Senin, 02 Januari 2012

Privatisasi dan Pembonsaian Kereta Api


Privatisasi dan Pembonsaian Kereta Api
Harun Al-Rasyid Lubis, ASSOCIATE PROFESSOR, TRANSPORTATION RESEARCH GROUP, ITB
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


Dualisme komando kebijakan perkeretaapian makin terbukti dengan terbitnya Perpres No 83/2011. Isinya menugaskan PT Kereta Api Indonesia menyelenggarakan prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek.

Perpres ini sekilas memang memisahkan fungsi regulasi dan operasi antara Ditjenka dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), dua lembaga pemerintah yang selama ini menjalankan fungsi ganda. Namun, penjelasan bahwa pelaksanaan tugas oleh PT KAI tak diperbolehkan menggunakan dana APBN dan APBD menjadikan penugasan ini ibarat buah simalakama bagi korporasi.

Dua pertiga pengoperasian perkeretaapian dunia masih membutuhkan dukungan pemerintah berupa subsidi tahunan. Itu di luar pengadaan prasarana yang lazimnya berupa biaya yang sudah tertanam (sunk cost), seperti jalur KA yang ada sekarang. Sisanya, sepertiga operasi KA dunia bisa menutup biaya operasi kalau rute KA menghubungkan dan melayani daerah terpadat permukiman serta bisnis, seperti di Hongkong, Singapura, dan beberapa kota di Jepang. Itu pun kalau operator KA diberi kesempatan dan hak istimewa mengelola properti prima di sepanjang jalur KA. Penjualan tiket tidak menutup biaya operasi.

Revitalisasi

Rangkaian restrukturisasi dan agenda revitalisasi KA sesuai UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian boleh dibilang gagal. Ukurannya adalah Pasal 214 UU No 23/2007 yang mengamanatkan antara lain audit perkeretaapian dan penetapan kembali neraca awal PT KAI, tetapi tak terlaksana. Ini sebagai tindak lanjut dikeluarkannya 5 kepmenhub pada 2010. Empat dari kepmen itu mirip Perpres No 83/2011, di mana PT KAI adalah badan usaha/ operator prasarana dan sarana perkeretaapian yang sah. Sisanya khusus mengatur manajemen prasarana (Kepmenhub No 219/2010), di mana prasarana milik pemerintah diwadahi dengan perjanjian kontrak operasi dan pemeliharaan kepada PT KAI.

Terbitnya Perpres No 83/2011 adalah reaksi atas kemandekan manajemen prasarana KA selama ini, bukan sebagai platform lanjutan reformasi dan revitalisasi perkeretaapian sesuai UU No 23/2007. Mengembangkan jalan tol pun saat ini perlu dan sudah didukung dana pemerintah (APBN), bagaimana mungkin KA tidak memerlukan APBN?

Politik infrastruktur transportasi dan politik anggaran berjalan tidak konsisten. Kisruh harga BBM bersubsidi bagi angkutan barang KA baru-baru ini menunjukkan betapa birokrasi tidak berkomunikasi walau saling bicara. Menambah pasokan BBM bersubsidi lebih disenangi pemerintah ketimbang menaikkan harga BBM dan mengalihkan peruntukan subsidi bagi pemberdayaan angkutan umum, termasuk angkutan berbasis rel.

Maka, satu-satunya cara adalah menaikkan tarif. Persyaratan ini sangat terkait dengan penilaian pemeringkatan pengembalian utang PT KA di mata lembaga keuangan. Berbeda dengan angkutan KA batubara yang sangat komersial—terdapat jaminan off-taker (permintaan) dan tarif komersial yang dapat meyakinkan lembaga keuangan, angkutan penumpang KA perkotaan tidak demikian.

Pelayanan Publik

KA komuter adalah pelayanan publik untuk tujuan sosial dalam rangka pemerataan dan pengurangan eksternalitas. Mekanisme bantuan atau cara mendistribusi subsidi kepada para penumpang perlu dicarikan jalan keluar, selain subsidi langsung ke operator KA seperti skema public service obligation (PSO). Sebaliknya kebijakan biaya infrastructure maintenance and operation (IMO) ataupun PSO bertentangan dengan Perpres No 83/2011 karena semua bersumber dari APBN.

Sampai sekarang hubungan regulator versus operator KA belum terpayungi dalam kontrak manajemen yang adil. Benturan kepentingan tak terhindarkan serta terjadi moral hazard di kedua lini, di Ditjen KA sebagai regulator (principal) dan PT KAI (agent). Alhasil, semua inefisiensi ditanggung pengguna jasa.

Menaikkan tarif sepanjang masih terjangkau daya beli masyarakat bukanlah masalah. Namun, bagi masyarakat tidak mampu—andai KA perkotaan masih menjadi alat tujuan sosial—pemerintah yang harus mencari solusi subsidi.

Dengan Perpres No 83/2011, jika ingin menyelenggarakan pelayanan KA ataupun lewat moda angkutan lain, pemerintah harus membentuk badan usaha not-for-profit semacam badan layanan umum atau tetap memanfaatkan PT KAI.

Mungkin perpanjangan trek KA menuju bandara dapat diwujudkan, tetapi dengan mengurangi peluang terbangunnya KA bandara premium service lewat jalur khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar