Raskin:
Rahmat atau Tragedi Kehidupan?
Entang Sastraatmadja, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT
Sumber
: REPUBLIKA, 30
Januari 2012
Semangat
awal program be ras untuk masyarakat mis kin (raskin) memang ti dak dirancang
untuk permanen. Program raskin sengaja dilahirkan hanya sebagai jawaban atas
krisis multidimensi yang ketika itu melanda warga dunia. Program raskin adalah
wujud keseriusan pemerintah untuk membantu pengeluaran masyarakat miskin,
khususnya dalam meme nuhi kebutuhan pokok.
Program
raskin rupanya betul-betul berkenan di nurani kaum miskin. Akibatnya, program
ras kin yang semula dirancang hanya bersifat sementara itu, bergeser menjadi
program yang permanen.
Di
mata masyarakat miskin, program raskin adalah sebuah kebutuhan yang mendesak
dan tidak boleh dihapuskan.
Pada
mulanya, beras untuk masyarakat miskin dijual seharga Rp 1.000 per kilogram
(kg). Kala itu harga beras normal di pasaran sebesar Rp 2000 per kg. Artinya,
pemerintah memberi subsidi sebesar 50 persen. Saat ini, pemerintah menetapkan
harga beras raskin sebesar Rp 1.600 kg, sedangkan harga beras di pasaran
sekitar Rp 5.000 per kg. Jadi, dalam hal ini pemerintah memberi subsidi sekitar
30 persen.
Bagi
kalangan miskin, subsidi harga beras, betul-betul sangat menolong
perekonomiannya. Subsidi pemerintah sebesar itu tentu akan dapat dimanfaatkan
untuk membeli kebutuhan hidup lainnya. Itu sebabnya, mengapa program raskin ini
sangat diharapkan untuk terus berlangsung.
Sebagian
besar penerima manfaat program raskin adalah petani dan nelayan. Sekitar 70
persen dari mereka hidup dan bermasya rakat di pelosok-pelosok pedesaan dan
pesisir-pesisir pinggiran pantai. Mereka hidup dalam keterbelakangan dan terjerat dalam
ling karan kemiskinan yang tak berujung pangkal.
Dengan
tingkat pendidikan yang relatif rendah, kemudian derajat kesehatan yang tidak
me ma dai dan daya beli ekonomi yang merisaukan, mereka hidup ala kadarnya.
Akibatnya, wajar bila dalam memenuhi kebutuhan hi dupnya, mereka ini sangat ber
gantung pada keberlanjutan program raskin.
Secara
hakikat, program raskin memang harus bersifat sementara. Seiring dengan
perjalanan waktu, penerima manfaat program raskin harus makin berkurang
jumlahnya. Sebab, kalau penerima manfaat program raskin menjadi ber tambah,
semangat pemerintah untuk mengurangi jumlah orang mis kin menjadi gagal. Dengan
ka ta lain, dapat juga dikatakan bah wa strategi pemerintah untuk menurunkan
kemiskinan, yang se lama ini dikenal dengan pro poor itu, rupanya masih sebatas
wacana.
Program
raskin kini telah melewati usia satu windu. Sekalipun program ini sangat
dicintai oleh masyarakat miskin, namun kita harus selalu memahami bahwa kita
tidak memiliki kewajiban untuk melestarikannya. Malah setapak demi setapak kita
dituntut untuk mulai menguranginya, sejalan dengan semakin berkurangnya jumlah
orang miskin di Indonesia.
Situasi Antagonistik
Di
sebuah harian terbitan nasional, terbaca tulisan surat pembaca yang intinya
meminta kepada pemerintah agar kualitas beras raskin ditingkatkan. Surat
pembaca yang ditulis oleh seorang ibu rumah tangga warga miskin di salah satu
desa di Jawa Barat ini memohon kepada pemerintah agar beras yang diberikan itu
sebaiknya beras yang baru dan bukan beras lama yang selama ini disimpan
berbulan-bulan di gudang-gudang Bulog.
Ungkapan
hati yang demikian, kelihatannya cukup penting untuk dicermati, khususnya oleh
mereka yang secara aturan main bertanggung jawab atas masalah program raskin.
Di sini, ada dua pihak yang ‘terikat’ kerja sama sekitar 12 tahun silam, yakni
Kementerian Dalam Negeri dan Perum Bulog.
Dua
lembaga inilah yang dititipi amanah untuk ‘mengelola’ raskin. Perum Bulog
bertanggung ja wab menyediakan beras dan menyalurkannya hingga titik
distribusi. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab untuk mengawal
penyaluran beras dari titik distribusi kepada para penerima manfaat yang kerap
kali disebut sebagai rumah tangga miskin (RTM) atau rumah tangga sasaran (RTS).
Selain
itu, telah dibentuk pula Tim Pembina Pogram Raskin yang secara berjenjang
ditetapkan di masing-masing tingkatan. Tim yang terdiri atas berbagai kalangan
ini diharapkan mampu memberi pendampingan, pengawalan, pengawasan, dan
pengamanan ter hadap kelancaran program ras kin. Hadirnya unsur aparat
(kejaksaan dan kepolisian) dalam tim tersebut, ditambah dengan ada nya unsur
pers, LSM, organi sasi profesi, tokoh tani, dan orga nisasi perangkat daerah
yang me miliki kaitan erat dengan program raskin, tentu saja akan semakin
mengokohkan tim ini dalam me laksanakan peran dan fungsinya.
Sebagai
BUMN yang diberi amanah untuk menyediakan dan menyalurkan beras raskin hingga
ke titik distribusi, Perum Bulog pasti telah memiliki kiat-kiat dan langkah
jitu untuk memberi solusi atas cetusan hati seorang ibu ru mah tangga tersebut.
Justru yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah benarkah beras yang selama
ini dikelola oleh Perum Bulog dan nantinya bakal dibagikan itu selalu teruji dan
tergolong dalam kualitas yang baik?
Selama
ini masih sering terekam adanya keluhan dari penerima manfaat program raskin
tentang adanya kualitas beras yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Salah satunya adalah pengalaman yang terjadi di Kecamatan Buniseri, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Kejadian ini tentu saja cukup mengagetkan. Terekam adanya
beras raskin yang bau apek dan banyak kutunya.
Harapan
warga miskin yang men dambakan beras raskin itu berkualitas, juga merupakan ke
inginan kita bersama. Sekalipun pro gram raskin di dalamnya ter kandung
‘subsidi’, pasti kita tidak ingin jika beras yang diberikan kepada warga miskin
itu dalam kua litas yang tidak baik. Mereka, ba gaimanapun adalah warga bangsa
Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama de ngan warga-warga bangsa
lainnya.
Oleh
sebab itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah (melalui Perum Bulog) tentunya,
kita berkeinginan agar ungkapan tulus dari seorang ibu rumah tangga itu dapat
dicermati secara serius dan dicarikan solusi cerdasnya. Jika harapan ini
terkabul, boleh jadi kita pun akan mendapat ‘tepuk tangan’ yang meriah dari
warga miskin di tanah merdeka. Program raskin mestinya tetap mengedepan dan
menjadi rahmat, bukan tragedi kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar