Personalisasi
Kepemimpinan
Yasmi Adriansyah, DIREKTUR EKSEKUTIF PROJECTING INDONESIA,
MAHASISWA PHD AUSTRALIAN
NATIONAL UNIVERSITY
Sumber
: REPUBLIKA, 3 Januari 2012
Relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa belakangan sempat menjadi
headline di media massa. Tulisan reportase-analitis di salah satu harian
berbahasa Inggris (Signs point to Marty's isolation in the Palace, 26/12/11)
menyiratkan adanya fenomena pengasingan menlu dari lingkar kekuasaan presiden.
Menlu Marty digambarkan semakin kehilangan pengaruh dalam beberapa kegiatan kenegaraan yang berdimensi luar negeri yang notabene portofolio utama jabatannya. Bahkan, sempat pula muncul rumor pinggiran soal penggantian Menlu Marty.
Asumsi artikel ini diambil dari, pertama, sikap presiden yang lebih memilih bertanya kepada Dino Patti Djalal, Dubes RI untuk Amerika Serikat, tatkala melakukan konferensi pers KTT ASEAN di Bali, November 2011. Padahal, saat itu Menlu Marty dan Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah sudah 'siap di tempat'. Asumsi kedua adalah 'insiden' di saat pelantikan duta besar RI untuk negara-negara sahabat, Desember 2011. Menlu Marty tidak diletakkan di barisan depan para menteri melainkan di barisan lain. Padahal, momen tersebut 'seharusnya' menjadi 'pertunjukan' Menlu Marty.
Isu-isu seperti ini sejatinya tidak terlalu luar biasa dalam konteks kebijakan publik. Ia terlalu personal. Sehingga, observasi dari artikel tersebut tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan, khususnya oleh jajaran pemerintahan SBY sendiri. Namun, ketika Sekretaris Kabinet Dipo Alam merasa perlu memberikan klarifikasi bahwa “hubungan SBY dan Marty tidak retak” (Republika, 29 Desember 2011), publik justru menjadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan?
Unsur Kedekatan
Tulisan ini tidak berkehendak meramaikan perdebatan retak-tidaknya hubungan Presiden SBY dengan Menlu Marty. Fenomena tersebut, menurut hemat penulis, lebih merupakan masalah dari gaya kepemimpinan, khususnya kepemimpinan Presiden SBY. Karena, faktor kepemimpinan presiden jelas lebih determinan dibanding menlu yang merupakan bawahan.
Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Presiden SBY dapat dihipotesiskan lebih bersifat personal dibanding mengedepankan sistem. Berangkat dari fenomena konferensi pers KTT ASEAN di Bali, SBY lebih memilih Dubes Dino Djalal yang notabene mantan jubir presiden periode 2004-2009. Terlepas dari substansi pertanyaan atau suasana kebatinan presiden saat itu, sudah menjadi rahasia publik bahwa Presiden SBY dan Dubes Dino memiliki kedekatan personal melebihi hubungan atasan-bawahan.
Semasa menjadi Jubir Presiden SBY, Dino memang terlihat bersinar. Ia sangat aktif tampil di hadapan publik guna menyampaikan pandangan presiden untuk isu-isu luar negeri. Jubir Dino bahkan menerbitkan dua buku yang spektakuler tentang SBY. Yang pertama, Harus Bisa, berisikan catatan personal Dino atas kepemimpinan SBY. Buku ini menggambarkan betapa luar biasanya SBY sebagai pemimpin. Buku kedua, Energi Positif, mendeskripsikan kesan-kesan positif sejumlah tokoh terhadap sang presiden.
Tentu saja adalah hak Dubes Dino untuk menggambarkan kesan positifnya atas Presiden SBY. Selaras dengan itu, adalah juga hak Presiden SBY jika memiliki kesan yang sangat positif terhadap Dino. Permasalahannya adalah ketika kesan-kesan yang bersifat personal itu terbawa ke dalam sistem pemerintahan. Karena bagaimanapun, 'insiden' konferensi pers KTT ASEAN di Bali adalah refleksi dari gaya kepemimpinan yang lebih mengarah kepada personalisasi dibanding penerapan sistem formal pemerintahan.
Amanah Kepemimpinan
Gaya personalisasi kepemimpinan ini sebenarnya telah terdeteksi dengan ramainya perdebatan publik atas berbagai 'keluhan' Presiden SBY. Ketika presiden mengeluhkan sejumlah masalah, seperti gaji, uang negara yang dirampok, atau birokrasi yang dianggap sebagai penghambat pembangunan, publik menganggap presiden terlalu sering melakukan 'curhat' pribadi.
Walaupun dapat dipahami bahwa presiden sebenarnya ingin berkata betapa tidak mudahnya mengurus negara ini, publik menafsirkan lain. Presiden dianggap terlalu mempersonalisasi, 'curhat', berbagai tanggung jawab jabatan publiknya.
Gaya personalisasi kepemimpinan ini juga terasa ketika jajaran pemerintahan tampak sibuk dalam masa-masa menjelang perhelatan pernikahan putra presiden, Edhie Baskoro. Tidak saja Jubir Presiden Julian Pasha yang merasa perlu meluruskan berbagai kritikan publik atas isu-isu seperti biaya perhelatan, para menteri pun juga urun suara dalam melakukan pelurusan.
Padahal, jika urusan pernikahan ini sepenuhnya dibiayai secara pribadi dan tidak sedikitpun menggunakan uang negara, sejatinya berbagai perangkat negara tidak perlu terlalu sibuk memberikan pembelaan. Biarlah persoalan pernikahan menjadi urusan keluarga dan bukan problem negara.
Selaku warga yang merasa miris ketika kepala negaranya terus-menerus dikecam publiknya sendiri, saya berharap Presiden SBY akan menuntaskan masa pemerintahannya dalam situasi Indonesia yang lebih baik lagi. Masalah gaya kepemimpinan seyogianya diarahkan kepada sistemasi dibanding personalisasi.
Klise memang. Namun, bagi demokrasi Indonesia yang relatif belia dan belum memiliki sistem check-and-balance ketatanegaraan yang baik, minimal perbaikan bangunan sistem melalui pilar eksekutif dapat memberikan kontribusi signifikan bagi negeri ini.
Indonesia bisa, Pak Presiden, harus bisa malah. Satu hal yang pasti, amanah kepresidenan sungguh sangat besar pengaruhnya bagi jati diri suatu bangsa seperti Indonesia. Jadikan berbagai kritik sebagai pacuan agar amanah kepemimpinan dapat dituntaskan dalam kebaikan. Karena di akhir zaman nanti, amanah seperti ini akan melewati peradilan besar di mimbar utama para penghuni langit. Wallahu a'lam. ●
Menlu Marty digambarkan semakin kehilangan pengaruh dalam beberapa kegiatan kenegaraan yang berdimensi luar negeri yang notabene portofolio utama jabatannya. Bahkan, sempat pula muncul rumor pinggiran soal penggantian Menlu Marty.
Asumsi artikel ini diambil dari, pertama, sikap presiden yang lebih memilih bertanya kepada Dino Patti Djalal, Dubes RI untuk Amerika Serikat, tatkala melakukan konferensi pers KTT ASEAN di Bali, November 2011. Padahal, saat itu Menlu Marty dan Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah sudah 'siap di tempat'. Asumsi kedua adalah 'insiden' di saat pelantikan duta besar RI untuk negara-negara sahabat, Desember 2011. Menlu Marty tidak diletakkan di barisan depan para menteri melainkan di barisan lain. Padahal, momen tersebut 'seharusnya' menjadi 'pertunjukan' Menlu Marty.
Isu-isu seperti ini sejatinya tidak terlalu luar biasa dalam konteks kebijakan publik. Ia terlalu personal. Sehingga, observasi dari artikel tersebut tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan, khususnya oleh jajaran pemerintahan SBY sendiri. Namun, ketika Sekretaris Kabinet Dipo Alam merasa perlu memberikan klarifikasi bahwa “hubungan SBY dan Marty tidak retak” (Republika, 29 Desember 2011), publik justru menjadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan?
Unsur Kedekatan
Tulisan ini tidak berkehendak meramaikan perdebatan retak-tidaknya hubungan Presiden SBY dengan Menlu Marty. Fenomena tersebut, menurut hemat penulis, lebih merupakan masalah dari gaya kepemimpinan, khususnya kepemimpinan Presiden SBY. Karena, faktor kepemimpinan presiden jelas lebih determinan dibanding menlu yang merupakan bawahan.
Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Presiden SBY dapat dihipotesiskan lebih bersifat personal dibanding mengedepankan sistem. Berangkat dari fenomena konferensi pers KTT ASEAN di Bali, SBY lebih memilih Dubes Dino Djalal yang notabene mantan jubir presiden periode 2004-2009. Terlepas dari substansi pertanyaan atau suasana kebatinan presiden saat itu, sudah menjadi rahasia publik bahwa Presiden SBY dan Dubes Dino memiliki kedekatan personal melebihi hubungan atasan-bawahan.
Semasa menjadi Jubir Presiden SBY, Dino memang terlihat bersinar. Ia sangat aktif tampil di hadapan publik guna menyampaikan pandangan presiden untuk isu-isu luar negeri. Jubir Dino bahkan menerbitkan dua buku yang spektakuler tentang SBY. Yang pertama, Harus Bisa, berisikan catatan personal Dino atas kepemimpinan SBY. Buku ini menggambarkan betapa luar biasanya SBY sebagai pemimpin. Buku kedua, Energi Positif, mendeskripsikan kesan-kesan positif sejumlah tokoh terhadap sang presiden.
Tentu saja adalah hak Dubes Dino untuk menggambarkan kesan positifnya atas Presiden SBY. Selaras dengan itu, adalah juga hak Presiden SBY jika memiliki kesan yang sangat positif terhadap Dino. Permasalahannya adalah ketika kesan-kesan yang bersifat personal itu terbawa ke dalam sistem pemerintahan. Karena bagaimanapun, 'insiden' konferensi pers KTT ASEAN di Bali adalah refleksi dari gaya kepemimpinan yang lebih mengarah kepada personalisasi dibanding penerapan sistem formal pemerintahan.
Amanah Kepemimpinan
Gaya personalisasi kepemimpinan ini sebenarnya telah terdeteksi dengan ramainya perdebatan publik atas berbagai 'keluhan' Presiden SBY. Ketika presiden mengeluhkan sejumlah masalah, seperti gaji, uang negara yang dirampok, atau birokrasi yang dianggap sebagai penghambat pembangunan, publik menganggap presiden terlalu sering melakukan 'curhat' pribadi.
Walaupun dapat dipahami bahwa presiden sebenarnya ingin berkata betapa tidak mudahnya mengurus negara ini, publik menafsirkan lain. Presiden dianggap terlalu mempersonalisasi, 'curhat', berbagai tanggung jawab jabatan publiknya.
Gaya personalisasi kepemimpinan ini juga terasa ketika jajaran pemerintahan tampak sibuk dalam masa-masa menjelang perhelatan pernikahan putra presiden, Edhie Baskoro. Tidak saja Jubir Presiden Julian Pasha yang merasa perlu meluruskan berbagai kritikan publik atas isu-isu seperti biaya perhelatan, para menteri pun juga urun suara dalam melakukan pelurusan.
Padahal, jika urusan pernikahan ini sepenuhnya dibiayai secara pribadi dan tidak sedikitpun menggunakan uang negara, sejatinya berbagai perangkat negara tidak perlu terlalu sibuk memberikan pembelaan. Biarlah persoalan pernikahan menjadi urusan keluarga dan bukan problem negara.
Selaku warga yang merasa miris ketika kepala negaranya terus-menerus dikecam publiknya sendiri, saya berharap Presiden SBY akan menuntaskan masa pemerintahannya dalam situasi Indonesia yang lebih baik lagi. Masalah gaya kepemimpinan seyogianya diarahkan kepada sistemasi dibanding personalisasi.
Klise memang. Namun, bagi demokrasi Indonesia yang relatif belia dan belum memiliki sistem check-and-balance ketatanegaraan yang baik, minimal perbaikan bangunan sistem melalui pilar eksekutif dapat memberikan kontribusi signifikan bagi negeri ini.
Indonesia bisa, Pak Presiden, harus bisa malah. Satu hal yang pasti, amanah kepresidenan sungguh sangat besar pengaruhnya bagi jati diri suatu bangsa seperti Indonesia. Jadikan berbagai kritik sebagai pacuan agar amanah kepemimpinan dapat dituntaskan dalam kebaikan. Karena di akhir zaman nanti, amanah seperti ini akan melewati peradilan besar di mimbar utama para penghuni langit. Wallahu a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar