Ambang
Batas Nikmat Pejabat
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012
Ciri dari kebinatangan adalah
hilangnya akal sehat dan rasa malu.
Tengoklah perilaku para penyelenggara negara.
(Yudi Latif, ”Republika”,
Rabu, 18 Januari 2012)
Kegeraman masyarakat terhadap perilaku
penyelenggara negara dapat diwakili kutipan di atas. Intinya mereka mengekstrak
budget negara demi menuruti hasrat kenikmatan, mulai dari transaksi pasal
hingga rencana membangun lapangan futsal dan membeli pewangi ruangan yang
nilainya miliaran rupiah. Tidak ada jaminan mereka akan menghentikan
menghamburkan uang rakyat untuk mengejar rasa nyaman. Memang sejumlah anggota
DPR keras menentang, tetapi jumlah dan tindakannya tidak signifikan sehingga
tenggelam dalam arus besar hasrat hedonis rekan-rekan mereka. Mudah-mudahan
sikap mereka bukan juga bagian permainan politik canggih untuk sekadar
menghibur masyarakat.
Ungkapan kejengkelan lain yang selaras dengan
perasaan publik adalah karikatur di harian ini, 7 Januari 2012. Makhluk mirip
manusia, buruk rupa, bersayap, dan bertanduk, yang biasa menggambarkan iblis
atau setan berdoa, ”Ya Tuhan, saya mohon pensiun saja karena tugas saya di negeri
ini sudah diambil alih para pejabat.” Tentu bukan semua pejabat, melainkan
mungkin karena jumlah pejabat yang mirip setan lebih dominan daripada yang
mirip malaikat, makhluk berwajah buruk bersujud minta berhenti berdinas.
April 2011, kekesalan masyarakat juga
diwakili para seniman yang melukis Gedung DPR layaknya sebuah WC umum. Hampir
semua media memberitakan aksi itu. Inilah yang mungkin memberikan inspirasi
para aktivis muda menuntut agar BPK mengaudit proyek siluman DPR. Mereka
membawa spanduk bertuliskan ”Jamban DPR jangan membebani rakyat” (Kompas, 16
Januari 2012).
Kegusaran masyarakat karena produk kebijakan
para penikmat kekuasaan justru menghasilkan regulasi yang membuat rakyat kena
azab. Nikmat dan azab pun berjalan secara beriringan. Terjadi korelasi yang
positif: semakin tinggi tingkat perburuan kenikmatan, semakin tinggi pula
tingkat azab yang dialami masyarakat. Padahal, tingkat kepuasan nikmat elite
politik batasnya langit.
Perburuan kenikmatan para hedonis dan
epikuris, meski menuai hujatan masyarakat, tampaknya akan berlanjut. Mereka
sudah tidak peduli lagi dengan kritik-kritik yang sangat tajam meskipun daya
kritik publik hampir melampaui ambang batas kesabaran masyarakat. Gejala
tersebut muncul dalam bentuk aksi-aksi massa yang kadang-kadang melibatkan
ribuan warga, baik yang terdiri atas petani, buruh, mahasiswa, masyarakat pada
umumnya, maupun kepala desa.
Akhir-akhir ini perilaku penikmat kekuasaan
menunjukkan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Mereka bukan lagi tidak
mempunyai rasa malu, bahkan sudah menunjukkan tanda-tanda tidak lagi merasa
kasihan dengan kesengsaraan rakyat. Inilah kebengisan yang sangat kejam. Semula
sebagian masyarakat menganggap para pejabat mengalami semacam gangguan kejiwaan
yang disebut pribadi terbelah (split personality).
Tandanya, murah senyum,
santun, dan ramah, tetapi bersamaan dengan itu pula perilaku koruptifnya
membuat rakyat sangat menderita. Namun, belakangan gangguan kejiwaan tersebut
dikhawatirkan lebih parah karena mungkin mereka justru menikmati kesengsaraan
rakyat. Menikmati menyaksikan orang di sekitarnya mengalami kesusahan. Mungkin
fenomena tersebut dalam psikologi sosial disebut psychology of hedonism. Ambang
batas kenikmatan mereka bukan lagi kenikmatan ragawi, melainkan sudah menyusup
alam bawah sadar mereka.
Mereka justru mengalami sensasi rasa nyaman
pada saat mendengarkan kitik, keluhan, kegelisahan, dan penderitaan masyarakat.
Maka, senyum dan keramahan mereka adalah ungkapan kepuasan karena telah
berhasil membuat orang lain susah. Lebih-lebih mereka mungkin juga menyadari
para pengkritik dan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa. Paling-paling
rakyat hanya dapat berteriak, merobohkan pagar, pasang tenda di depan Gedung
DPR, menjahit mulut, atau membakar diri.
Mereka mungkin juga tahu, betapapun publik
marah, rakyat tidak bersedia menghentikan proses pelembagaan demokrasi. Rakyat
ingin agar proses pelembagaan pergantian kekuasaan dilakukan dengan adil,
damai, dan beradab. Namun, tampaknya sikap mulia masyarakat justru dibayar
dengan air tuba sehingga membuat rakyat geram.
Kalau konstatasi tersebut benar, tetapi
mudah-mudahan salah, sikap mereka benar-benar amat bengis. Mereka bukan lagi
tidak memihak rakyat, melainkan cenderung sudah membenci rakyat. Inilah
bibit-bibit munculnya gerakan radikal dan revolusioner. Penguasa benci terhadap
rakyat dan oleh karena itu menikmati kesengsaraan rakyat. Mungkin kita dapat
berkaca pada awal Revolusi Perancis, Raja Louis XVI bersama anggota keluarganya
berdiri di balkon menyebar roti yang diperebutkan rakyat yang kelaparan. Rakyat
rela menukarkan kematian dengan secuil roti. Akhirnya raja tersebut tumbang dan
dihukum mati.
Mungkin terlalu naif contoh tersebut. Namun,
gerakan revolusioner di negeri ini juga bukan barang aneh. Oleh karena itu,
demi menyelamatkan bangsa dan negara, cukuplah petualangan mengejar kenikmatan.
Sadarlah, batas ambang hedonisme telah melampaui kesabaran dan daya tahan
rakyat. Enough is enough. Sudah cukup ”Yang Mulia”, kembalilah ke ribaan
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar