Masalah
GKI Yasmin dan Meningkatnya Intoleransi
Victor Silaen, DOSEN
FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 28
Januari 2012
By design, sejak diproklamasikan 1945,
Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat). Itu berarti hukum membawahi
aspek-aspek lainnya dan menjadi pedoman di dalam kehidupan bernegara, di
samping menjadi acuan untuk menilai suatu tindakan sebagai salah atau tidak
salah.
Apalagi sejak Indonesia direformasi
(pasca-Soeharto), supremasi hukum merupakan keniscayaan dan pelaksanaannya
harus dijunjung tinggi. Jika tidak begitu, mungkin Indonesia sedang berjalan
keluar dari relnya, entah menjadi negara kekuasaan (machsstaat) atau negara
agama (teokrasi).
Jika Indonesia masih konsisten sebagai negara
hukum, negara harus berperan maksimal sekaligus bertanggung jawab dalam
memberikan jaminan dan perlindungan bagi rakyatnya untuk dapat menikmati hak
asasi manusia (HAM). Terkait itulah hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan
secara konsisten. Dengan demikianlah terwujud apa yang namanya kepastian hukum.
Terkait itu saya ingin menghubungkannya
dengan kasus GKI Yasmin di Bogor yang hingga kini tak kunjung terselesaikan.
Masalahnya klasik, yakni soal izin pembangunan gereja. Saya sebut klasik,
karena masalah serupa sudah banyak terjadi selama ini.
Pada 14 Februari 2008, Wali Kota Bogor Diani
Budiarto mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah dikeluarkan
sebelumnya (oleh dirinya sendiri) pada 19 Juli 2006 untuk jemaat GKI Yasmin.
Alasannya, karena ada protes dan keberatan dari kelompok tertentu kepada wali
kota yang meminta agar pembangunan gereja dihentikan.
Sampai di sini saja sebenarnya tindakan Diani
sudah dapat dikategorikan “cacat hukum”. Pertama, karena sebuah IMB yang sudah
dikeluarkan tidak mungkin dapat dicabut kembali.
Apalagi Perber Dua Menteri Nomor 8 dan Nomor
9 Tahun 2006 (yang antara lain mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah)
pun tidak menyebut-nyebut tentang kewenangan kepala daerah untuk mencabut IMB.
Kedua, alasan “protes dan keberatan dari
kelompok tertentu” yang menyebabkan Kepala Daerah Kota Bogor itu mengubah
keputusan resmi yang dibuatnya menunjukkan ia adalah tipikal pemimpin yang tak
dapat dipercaya, serta tak paham seluk-beluk hukum dan proses pembuatan
kebijakan publik.
Di mana letaknya kewibawaan hukum jika hukum
begitu mudahnya diubah karena desakan sekelompok orang? Sekalipun jumlah mereka
ratusan, bahkan ribuan, bukankah hukum tetap harus dijunjung tinggi? Atas dasar
itu, alih-alih mengubah kebijakannya, bukankah Diani seharusnya berupaya
”menyadarkan” dan ”menertibkan” mereka? Lagi pula, apakah Diani tahu persis
bahwa orang-orang itu betul-betul berdomisili di sekitar lokasi GKI Yasmin?
Pembangkangan Hukum
Singkatnya, kasus ini bergulir secara hukum.
Pada 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009 yang
menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun, Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin
tersebut melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 645.45-137 per 11 Maret 2011.
Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat
akhir, yang berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi?
Tetapi, mengapa selama kira-kira dua tahun sesudahnya Pemkot Bogor bisa
mengabaikan putusan tersebut? Bukankah itu sama saja dengan pembangkangan
secara hukum? Kalau begitu dapatkah ia sebagai pemimpin diteladani rakyatnya?
Sementara itu, pihak GKI Yasmin juga
mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman
mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari
untuk mencabut SK Wali Kota Bogor tertanggal 11 Maret 2011.
Ombudsman menilai SK Wali Kota Bogor tentang
pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang
dikeluarkan Wali Kota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan
pengabaian kewajiban hukum, serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA
Nomor 127 PK/TUN/2009.
Pada 18 September lalu, batas waktu yang
diberikan Ombudsman berakhir, namun Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya,
jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka
miliki secara sah itu. Mereka terpaksa beribadah di trotoar di dekat gereja.
Itu pun selalu diintimidasi Pemkot Bogor,
Satpol PP, dan pihak-pihak lain dengan alasan mengganggu ketertiban umum.
Akhirnya, sejak beberapa minggu lalu, jemaat GKI Yasmin memindahkan tempat
ibadahnya di rumah-rumah jemaat secara bergantian. Tapi, apa yang terjadi? Bahkan
ibadah di dalam rumah pun masih juga diintimidasi.
Itulah pengalaman konkret saya saat beribadah
solidaritas dengan jemaat GKI Yasmin di rumah salah seorang jemaatnya, di
kompleks perumahan Taman Yasmin, Minggu 22 Januari 2012. Sebelum ikut ibadah, dengan
diantar seorang kawan, saya menyempatkan diri melihat-lihat lahan GKI Yasmin
yang terletak di pinggir jalan cukup besar bernama Jalan Abdullah bin Nuh.
Ternyata, jauh dari bayangan saya semula,
gedung gereja yang baru “seperempat jadi” itu berada dalam “jarak aman” dari
permukiman warga. Artinya, tak mungkin suara-suara ibadah dari dalam gereja
akan mengganggu warga. Begitupun soal parkir kendaraan, rasanya akan bisa
diatur agar tertib.
Persis di sebelah kanan gedung gereja yang
belum jadi itu ada bengkel motor, di seberangnya ada pertokoan dan kantor
sebuah media cetak lokal. Sejajar dengan gereja, namun dipisahkan dua lajur
jalan masuk dan keluar permukiman, ada supermarket yang lahannya cukup luas.
Jadi, sekali lagi, kalau dianggap mengganggu
warga, itu alasan yang sangat mengada-ada, sama mengada-adanya dengan alasan
Diani Budiarto yang pernah mengatakan nama jalan tempat GKI Yasmin berada itu
bernuansa agama tertentu.
Minggu pagi itu saya menyaksikan sendiri
aparat kepolisian maupun Satpol PP yang standby di sekitar lokasi GKI Yasmin
berjumlah lebih dari cukup (dibandingkan dengan orang-orang yang berdemo
menolak keberadaan GKI Yasmin di sana).
Ada kendaraan water canon, barakuda, dan
beberapa kendaraan lain milik kepolisian yang menunjukkan mereka sesungguhnya
dalam keadaan siap siaga untuk bertindak tegas menghalau para pengacau.
Selintas saya berpikir, situasi saat itu seperti hendak menghadapi serangan
musuh yang akan datang dalam jumlah besar.
Tapi begitulah, polisi dan Satpol PP hanya
berjaga-jaga tanpa melakukan tindakan apa pun meski kelompok penolak GKI Yasmin
itu berorasi terus-menerus di sekitar lahan gereja.
Akhirnya saya dan kawan yang mengantar tadi
pun pergi menuju rumah warga yang kali itu dijadikan tempat ibadah, yang
kira-kira berjarak 300 m dari lahan GKI Yasmin. Di teras rumah ternyata sudah
ada Lily Wahid (anggota DPR dari F-PKB).
Baru kira-kira 40 menit ibadah berjalan,
tiba-tiba dari depan rumah terdengar seruan-seruan provokatif dari anggota
kelompok penolak GKI Yasmin. Jumlah mereka kira-kira 50-an, tetap masih kalah
banyak dengan jumlah polisi dan Satpol PP yang standby di sekitar rumah.
Mereka menghendaki kami segera mengakhiri
ibadah dan membubarkan diri. Namun, kami bersiteguh melanjutkan ibadah sampai
selesai. Sementara di luar rumah terjadi ketegangan, yang membuat Lily Wahid
harus beberapa kali beradu argumentasi dengan para penolak GKI Yasmin maupun
polisi dan Satpol PP yang cenderung menginginkan ibadah segera diakhiri dan
kami bubar dari rumah itu.
Banyak yang bisa saya paparkan tentang
pengalaman beribadah solidaritas dengan jemaat GKI Yasmin, Minggu pagi itu.
Namun ada hal-hal lain yang lebih penting
untuk dikemukakan, bahwa sebenarnya kasus ini mudah untuk diselesaikan,
asalkan: 1) hukum ditegakkan (putusan MA dilaksanakan); 2) presiden, sesuai
janjinya kepada pemimpin PGI di rumahnya di Cikeas, 16 Desember lalu, bersedia
turun tangan langsung menyelesaikan masalah ini; 3) presiden memerintahkan
Kapolri untuk menjamin dan melindungi hak-hak jemaat GKI Yasmin.
Last but not least, kasus GKI Yasmin
mencerminkan sedang meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Tak bisa
tidak, pemerintah harus serius menyikapinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar