Kegagalan
Transformasi Struktural Ekonomi
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014),
PENULIS BUKU “IRONI NEGERI BERAS”
ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014),
PENULIS BUKU “IRONI NEGERI BERAS”
Sumber : SINDO, 25 Januari 2012
Hasil pembangunan ekonomi dapat
diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100% dengan jumlah nilai nominal bisa
berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100% tenaga kerja yang jumlah
nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu.
Secara makro, kue terdiri atas dua
lapis: lapis pertama pertanian, lapis kedua industri. Lapis kue pertanian hasil
kerja para petani,danlapiskueindustriadalah hasil kerja sektor industri.
Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian mengecil di satu pihak
dan lapis industri membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100%, dalam ilmu
ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural.
Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri. Pertanyaannya, apakah di Indonesia terjadi transformasi struktural ekonomi? Menurut kalkulasi Pakpahan (2004), dalam periode 1960–2000-an setiap penurunan 1% PDB pertanian Indonesia di dalam PDB nasional hanya diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5%.
Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: setiap penurunan pangsa PDB pertanian 1% di dalam PDB nasional, pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kalinya. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan sektor pertanian.Industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi yang memeras petani.
Industrialisasi semacam ini adalah industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban industrialisasi. Bagaimana mungkin petani memikul beban industrialisasi? Kondisi itu sangat mungkin terjadi apabila yang terjadi adalah industrialisasi semu (pseudo- industrialization) atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja dibidang pertanian.
Pertambahan te-naga kerja baru hanya mengalir ke sektor pertanian, bukan ke sektor industri. Ketika tapak lahan semakin berkurang karena konversi,sementara tenaga kerja baru terus mengalir ke sektor pertanian, maka terjadilah fenomena kelangkaan: kelangkaan lahan. Involusi pertanian yang tecermin pada kelangkaan lahan akan diiringi konflik.Menurut Komnas HAM, sengketa lahan menempati angka pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lain.
Pada rentang Januari– Oktober 2011 tercatat 603 kasus, naik 20,56% dari tahun 2010 (479 kasus). Sepanjang Orde Baru terjadi ribuan kasus tanah berskala luas.BPN mencatat lebih 2.810 kasus sengketa tanah antara rakyat dan negara, dan Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 konflik agraria struktural. Kasus tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah.
Luas tanah yang disengketakan 10.892.203 hektare dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 kepala keluarga. Menurut Serikat Petani Indonesia, pada 2011 terjadi 120 kasus agraria mencakup 342.000 hektare lahan dengan 18 orang tewas. Baik jumlah kasus, cakupan luasan, maupun korban tewas naik 3-6 kali lipat dari tahun 2010.
Bias
Pola umum industrialisasi yang berhasil ditandai oleh sinergi peningkatan nilai lapis kue industri dengan penyerapan tenaga kerja.Di Indonesia ini tidak terjadi.Dengan demikian pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih menguntungkan sektor industri atau perkotaan, mengingat pertanian pada umumnya dilaksanakan di perdesaan.
Implikasi lebih lanjut adalah industrialisasi di Indonesia telah menyebabkan ketimpangan yang melebar antara sektor pertanian dan industri atau juga dapat ditafsirkan telah meningkatkan ketimpangan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Pendek kata, kebijaksanaan pembangunan Indonesia selama ini bias kepentingan perkotaan (dan industri). Tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia.
Hal ini diperlihatkan kian meningkatnya petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian. Kondisi ini akan membahayakan ketahanan pangan dan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk pertanian lain di masa mendatang. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diikuti kemampuan sektor ini memberikan penghidupan yang layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian tidak hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga akan melumpuhkan perekonomian nasional.
Berpijak dari hal itu,konflik lahan sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya lewat jalur hukum. Selain jalur hukum, penyelesaian konflik lahan bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan: sudahkah pembangunan ekonomi Indonesia ada di jalur yang benar? Sudahkah model pembangunan ekonomi Indonesia menghasilkan transformasi struktural? Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural.
Hal ini ditandai masih besarnya tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian: 43%. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian terhadap DPB nasional terus menurun. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru ternyata jauh panggang dari api. Transformasi struktural pembangunan ekonomi Indonesia hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa,
real estat, transportasi dan komunikasi,serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal,teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian. Ujung dari semua itu adalah kian masifnya konflik lahan. ●
Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri. Pertanyaannya, apakah di Indonesia terjadi transformasi struktural ekonomi? Menurut kalkulasi Pakpahan (2004), dalam periode 1960–2000-an setiap penurunan 1% PDB pertanian Indonesia di dalam PDB nasional hanya diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5%.
Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: setiap penurunan pangsa PDB pertanian 1% di dalam PDB nasional, pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kalinya. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan sektor pertanian.Industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi yang memeras petani.
Industrialisasi semacam ini adalah industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban industrialisasi. Bagaimana mungkin petani memikul beban industrialisasi? Kondisi itu sangat mungkin terjadi apabila yang terjadi adalah industrialisasi semu (pseudo- industrialization) atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja dibidang pertanian.
Pertambahan te-naga kerja baru hanya mengalir ke sektor pertanian, bukan ke sektor industri. Ketika tapak lahan semakin berkurang karena konversi,sementara tenaga kerja baru terus mengalir ke sektor pertanian, maka terjadilah fenomena kelangkaan: kelangkaan lahan. Involusi pertanian yang tecermin pada kelangkaan lahan akan diiringi konflik.Menurut Komnas HAM, sengketa lahan menempati angka pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lain.
Pada rentang Januari– Oktober 2011 tercatat 603 kasus, naik 20,56% dari tahun 2010 (479 kasus). Sepanjang Orde Baru terjadi ribuan kasus tanah berskala luas.BPN mencatat lebih 2.810 kasus sengketa tanah antara rakyat dan negara, dan Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 konflik agraria struktural. Kasus tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah.
Luas tanah yang disengketakan 10.892.203 hektare dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 kepala keluarga. Menurut Serikat Petani Indonesia, pada 2011 terjadi 120 kasus agraria mencakup 342.000 hektare lahan dengan 18 orang tewas. Baik jumlah kasus, cakupan luasan, maupun korban tewas naik 3-6 kali lipat dari tahun 2010.
Bias
Pola umum industrialisasi yang berhasil ditandai oleh sinergi peningkatan nilai lapis kue industri dengan penyerapan tenaga kerja.Di Indonesia ini tidak terjadi.Dengan demikian pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih menguntungkan sektor industri atau perkotaan, mengingat pertanian pada umumnya dilaksanakan di perdesaan.
Implikasi lebih lanjut adalah industrialisasi di Indonesia telah menyebabkan ketimpangan yang melebar antara sektor pertanian dan industri atau juga dapat ditafsirkan telah meningkatkan ketimpangan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Pendek kata, kebijaksanaan pembangunan Indonesia selama ini bias kepentingan perkotaan (dan industri). Tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia.
Hal ini diperlihatkan kian meningkatnya petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian. Kondisi ini akan membahayakan ketahanan pangan dan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk pertanian lain di masa mendatang. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diikuti kemampuan sektor ini memberikan penghidupan yang layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian tidak hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga akan melumpuhkan perekonomian nasional.
Berpijak dari hal itu,konflik lahan sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya lewat jalur hukum. Selain jalur hukum, penyelesaian konflik lahan bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan: sudahkah pembangunan ekonomi Indonesia ada di jalur yang benar? Sudahkah model pembangunan ekonomi Indonesia menghasilkan transformasi struktural? Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural.
Hal ini ditandai masih besarnya tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian: 43%. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian terhadap DPB nasional terus menurun. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru ternyata jauh panggang dari api. Transformasi struktural pembangunan ekonomi Indonesia hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa,
real estat, transportasi dan komunikasi,serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal,teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian. Ujung dari semua itu adalah kian masifnya konflik lahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar