“Quo
Vadis” RUU Redenominasi
Rusmin Effendy, STAF AHLI DPR RI
Sumber
: SINAR HARAPAN, 3 Januari 2012
Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU
Penyederhanaan Mata Uang Rupiah (Redenominasi) yang masuk prolegnas 2012 bukan
saja membuktikan sikap ambigu pemerintah.
Pasalnya, belum seminggu setelah terpilih
sebagai Gubernur BI, Darmin Nasution langsung melontarkan akan menerapkan
kebijakan redenominasi rupiah yang akhirnya batal setelah mendapat kecaman
berbagai kalangan.
Akhirnya, BI berdalih kebijakan itu masih
sebatas wacana dan belum akan diterapkan karena butuh sosialisasi paling lama
sekitar 10 tahun. Pertanyaannya, apa yang menjadi alasan BI yang terkesan
bernafsu ingin menerapkan redenominasi tahun depan?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak
ditemukan definisi yang pas tentang kata redenominasi, namun dari literatur
yang ada, kata redenominasi diterjemahkan sebagai pemotongan nilai mata uang
menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.
Artinya, mata uang rupiah bakal terjadi
pemotongan nilai nol sebanyak tiga digit di belakang, misalnya uang Rp 100.000
akan menjadi Rp 100 atau harga beras Rp 6.000 per liter akan menjadi Rp 6 per
liter.
Persoalannya, apakah redenominasi sama dengan
sanering atau devaluasi mata uang seperti yang terjadi di masa rezim Bung
Karno, karena kondisi ekonomi nasional pada 1959 begitu terpuruk dan diwarnai
dengan tingginya laju inflasi?
Barangkali, keinginan pemerintah mengajukan
RUU Penyederhanaan Mata Uang Rupiah (Redenominasi) perlu dikaji kembali, karena
hingga saat ini kondisi perekonomian nasional sangat mengkhawatirkan.
Sejak Indonesia terjebak tsunami krisis
ekonomi pada 1997, hingga kini belum ada parameter dan pembuktian Indonesia
sudah mampu keluar dari krisis ekonomi, bahkan kondisi yang ada begitu
mengkhawatirkan.
Karena itu, ada beberapa faktor yang patut
diantisipasi di balik wacana redenominasi rupiah. Pertama, kebijakan
redenominasi rupiah bukan meminimalkan nilai mata uang, tapi megaproyek yang
dilakukan BI untuk memuluskan proyek pencetakan uang karena terpilihnya Darmin
sebagai Gubernur BI tak lepas dari transaksional politik dan beraroma
suap.
Kedua, ada empat tahapan menyosialisasikan
kebijakan redenominasi selama 10 tahun (2011-2020). Mulai dari masa sosialisasi
(2011-2012), transisi (2013-2015), penarikan uang lama (2016-2018), sampai
pelaksanaan redenominasi (2018-2020).
Yang patut diwaspadai, jangan sampai
kebijakan itu diberlakukan menjelang pemilu dan pilpres untuk memuluskan salah
satu pasangan tertentu.
Sanering
Secara umum, kebijakan redenominasi memang
tak ada bedanya dengan sanering, meski kebijakan yang dilakukan tidak
mengurangi nilai nominal dari mata uang yang ada. Namun, praktik redenominasi
di berbagai negara terjadi akibat kebangkrutan ekonomi serta tingginya angka
inflasi.
Bila bicara soal inflasi, yang tergambar di
benak kita adalah melambungnya harga-harga di pasaran, serta menurunnya daya
beli masyarakat. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab terjadinya
inflasi, yakni ekspor-impor; tabungan dan investasi; serta penerimaan dan
pengeluaran negara.
Inflasi tidak mungkin terjadi bila ketiga
faktor tersebut dapat berjalan seimbang karena yang menjadi subjek penyebab
inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan swasta. Tekanan
inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih
besar daripada penerimaannya.
Sementara pada sektor swasta, tekanan inflasi
timbul bila bank-bank mengucurkan kredit besar guna memenuhi pinjaman sektor
swasta untuk membiayai berbagai kegiatan, baik lapangan investasi maupun
non-investasi.
Salah satu cash program yang dapat dilakukan
pemerintah untuk menekan terjadinya inflasi adalah melakukan operasi pasar
terbuka yang populer disebut kebijakan uang ketat, dilakukan dengan menjual
surat-surat berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank.
Akibatnya, jumlah uang yang beredar di
masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit (bank) berkurang, yang
pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi. Akibatnya, kebijakan
redenominasi bukanlah jaminan tidak terjadi perubahan nilai tukar rupiah seperti
sanering.
Salah satu rujukan dari pelaksanaan
redenominasi adalah terpuruknya kondisi ekonomi di Zimbabwe di bawah rezim
Presiden Robert Mugabe. Nilai tukar mata uang di negara itu merosot tajam,
angka inflasi meroket sehingga menimbulkan kerusuhan SARA.
Untuk mengatasi kesulitan krisis ekonomi,
Mugabe menyusun rencana aksi dengan cara menetapkan kebijakan devaluasi
besar-besaran, bahkan mencatat rekor tertinggi di dunia, yaitu menghapuskan 10
angka nol dari setiap lembar mata uang yang kemudian dikenal sebagai uang baru,
yaitu Zimbabwe Dollar (ZWD) yang dikenal dengan slogan Advocates of devaluation
are saboteurs and enemies of the state.
Di Eropa, kebijakan redenominasi terjadi saat
negara-negara anggota Uni Eropa (UE) menerapkan nilai mata uang tunggal euro,
meski kebijakan itu tidak berjalan mulus. Ini karena beberapa negara yang
menjadi anggota UE cenderung menggunakan nilai mata uang Inggris pound sterling
sebagai mata uang nasional, sekalipun mereka adalah anggota utama UE.
Karena itu, dapat dipahami kebijakan
redenominasi mata uang negara-negara anggota UE ke euro menjadi catatan sejarah
karena merupakan aktivitas redenomiasi yang terbesar, termasuk di Korea Utara
yang populer dengan istilah “Pyongyang’s Redenomination”, yaitu menghapuskan dua
angka nol dalam lembar mata uang mereka.
Uang 100 won menjadi 1 won, namun karena
rezim pemerintahan yang bergaya diktator, redenominasi ini juga berbau
devaluasi. Kebijakan tukar uang won lama ke won baru terjadi pembatasan secara ketat.
Tidak semua uang won lama dapat ditukarkan menjadi won baru.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat
dipahami kebijakan redenominasi bisa memberi banyak keuntungan, namun bisa juga
membuat negara bangkrut.
Setiap negara pasti mempunyai cita-cita dan
harapan untuk mempercantik diri (face-lift, plastic surgery) melalui
redenominasi, tapi bukan sekadar mencetak uang baru, namun sistem keuangan dan
perangkat pendukung akan memerlukan perombakan secara radikal dengan hight cost
yang tinggi.
Apalagi bila kebijakan redenominasi dijadikan
“Kuda Troya” atau akal bulus pemerintah untuk tidak mengatakan sudah terjadi
sanering dan devaluasi.
Dengan demikian, dapatlah dipahami kondisi
perekonomian nasional sekarang ini memang sedang mengalami krisis berat dan masyarakat
harus mengantisipasi kondisi yang bakal terjadi.
Paling tidak, bagaimana mengantisipasi
seandainya redenominasi benar-benar terjadi, apakah kita sudah siap
menghadapinya? Lalu apa kata dunia kalau hal itu terjadi? Wallahu a’lam
bish-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar