Islam
dan Krisis Lingkungan
Imam S Afrizal, KETUA UMUM PC PMII YOGYAKARTA PENELITI
CTSD UIN SUNAN KALIJAGA Sumber : REPUBLIKA, 27 Januari 2012
Isu
krisis lingkungan hidup adalah masalah yang menyita perhatian ma syarakat dunia
dalam kurun waktu 40 tahun ter akhir. Masyarakat global mulai menyadari bahwa
industrialisasi dan pembangunan yang diorientasikan pada peningkatan ekonomi
dan kemajuan teknologi telah mengancam masa depan planet Bumi ini. Kerusakan
lingkungan yang berkelanjutan dengan skala ekstensif menuntut masyarakat global
untuk bersatu padu menghadapinya dengan beragam cara dan disiplin pengetahuan
yang berbeda-beda.
Philip
Shabecoff, sebagaimana dikutip Mudhofir Abdullah (2010:2), mengemukakan bahwa
sejak abad ke-19 akar-akar gerakan environmentalism modern telah muncul, namun
gerakan tersebut berkembang secara masif pada abad ke-20. Pada 1960-an,
beberapa ahli ekonomi mulai mengkaji dampak pertumbuhan ekonomi atas
lingkungan, salah satunya Kenneth Boulding, seorang ahli ekonomi Amerika
Serikat (AS).
Pada
1960-an juga ditandai dengan kesadaran sekelompok teolog Kristen, ilmuan, dan
pemimpin gereja untuk membentuk kelompok studi Iman-ManusiaAlam di bawah payung
National Council of Churches. Menjelang 1970-an, sebuah gerakan eko-keadilan
yang berupaya mengintegrasikan ekologi, keadilan, dan iman Kristen mulai
mengungkapkan pemikiran mereka dalam beberapa telaah teologis, etis, histo ris,
biblikal, dan kebijakan umum yang berlangsung di Amerika Utara (Charpman,
2007:32).
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kali menyelenggarakan konferensi internasional
tentang lingkungan pada 1972 di Stockholm, Swedia. Sejak saat itu, keterlibatan
agama-agama besar dalam masalah konservasi lingkungan semakin intens dan
mendapat perhatian khusus. Agamaagama besar ditempatkan sebagai pilar penting
dalam menopang kesadaran konservasi lingkungan.
Menurut
Mudhofir Abdullah, ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat
kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas konservasi
lingkungan yang mengalami degradasi akibat agresi manusia-manusia modern secara
terus-menerus melalui watak penaklukannya.
Peran
serta pemuka agama sangat penting sebagai upaya penaggulangan krisis lingkungan
dalam jangka panjang. Seyyed Mohsen Miri (2007:24-25) membagi dua pendekatan
sebagai solusi untuk mengatasi krisis lingkungan, baik secara individual maupun
sosial. Pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang
terlihat langsung, membuat perubahan jangka pendek, dan membuat suatu
perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor
yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan
(aspek epistimologis), kerangka rohani, dan intelektual, serta paradigma budaya
yang menyebabkan krisis tersebut terjadi dengan mengacu kepada pendekatan
pertama.
Bagi
Seyyed Mohsen Miri, pendekatan kedua dinilai lebih tepat karena mampu
memberikan pengaruh lebih nyata. Menurutnya, jika hanya berpegang pada pendekatan
pertama, maka masalah akan muncul kembali dan menjadi lebih serius karena
krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun beberapa percobaan penting telah
dilakukan, semisal proyek penggantian kelengkapan transportasi, membuat bahan
bakar nonfosil, merancang teknologi ramah lingkungan, pendekatan pertama
tidaklah dapat menghapus krisis lingkungan dan tidak dapat menjadi solusi yang
memadai bagi masalah tersebut.
Krisis
lingkungan memang butuh penyelesaian yang bersifat jangka panjang karena krisis
ini tidak semata-mata disebabkan oleh persoalan sosial-ekonomi dan kependudukan
semata. Krisis lingkungan adalah persoalan ultimasi, persoalan cara pandang
manusia terhadap alam semesta. Tak ada yang tidak sepakat bahwa problem
lingkungan saat ini terjadi karena perilaku manusia yang mengubah ekosistem
bumi menjadi terancam keseimbangannya.
Solusi
Pada titik inilah peran agama untuk menjawab problem lingkungan yang krusial
menjadi sangat dibutuhkan. Menurut Seyyed Hossein Nasr (2005), nilai-nilai
agama dan kearifan-kearifan moral sangat diperlukan untuk merawat keseimbangan
alam dari situasi chaos. Tanpa adanya penguatan terlebih dahulu basis keyakinan
dan spiritual manusia, serta memurnikan dirinya dari intervensi sifat dan sikap
arogansi, pragmatisme, rakus dan sifat nafsu lainnya, maka semua upaya yang
dilakukannya untuk melindungi alam dari kerusakan tak lebih dari se kadar tabir
untuk memenuhi ke, puasan dan keuntungan besar ba gi diri dan kelompoknya
semata dan tidak akan memerhatikan i apakah sesuai hasil kerja yang
diperolehnya dengan yang seha rusnya diperoleh.
Kian
berkembang sains dan teknologi modern berakibat pada , sekularisasi kosmos.
Menurut , Nasr, sekularisasi kosmos telah memisahkan manusia dengan ling
kungannya. Desakralisasi dan se kularisasi kosmos sepanjang be rabad-abad
membuat manusia i mengembangkan watak penaklu kan atas alam sehingga menim
bulkan krisis lingkungan sangat serius. Nasr menjelaskan bahwa i bumi kita
sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang
sudah tidak ramah kepadanya. Pandang, an sekular dan ilmu pengetahuan serta
teknologi yang tercerabut dari akar-akar spiritual agama, membuat bumi kian
mengalami krisis dan terus menghampiri titik kehancurannya.
Di
sinilah kemudian gagasan Nasr tentang sains yang suci (scientia sacra) menjadi
relevan.
Kita mesti mendukung untuk rekonstruksi
pemikiran ilmiah Islam atas dasar pengetahuan wah yu (revealde knowledge),
tidak menaklukkan alam, tetapi mei manfaatkannya sesuai dengan Perintah Allah
(function within Divine Commands), dan kritis ter hadap sekularisasi sains dan
penguasaan atas alam (critical of secularization of science and its domination
nature). Masyarakat modern perlu mengondisikan kembali pemahamannya tentang
eksistensi diri, alam dan Tuhan, serta bagaimana relasi yang se mestinya antara
yang satu dengan yang lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar