesetaraan bobot suara: tidak ada seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan bobot suara yang berbeda dengan yang lainnya.Ketiga, tersedianya pilihan kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda.
Keempat, lahirnya kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.Kelima,persamaan hak kampanye.Semua calon diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye. Keenam, kebebasan warga negara dalam memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.Kedelapan, penyelenggaraan pemilu secara periodik. Dalam konteks Indonesia, kriteria yang dirumuskan Ranney tersebut sebagian besar sudah terpenuhi.
Kecuali yang masih rawan dicederai adalah kriteria ketujuh, yaitu kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Selama penyelenggara pemilu tidak mencerminkan sikap independensi, imparsialitas dan profesionalismenya,maka kerawanan dalam proses penghitungan suara akan selalu terjadi. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan akan menyeruak. Situasi demikian akan menjadi pemantik konflik antar individu dan kelompok di masyarakat dan menguras energi bangsa.
Karena itu, penyelenggara pemilu mesti memahami betul spirit amanat UUD 1945 Bab VII B Pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini menuntut komisioner yang memiliki rekam jejak yang clean and clear sehingga segala keputusannya tidak berpihak (impartial),sah (legitimated) dan dipercaya (credible).
Menurut Wall et al (2005), penyelenggara pemilu mesti memenuhi prinsip-prinsip independence (kemandirian), impartiality (tidak memihak), integrity (integritas), transparency (keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism (profesionalisme), servicemindedness (berorientasi pada pelayanan), dan accountable (bertanggung jawab). Lahirnya masyarakat sipil (civil society) yang kritis, cerdas, rasional,dan bertanggung jawab menjadi percuma bila penyelenggara pemilunya menciderai prinsip-prinsip keadilan dan fairness dalam setiap proses tahapan pemilu.
Karena itu, hemat saya, pembangunan masyarakat sipil dan hadirnya kualitas penyelenggara pemilu harus berjalan seiring agar demokrasi kita tumbuh dengan performa yang lebih baik seperti yang pernah diteladankan para pendahulu kita pada Pemilu 1955, yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik modern Indonesia. Hadirnya prinsip-prinsip keadilan dalam proses-proses politik akan menghadirkan tatanan sosial (social order) yang madani (civilian).
Bila prinsipprinsip keadilan dan fairness mengejawantah dalam proses demokrasi khususnya dalam pemilu,akan menjadi pilar dalam pembaharuan peradaban politik bangsa ini ke depan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar