Syiah
dan Kerukunan?
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Fahmi Salim, WAKIL
SEKJEN MAJELIS INTELEKTUAL DAN ULAMA MUDA INDONESIA (MIUMI)
Sumber
: REPUBLIKA, 26
Januari 2012
Artikel
Haidar Bagir yang berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” (Republika, 20/ 1/2012)
memunculkan sedikit harapan akan kerukunan kaum Ahlusunah dan Syiah di
Indonesia. Apalagi, Haidar secara tegas mengimbau agar para pengikut Syiah di
Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah Syiah di Indonesia.
Menurutnya, Ayatullah Ali Taskheri, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih
Iran, pernah menyampaikan imbauan, “Hendaknya kaum syiah di Indonesia
meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum Muslim di Indonesia.”
Sampai di titik itu, sikap dan imbauan Haidar Bagir—pimpinan satu penerbit yang
cukup aktif me nebarkan pemikiran Syiah di Indonesia—cukup mengesankan.
Sayangnya,
pada paparan-paparan berikutnya, Haidar justru mendistorsi riwayat-riwayat Ahlu
sunah dan mementahkan ajakan ukhuwah itu sendiri. Berikut ini sejumlah
tanggapan terhadap paparan Haidar Bagir.
Pertama,
menurut Haidar Bagir, mayoritas ulama dan kaum Syiah tidak meyakini adanya
distorsi (tahrif) terhadap Alquran.
Tapi,
penjelasan Haidar itu berbeda dengan fakta. Adnan al-Bahrani, seorang tokoh
Syiah kontemporer, misalnya, masih berpendapat bahwa Alquran telah mengalami
distorsi dan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunah).
(Lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhu wah?! Hlm 302).
Seorang
ulama Syiah terkemuka, An-Nuri At-Thabarsi telah membahas tuntas soal tahrif
itu dalam buku tebal berjudul, Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb
al-Arbab. Di sini terhimpun lebih dari 200 riwayat yang membenarkan distorsi
dalam Alquran.
Bahkan,
di bukunya itu Nuri atThabarsi mengutip 40 nama ulama Syiah Imamiyah yang
meyakini dok trin tahrif Alquran itu. Jadi, mana yang bisa kita percaya, Haidar
Bagir atau Nuri at-Thabarsi? Selain Nuri Thabarsi, ada sede ret nama-nama
pemuka Syiah da ri berbagai periode sejarah yang juga tegas menyatakan
terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Prof Ahmad
Sa’ad al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed 2). Ia menjelas kan bahwa pernyataan
adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih dari 30 ulama Syiah Imamiyah, seperti
Fadhl ibn Syadzan anNaisaburi (w 260 H) di kitab AlIdhah hlm 112-114, Furat ibn
Ibrahim al-Kufi (ulama abad ke3 H) di kitab Tafsirnya vol 1/18, Al-‘Ayasyi
dalam Tafsirnya vol 1/12-13 dan 47-48, Abu al-Qasim Ali ibn Ahmad al-Kufi (w
352 H) dalam kitab Al-Istighotsah min Bida’ al-Tsalatsah vol 1/51-53, dan
sebagainya.
Juga,
silakan merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu Ja’far al-Kulaini w 329) yang
diakui sebagai kitab hadis induk yang pa ling sahih dengan riwayat muta watir
dan disusun pada masa Ghaybah Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat
kita jumpai keyakinan adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan
dan menghafal Alquran persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin
Abi Thalib dan imam-imam setelahnya (vol 1/228) atau para imam yang mendapat
wasiat.
Jumlah
ayatnya adalah 17 ribu ayat (vol 2/634) yang turut hilang dibawa Imam ke-12
Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.
Kedua,
lebih fatal lagi, untuk mendukung pendapatnya, Haidar memperkeruh suasana
dengan men distorsi riwayat-riwayat Ah lu sunah yang seolah-olah membenarkan adanya tahrif Alquran.
Ia
menulis, “Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab sahih yang menyatakan
hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti Aisyah karena dimakan kam
bing.” Kata-kata Haidar itu sebenar nya merupakan penghinaan terhadap Siti
Aisyah ra—istri Nabi Mu hammad SAW—yang memang sering dilecehkan kaum Syiah,
seolah-olah beliau ceroboh dalam urusan Alquran. Sayangnya, Hai dar tidak
menyebut sumber apa pun. Namun, dengan mudah tulis an semacam itu kita temukan
di berbagai blog di internet.
Jelas,
Haidar melakukan kekeliruan dan fitnah. Memang ada ter cantum dalam Sunan Ibnu
Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari
‘Aisyah, dan dari Ab durrahman ibn al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata,
“Telah turun ayat tentang rajam dan radha’ah (menyusui) orang dewasa dengan 10
kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku
dan saat Rasulullah SAW wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk
Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat
itu.” Padahal, hadis itu munkar dan sama sekali tidak sahih, meski di
riwayatkan oleh Ibnu Majah.
Para pakar hadis menjelaskan, ada ‘illat yang merusak sanadnya, yaitu pada salah
satu rawinya, Mu hammad ibn Ishaq, yang dinilai mudhtharib (kacau hadisnya).
Karena,
menyelisihi dan menya lahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh
(terpercaya). Ibnu Ma jah sendiri ketika meriwayat kan hadis ini dari Muhammad
ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia.
Perawi
lain yang lebih tsiqah seperti Imam Malik dalam AlMu wattha’ (vol 2/608) dari
Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no1452) dari
Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah, tidak menyebut
ungkapan bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab
itulah, Imam Az-Zaila’i menilai dalam Takhrij Hadis dan Atsar bahwa, penambahan
redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur Aisyah lalu dimakan kam
bing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan
Rafidhah (Syiah).
Hal
lain yang disinggung Hai dar adalah adanya kutukan Bani Umayyah terhadap Ali
bin Abi Tha lib. Cerita ini ditulis Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat. Tapi,
berita itu pun tidak benar dan sudah di teliti oleh Dr Ali Muhammad Shallabi
dalam bukunya Al-Khalifah al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.
Para
pakar dan Imam Hadis Ahlusunnah menilai, Ali al-Madaini dan Luth ibn Yahya se
bagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayat kan dari
orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Dr Shallabi juga
menemu kan tidak adanya kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan Daulah
Umayyah yang menceritakan ada nya kutukan terhadap Ali RA.
Kisah
itu baru ditulis di era Ba ni Abbasiyah dengan motif po litis untuk
menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat.
Dr
Shallabi juga yakin bahwa ki sah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab
karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis Syiah lainnya yang kemudian menyusup ke da
lam kitab tarikh Ahlusunah yang ditulis belakangan, seperti Ibnul Atsir dalam
Al-Kamil fi Tarikh yang dikutip oleh Haidar. Namun, sekali lagi, tidak ada satu
pun riwayat yang sahih dalam soal ini (Shallabi: 107).
Kita tentu menyambut baik se tiap upaya untuk
membangun hubungan damai. Tapi, seyogianya itu dilakukan dengan kejujuran dan
tidak mengulang-ulang lagi tuduhan dan fitnah terhadap sahabat dan istri Nabi
SAW serta mendistorsi sumber-sumber Ahlu Sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar