Tarik
Ulur Subsidi BBM
Razali Ritonga, DIREKTUR
STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
Sumber
: REPUBLIKA, 26
Januari 2012
Dampak
buruk naiknya harga BBM pada 2005 tampaknya terus membayangi pemerintah maupun wakil rakyat. Diketahui,
pemerintah pada saat itu menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun, yaitu 1
Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Secara faktual, dampak buruk yang diakibatkan
naiknya harga BBM saat itu adalah merosotnya daya beli masyarakat sehingga
meningkatkan angka kemiskinan. Tercatat, angka kemiskinan meningkat dari 15,42
persen menjadi 17,75 persen.
Maka,
atas dasar itu, menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populer dan
harus dihindari. Fenomena ini barangkali yang diperhitungkan wakil rakyat
ketika menetapkan UU APBN 2012, terutama dalam Pasal 7 ayat 4 UU APBN 2012 yang
menetapkan bahwa pemerintah perlu mengatur alokasi BBM bersubsidi dan Pasal 7
ayat 6 tidak menaikkan harga BBM bersubsidi.
Subsidi BBM versus Infrastruktur
Namun,
di tengah meningkatnya permintaan BBM bersubsidi, ketentuan dalam Pasal 7 ayat
6 itu kembali menjadi sorotan sejumlah pihak. Pasalnya, jika BBM tidak
dinaikkan, besarnya anggaran untuk subsidi BBM akan kian membengkak. Pada 2011,
misalnya, dari Rp 129,7 triliun yang dialokasikan pemerintah untuk BBM bersubsidi
ternyata realisasinya sebesar Rp165,2 triliun.
Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa anggaran untuk subsidi BBM besarnya
hampir dua kali lipat dari anggaran untuk program antikemiskinan pada 2011,
yang besarnya Rp 86,1 triliun.
Bahkan,
meningkatnya anggar an subsidi BBM pada gilirannya akan melemahkan kemampuan
untuk pembangunan sektor-sektor lainnya, terutama infrastruktur pe nunjang
kegiatan ekonomi dan infrastruktur layanan publik. Padahal, pembangunan infrastruktur saat
ini tak kalah mendesaknya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kualitas
hidup penduduk.
Diketahui,
kurangnya infras truktur penunjang ekonomi meng akibatkan biaya tinggi (high
cost economy) sehingga melemahkan daya saing produk barang dan jasa. Akibatnya,
harga produk men jadi mahal dan kalah bersaing dengan produk impor. Pada tahap
lanjut,
banyak usaha dan perusahaan dalam negeri yang akan kalah bersaing dan
berpotensi mengalami kebangkrutan sehingga akan meningkatkan pengangguran dan
kemiskinan. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa potensi meningkatnya kemiskinan
juga akan terjadi baik dengan maupun tanpa kenaikan harga BBM.
Sementara
itu, kurangnya anggaran untuk pembangunan infrastruktur layanan publik akan
menurunkan kualitas hidup penduduk. Ada dua aspek infrastruktur layanan publik
yang saat ini masih sangat kurang, yaitu infrastruktur pendidikan dan
kesehatan. Kurang memadainya infrastruktur pada kedua aspek ini diperkirakan
berkontribusi ter hadap tertinggalnya pembangun an manusia Indonesia. Laporan
UNDP (2011) menyebutkan bahwa peringkat pembangunan ma nusia Indonesia berada
di posisi 124 dari 187 negara atau meng alami penurunan dibandingkan keadaan
tahun sebelumnya yang berada di peringkat 108 dari 169 negara (UNDP, 2010).
Lebih
jauh, kurangnya anggaran untuk pembangunan manusia, khususnya pendidikan dan
kesehatan di Tanah Air dapat diketahui dengan membandingkan dengan sejumlah
negara. Malaysia, misalnya, mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 4,5
persen dan kesehatan sebesar 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan
Alokasi anggaran pendidikan kita sebesar 3,5 persen dan kesehatan sebesar 1,9
persen dari PDB 2010. Sekadar catatan Norwegia sebagai negara tertingg
peringkat pembangunan manusianya di dunia mengalokasikan anggaran untuk
pendidikan sebesar 6,7 persen dan kesehatan sebesar 7,9 persen dari PDB.
Bahkan,
kurangnya anggaran pembangunan manusia di Tanah Air sudah terdeteksi sejak lama
Cina, misalnya, telah menetapkan prioritas pembangunan manusia lebih dahulu
dari Indonesia, terdeteksi dari besarnya anggaran yang dialokasikan untuk
pembangunan manusia. Pada 1988, misalnya anggaran yang dialokasikan Cina untuk
pembangunan manusia sebesar tujuh dolar AS per kapita sementara Indonesia hanya
meng alokasikan sebesar tiga dolar AS per kapita. Padahal, pendapatan per
kapita Cina saat itu hanya sebesar 330 dolar AS, sedangkan Indonesia sebesar
440 dolar AS (UNDP, 1991).
Revisi UU APBN
Maka,
atas dasar itu, pemerintah sepatutnya perlu mempertimbangkan untuk mengurangi
subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi itu untuk kepentingan pembangunan
infrastruktur dan sebagian lainnya untuk jaring pengaman sosial (social safety
nets). Adapun perlunya jaring pengaman sosial terutama untuk mengantisipasi
potensi meningkatnya penduduk miskin sebagai dampak kenaikan harga BBM.
Namun,
pemerintah tidak bisa menetapkan kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR.
Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu mengusulkan kepada DPR untuk melakukan
revisi UU APBN 2012, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 7 ayat 6 tentang
ketetapan harga BBM. Sepatutnya, dalam usulan itu pemerintah perlu menetapkan
kenaikan harga BBM secara wajar.
Sebenarnya,
jika pemerintah tidak menurunkan harga BBM pada 2008 lalu yang besarnya Rp
6.000, maka boleh jadi pemerintah saat ini tidak perlu dipusingkan untuk
menaikkan harga BBM. Sementara, dana yang terhimpun dari selisih harga (wind
fall profit) bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan
ekonomi dan peningkatan kualitas hidup penduduk.
Pemerintah sepatutnya perlu berhitung secermat
mungkin atas penggunaan anggaran belanja nasional sehingga bisa dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Tarik ulur anggaran di DPR,
khususnya untuk subsidi, pasti akan terjadi, tapi seyogianya penggunaan
anggaran tetap diutamakan untuk masyarakat dan kemajuan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar