Benteng
Moral untuk KPK
Benny Susetyo, ROHANIWAN,
SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK KWI, PEMERHATI SOSIAL
Sumber : SINDO, 26 Januari 2012
Seruan moral tokoh lintas agama
kepada para pemimpin negeri beberapa waktu lalu belum menunjukkan perubahan
yang maksimal. Ini dibuktikan dengan mengemukanya berbagai kasus ketidakadilan
di negeri ini dari hari ke hari.
Seruan agar pemerintah mengakhiri kebohongan publik sepertinya hanya dianggap angin lalu. Di saat yang diingatkan sudah bebal dan tuli,tokoh agama tidak menyerah dengan terus menyerukan suara-suara keadilan kepada lembaga-lembaga lain yang masih mau mendengar. Dukungan yang diberikan tokoh lintas agama kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai bisa membantu lembaga tersebut lebih lurus dan maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya menjaga negeri ini dari korupsi.
Amat pantas bila tokoh agama merasa khawatir membayangkan korupsi negeri ini bahkan sudah merasuk sampai ke dunia pendidikan. Masih begitu banyak kasus besar yang belum tuntas dan masih menimbulkan tanda tanya publik. Karena itulah sudah semestinya publik mendorong KPK agar terus berani bergerak efektif menuntaskan kasus-kasus yang merugikan bangsa seperti BLBI, rekening gendut, Century, dan seterusnya.
KPK perlu mendapatkan semangat baru agar tidak takut dengan intervensi kekuasaan atau partai politik atau orang-orang kuat lainnya yang bermaksud melemahkan KPK. Dalam konteks kekinian, tumbuh keprihatinan mendalam terhadap kasus-kasus ketidakjelasan dan perampasan hak-hak rakyat di bidang agraria. Publik berharap KPK mampu mengungkap persekongkolan penguasa, pengusaha, serta aparatus negara yang membuat rakyat terusir dari tanahnya sendiri.
Hukum Tanpa Keadilan
Berbagai kasus hukum yang menimpa rakyat kecil di negeri kita akhir-akhir ini merupakan fenomena paling buruk bagi kita dalam menegakkan keadilan hukum. Hukum yang gamang dengan roh keadilan yang semakin menjauh dari rakyat kecil. Rasa keadilan di negeri ini benar-benar sedang diuji. Berbagai contoh nyata hadir ke hadapan kita memberikan petunjuk bahwa keadilan sedang berada di titik nadir.
Apakah berbagai fakta ketidakadilan ini bisa dibaca dengan hati nurani oleh para elite negeri ini? Fakta-fakta itu sangat bertentangan di pihak lain ketika pencurian dan perampokan harta kekayaan negara semakin membabi-buta, mengerikan, dan dilakukan dengan beragam cara.Para penegak hukum justru ragu menegakkan keadilan seolah tidak memiliki kepekaan yang mendalam atas apa yang terjadi.Kini rakyat betul- betul merasa diper-mainkan dengan situasi yang kalut seperti ini.
Rakyat kecil dipermainkan dengan berbagai kebohongan para elite.Sudah lama di negeri ini kita susah membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Yang bohong sering dianggap sebagai kebenaran dan yang benar sering merupakan kebohongan. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.
Keadilan tidak untuk semua,melainkan untuk sebagian (yang bisa “membeli”-nya).Keadilan yang milik penguasa dan si empunya uang. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh.Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa,otot,dan uang) menceraikannya. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasalpasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring.
Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Tragedi ini bisa jadi akan mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum”sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya. Hukum gagal ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial karena lebih memandang kekuatan hukum formal dan permainan pasal-pasal. Akibatnya hukum belum mampu memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi.
Ini semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat dengan berbagai fakta ketidakadilan bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku.Semua berkewajiban dan berhak sama.
Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tapi tajam beringas menghukum kelas teri dan mereka yang serius ingin menciptakan bangsa ini bersih. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati keistimewaan.
Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan.Karena kekuasaan yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani.Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.
Seruan Keprihatinan
Para tokoh agama kembali menyatakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keprihatinan saat ini jauh lebih mendalam dan mendasar. Gurita korupsi dari hulu ke hilir melibatkan pejabat kementerian, anggota DPR,para penegak hukum,partai politik, pengusaha, dan sebagainya. Akibatnya terlihat semakin jelas.
Sebagian besar rakyat Indonesia semakin berat membayar biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari. Rasa aman dan damai terasa semakin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadat, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, dan hukum yang tidak berdaulat. Ini semua merupakan cermin dari perilaku anak bangsa yang bekerja sekadar mencari kesenangan perutnya semata. Itu semua membuat mereka terasing dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.
Bumi dan kekayaan alam pun dihabiskan demi kepentingan nafsu kekuasaan politik. Begitu berbahaya ketika kita hidup di sebuah negeri tanpa pengharapan. Selama ini pemerintahan ini telah menyianyiakan kesempatan untuk memulihkan bangsa ini menjadi negeri sejahtera. Itu semua akibat politik disandera oleh kepentingan modal dan sikap buruk berkuasa.
Orientasi pembangunan hanya mementingkan kapital dan pemiliknya. Dan paradigma pembangunan kita sesungguhnya masih setia pada pola liberalisme yang terlalu banyak memanipulasi realitas. Fakta kemiskinan di negeri ini pun sering hanya dilihat sebagai polemik. Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka.
Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka-mereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar