Masa
Depan dan Harapan
Fadly Rahman, SEJARAWAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 3 Januari 2012
Menjelang pergantian tahun ke 2012, beberapa
siaran televisi asing menayangkan film-film fiksi ilmiah dan dokumenter tentang
ramalan akhir zaman. Apa ini tanda pupusnya iman manusia atas sains yang dirasa
mampu membakakan hidup?
Simaklah stasiun-stasiun TV itu menayangkan
berbagai bencana hingga kemungkinan alien menginvasi bumi. Mulai dari film Close
Encounters of the Third Kind-nya Steven Spielberg hingga wawancara dengan
Stephen Hawking seputar mempertanyakan peran Tuhan dalam penciptaan dan
penghancuran alam semesta.
Kadang fiksi dan sains memengaruhi cara
pandang manusia terhadap hakikat: masa lalu dan masa depan. Yang berlalu kurang
dihayati dan lebih mencemaskan kelangsungan masa depan.
Padahal masa lalu yang dilalui berbagai
bencana adalah pesan. Sebagaimana dalam syairnya, Paradise Lost, John
Milton (1608–1674) berkias bahwa bencana adalah perasaan bumi yang luka. Alam
pun membalaskan luka bumi dengan mengirimkan kesengsaraan bagi hidup semesta.
Syair klasik Milton membangunkan kembali
kesadaran akan jejak-jejak bencana dalam perjalanan hidup bumi ini. Bencana tak
ubahnya sebagai pembuka lembaran baru kehidupan demi kehidupan. Terus bergulir
begitu, sejak awal hingga akhir masa, kelak.
Jika yang ditakutkan adalah hari pembalasan,
bukankah penciptaan semesta ini juga tak kalah menakutkannya? Mengurai
riwayatnya, bukankah penciptaan bumi dan alam semesta dihasilkan
oleh–sebagaimana dikemukakan fisikawan Fred Hoyle lalu Stephen
Hawking–“dentuman besar” (big bang) miliaran tahun lalu? Juga meteor
besar yang menghujam bumi dan memupus periode makhluk-makhluk gigantis puluhan
juta tahun lalu.
Hingga masa-masa makin jelasnya peran dan
kuasa Tuhan meruntuh-bangunkan kehidupan, sebagaimana termaktub dalam kitab
suci, terwarta begitu banyak kisah bencana ditimpakan bagi umat manusia semasa
kenabian.
Umat-umat yang mendustakan para rasul
utusan-Nya didera berbagai bencana, mulai dari bah, erupsi gunung api, hingga
masa paceklik merundung begitu lamanya. Karena bencana besarlah surga-surga
peradaban ribuan tahun lampau habis dari muka bumi.
Dalam kitab suci dan literatur klasik,
diwartakan tamadun-tamadun awal itu dipupuskan Tuhan sebagai hukuman atas
kegelimangan moral yang rusak di tengah-tengah kegemilangan peradaban.
Kegemilangan yang dinodai dosa telah mengkhilafkan muara hidup insan-insan yang
sejatinya mengarah pada kefanaan.
Manusia terlenakan pada hasrat menggapai
kebakaan yang sepatutnya hanya dimiliki-Nya. Bagai kisah Gilgamesh,
syair Babilonia Kuno, yang mengisahkan petualangan Gilgamesh mencari
Utnapishtim, seorang bijak yang dapat memberikan petunjuk keabadian hidup
baginya.
Hanya sebuah tumbuhan di dasar lautlah yang
mampu membuat ia abadi, begitu syarat Utnapishtim. Diselaminya lautan, hingga
diperolehnya tumbuhan itu. Namun, seekor ular besar merampasnya. Keabadian tak
didapatnya. Ia pun putus asa, hingga akhir hayatnya.
Tamak
Ketamakan Gilgamesh tak ubahnya sebuah kias
atas hidup insaniah yang menghamba pada ketamakan melalui jalannya dalam
menggapai kebahagian hidup. Yang digapainya membuatnya lupa akan hakikat
hidupnya yang tidak abadi, hingga akhirnya bencana, sakit, dan kematian
menyadarkannya. Kebahagiaannya pun direnggut tak tersisa. Yang ada, hanya duka
nestapa.
Tersampaikan juga pada kita yang mendiami
bumi ini, ternyata bukan semata faktor alam dan Kuasa Tangan Tuhan. Bencana
juga berelasi, baik secara langsung maupun tidak, dan baik disadari maupun
tidak–jika boleh mengutip sebuah ayat Alquran–oleh “perbuatan tangan manusia
sendiri”.
Kini bukanlah masa-masa kenabian. Tak ada
lagi para utusan-Nya yang mengingatkan pada jalan-Nya yang lurus. Yang ada
hanya kehanifan yang secara moral terwaris kini pada segelintir insan dalam
menjalani nilai-nilai kearifan.
Kearifanlah yang hanya mampu mendudukkan
relasi harmonis manusia dengan alam semesta, sebagaimana bunyi filosofi klasik
Jawa “memayu hayuning buwana”, melestarikan keindahan dunia dan jagad
raya yang menaungi hidup manusia. Filosofi itu didapati dalam sosok
seperti (mendiang) Maridjan dengan segala kearifan lokalnya, meski ada yang
menilainya irasional.
Termaknai dalam hidup pemberian-Nya yang ia
jalani secara soliter dengan penuh kesederhanaan untuk menata kehidupan duniawi
yang baik demi mewujudkan keharmonisan itu.
Hanya, Tuhan memang akan selalu menjadikan
yang arif sebagai objek derita, dicemooh, dihinakan, dan dikorbankan. Jika
tidak Dia gariskan begitu, kearifan tampaknya tidak akan menjadi buah renungan
dan pelajaran bagi insan yang disisakan oleh-Nya untuk tetap hidup.
Yang hidup sedianya merenungi kearifan
jiwa-jiwa hanif dalam berharmonisasi dengan alam. Tapi, renungan atas
nilai-nilai kehanifan dan kearifan dalam ukuran hidup zaman sekarang yang
dikelindani nafsu modernisme, seakan hanya memusim. Setelah derita berlalu,
dosa pun kembali berlaku; terus begitu.
Sejak modernitas pada akhir abad ke-18
mengusung gelora Revolusi Industri yang masa-masa kemudian gaungnya begitu
diagung-agungkan, yang ada memang tak lebih dari tabiat-tabiat ketamakan.
Tabiat itu agaknya kini menjadi bermasalah bagi kehidupan modern yang
ber(bi)adab ini.
Bukan hanya bencana alam yang patut ditakuti,
semestinya. Bagaimana dengan teknologi pencemar bumi hingga pemakaian dan
pemamahan bahan-bahan kimia dalam pangan yang meneror hayat? Manusia merasa
aman dalam dekapan modernitas, padahal semua tak lebih–meminjam perkataan
ekolog Lester R Brown–“rasa aman yang palsu”.
Modernisme yang dipuja-puja manusia juga
semakin diinsafi mengakumulasi menjadi “bencana” yang kini mengelindani kita
dan bumi yang didiami ini. Bencana sungguh adalah sebentuk jalinan kausalitas
kehidupan.
Itulah mengapa, setiap kali bencana mendera,
saat-saat asap erupsi gunung-gunung membumbung, tsunami menggulung-gulung
ratusan ribu nyawa, gempa mengguncang, kita–banyak yang mengatakan–kembali
dihadapkan pada ujian Tuhan.
Ya, Tuhan. Dia yang acap kali diingat kala
kesusahan menimpa. Dia yang dilupa kala susah pun berlalu. Sudah jamak begitu
Tuhan didudukkan dalam saat-saat penuh susah.
Teringat kisah penyaliban Yesus tatkala
memanggil-manggil: “Eli, Eli, Lama Sabakhtani”, “Tuhan, Tuhan, mengapa
Engkau meninggalkan aku?”, tapi panggilan macam itu bagi seorang rasul tentu
jauh lebih mulia derajatnya ketimbang kita, “gembala-gembala” dengan segala
kealpaan dan ketamakan hawa nafsu yang menggiring pada dosa-dosa.
Berbagai kesusahan yang telah dan akan
dilalui adalah sewujud prediksi atas kelangsungan hidup di bumi ini. Kesusahan
jugalah yang deritanya mampu menginsafkan manusia, seperti yang dikatakan Gede
Prama, “derita bukan kutukan, ia cara sang jiwa mengetuk hati manusia.”
Ada yang berdebar dan cemas. Tapi, anggaplah
2012 hanya angka cantik. Ingat, setiap masa depan mengandung harapan baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar