Kenaifan
Politik Pengelolaan Subsidi BBM
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA, ANGGOTA
DEWAN TRANSPORTASI KOTA JAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Januari 2012
Kami
tidak tahu situasi di masa depan akan seperti apa. Itulah pernyataan Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa (Koran Tempo , Sabtu, 21 Januari
12) berkaitan dengan opsi yang akan dipilih pemerintah untuk mengurangi
tingginya subsidi bahan bakar minyak. Sebagai pejabat publik yang sangat
strategis di negeri ini, pernyataan Hatta Rajasa terasa amat naif. Idealnya,
dengan status yang disandangnya, plus dikelilingi berbagai staf ahli di
bidangnya, pernyataan semacam itu tak begitu pantas meluncur dari mulut seorang
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Dalam
konteks pengelolaan energi primer, situasi masa depan, baik lokal, nasional,
maupun bahkan global, bisa terbaca dengan gamblang. Tak perlu lagi kajian
ilmiah yang njelimet dan bertele-tele, karena semua data dan informasi
sudah sangat tersedia. Apakah Hatta Rajasa tidak paham bahwa cadangan minyak
mentah di perut bumi Indonesia yang sudah terbukti hanya 0,3 persen dari
cadangan minyak bumi dunia?
Apakah Hatta Rajasa tak pernah membaca bahwa tren
harga minyak mentah dunia akan semakin mahal, seiring dengan menipisnya
cadangan minyak bumi? Apakah Hatta Rajasa juga tidak pernah menguping diskusi
bahwa konsumsi yang tinggi terhadap minyak bumi menjadi pemicu utama terjadinya
fenomena pemanasan global? Apakah Hatta Rajasa juga ingin membutakan mata bahwa
kini Indonesia sudah menjadi net importer bahan bakar minyak? Sederet
pertanyaan dan pernyataan itu (yang semuanya sudah menjadi fakta) seharusnya
menjadi basis kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan subsidi bahan bakar
minyak di Indonesia. Bukan lagi kebijakan naif (mencla-mencle ) seperti
saat ini.
Manuver
pemerintah yang tidak ingin menaikkan harga bahan bakar minyak, dan hanya
melakukan pembatasan, sangat boleh jadi merupakan cerminan terhadap kenaifan
kebijakan yang digulirkan. Mengatakan tidak ingin menaikkan harga bahan bakar
minyak, tetapi masyarakat pengguna kendaraan pribadi roda empat dipaksa
menggunakan bahan bakar minyak non-subsidi, yang rata-rata harganya dua kali
lipat, apakah hal itu bukan kenaikan, bahkan mencapai 100 persen? Ironisnya,
hal itu disambar dengan enteng oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral, “Kalau enggak mau Pertamax, boleh saja pakai Premium, tapi Premium
dengan harga keekonomian, yang harganya mendekati harga Pertamax.” Loh, Premium
harga keekonomian yang kisaran harganya tidak kurang dari Rp 7.500 per
liter--apakah itu juga bukan kenaikan harga namanya?
Kenaifan
berikutnya, ketika masyarakat merasa berat menggunakan Pertamax, masyarakat
didorong menggunakan gas (BBG). Sebenarnya ini ide yang amat visioner:
Indonesia berlimpah gas, gas lebih ramah lingkungan dan lebih efisien dari sisi
ekonomi. Namun ide yang visioner ini tiba-tiba menjadi naif. Sebab, apakah
pasokan gasnya dijamin cukup, karena selama ini gas kita lebih banyak untuk kepentingan
ekspor. Naif, karena jelas-jelas sarana dan prasarana untuk gas (SPBG) tidak
siap. SPBG hanya ada di area Jabodetabek, itu pun hanya beberapa gelintir (8
buah SPBG). Bahkan, menurut keterangan Gabungan Industri Otomotif Indonesia,
produk otomotif mutakhir di Indonesia hanya dapat dipasok oleh bahan bakar
dengan octane number 92 (Pertamax), sedangkan octane number BBG
mencapai 103!
Nah,
ini juga hal yang naif, jika pemerintah tetap ngotot memberlakukan
pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi. Pertama, sulitnya pengawasan terhadap
kemungkinan terjadinya penyelundupan dan penimbunan oleh oknum. Dan ini sudah
sangat sering terjadi. Konon, beberapa pengemudi angkutan umum di Kepulauan
Riau pun sudah berancang-ancang memodifikasi tangki bahan bakarnya. Tujuannya
jelas, sebagai pengemudi, akan lebih menguntungkan “berjualan “ Premium
daripada mengais penumpang angkutan umum, yang kian menyusut karena tergerus
penggunaan sepeda motor.
Kedua,
penggunaan sepeda motor akan makin marak. Bahkan, menurut estimasi Wakil
Menteri Perhubungan Bambang Susantono, migrasi pengguna kendaraan roda empat ke
roda dua bisa mencapai 50 persen. Logika ini bisa dipahami karena,
bagaimanapun, menggunakan sepeda motor jauh lebih efisien dari sisi ekonomi,
karena masih boleh menyeruput Premium. Lagi-lagi, anggaran untuk subsidi bahan
bakar minyak akhirnya menggelembung lagi!
Ketiga,
pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi hanya akan menguntungkan SPBU asing.
Apalagi, dengan pencitraan produk dan SPBU milik PT Pertamina yang masih kurang
bagus di mata masyarakat, maka tren migrasi konsumen ke SPBU asing makin
terbuka lebar. Tidak mengherankan jika wacana kebijakan ini disambut dengan
sangat antusias oleh para pengelola SPBU asing. Manajemen Shell, misalnya,
bersiap menambah jaringan SPBU-nya hingga 26 buah se-Jabodetabek.
Pada akhirnya, dengan alasan dan logika apa
pun, wacana kebijakan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi adalah wacana
yang naif; tak perlu dilanjutkan, apalagi diimplementasikan. Jika konteksnya
untuk menekan tingginya anggaran subsidi bahan bakar minyak, kenaikan harga
adalah kebijakan yang paling konkret, rasional, dan efisien. Bahkan hal itu
lebih menyehatkan dari sisi ekonomi makro sekalipun. Bahwa Undang-Undang
tentang APBN 2012 telah mengunci untuk tidak ada kenaikan harga bahan bakar
minyak, itu hanya masalah normatif belaka. “Sandera politik” terhadap
pengelolaan subsidi bahan bakar minyak harus segera diakhiri; bukan hanya oleh
kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif, bahkan partai politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar