Privatisasi
dan Pembonsaian Kereta Api
Harun Al-Rasyid Lubis, ASSOCIATE PROFESSOR, TRANSPORTATION RESEARCH GROUP, ITB
Sumber
: SINDO, 1 Januari 2012
Dualisme komando kebijakan perkeretaapian
makin terbukti dengan terbitnya Perpres No 83/2011. Isinya menugaskan PT Kereta
Api Indonesia menyelenggarakan prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno-Hatta
dan jalur lingkar Jabodetabek.
Perpres ini sekilas memang memisahkan fungsi
regulasi dan operasi antara Ditjenka dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), dua
lembaga pemerintah yang selama ini menjalankan fungsi ganda. Namun, penjelasan
bahwa pelaksanaan tugas oleh PT KAI tak diperbolehkan menggunakan dana APBN dan
APBD menjadikan penugasan ini ibarat buah simalakama bagi korporasi.
Dua pertiga pengoperasian perkeretaapian
dunia masih membutuhkan dukungan pemerintah berupa subsidi tahunan. Itu di luar
pengadaan prasarana yang lazimnya berupa biaya yang sudah tertanam (sunk cost),
seperti jalur KA yang ada sekarang. Sisanya, sepertiga operasi KA dunia bisa
menutup biaya operasi kalau rute KA menghubungkan dan melayani daerah terpadat
permukiman serta bisnis, seperti di Hongkong, Singapura, dan beberapa kota di
Jepang. Itu pun kalau operator KA diberi kesempatan dan hak istimewa mengelola
properti prima di sepanjang jalur KA. Penjualan tiket tidak menutup biaya
operasi.
Revitalisasi
Rangkaian restrukturisasi dan agenda
revitalisasi KA sesuai UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian boleh dibilang
gagal. Ukurannya adalah Pasal 214 UU No 23/2007 yang mengamanatkan antara lain
audit perkeretaapian dan penetapan kembali neraca awal PT KAI, tetapi tak
terlaksana. Ini sebagai tindak lanjut dikeluarkannya 5 kepmenhub pada 2010.
Empat dari kepmen itu mirip Perpres No 83/2011, di mana PT KAI adalah badan
usaha/ operator prasarana dan sarana perkeretaapian yang sah. Sisanya khusus
mengatur manajemen prasarana (Kepmenhub No 219/2010), di mana prasarana milik
pemerintah diwadahi dengan perjanjian kontrak operasi dan pemeliharaan kepada
PT KAI.
Terbitnya Perpres No 83/2011 adalah reaksi
atas kemandekan manajemen prasarana KA selama ini, bukan sebagai platform
lanjutan reformasi dan revitalisasi perkeretaapian sesuai UU No 23/2007.
Mengembangkan jalan tol pun saat ini perlu dan sudah didukung dana pemerintah
(APBN), bagaimana mungkin KA tidak memerlukan APBN?
Politik infrastruktur transportasi dan
politik anggaran berjalan tidak konsisten. Kisruh harga BBM bersubsidi bagi
angkutan barang KA baru-baru ini menunjukkan betapa birokrasi tidak
berkomunikasi walau saling bicara. Menambah pasokan BBM bersubsidi lebih
disenangi pemerintah ketimbang menaikkan harga BBM dan mengalihkan peruntukan
subsidi bagi pemberdayaan angkutan umum, termasuk angkutan berbasis rel.
Maka, satu-satunya cara adalah menaikkan
tarif. Persyaratan ini sangat terkait dengan penilaian pemeringkatan
pengembalian utang PT KA di mata lembaga keuangan. Berbeda dengan angkutan KA
batubara yang sangat komersial—terdapat jaminan off-taker (permintaan) dan
tarif komersial yang dapat meyakinkan lembaga keuangan, angkutan penumpang KA
perkotaan tidak demikian.
Pelayanan Publik
KA komuter adalah pelayanan publik untuk
tujuan sosial dalam rangka pemerataan dan pengurangan eksternalitas. Mekanisme
bantuan atau cara mendistribusi subsidi kepada para penumpang perlu dicarikan
jalan keluar, selain subsidi langsung ke operator KA seperti skema public
service obligation (PSO). Sebaliknya kebijakan biaya infrastructure maintenance
and operation (IMO) ataupun PSO bertentangan dengan Perpres No 83/2011 karena
semua bersumber dari APBN.
Sampai sekarang hubungan regulator versus
operator KA belum terpayungi dalam kontrak manajemen yang adil. Benturan
kepentingan tak terhindarkan serta terjadi moral hazard di kedua lini, di
Ditjen KA sebagai regulator (principal) dan PT KAI (agent). Alhasil, semua
inefisiensi ditanggung pengguna jasa.
Menaikkan tarif sepanjang masih terjangkau
daya beli masyarakat bukanlah masalah. Namun, bagi masyarakat tidak mampu—andai
KA perkotaan masih menjadi alat tujuan sosial—pemerintah yang harus mencari
solusi subsidi.
Dengan Perpres No 83/2011, jika ingin
menyelenggarakan pelayanan KA ataupun lewat moda angkutan lain, pemerintah
harus membentuk badan usaha not-for-profit semacam badan layanan umum atau
tetap memanfaatkan PT KAI.
Mungkin perpanjangan trek KA menuju bandara
dapat diwujudkan, tetapi dengan mengurangi peluang terbangunnya KA bandara
premium service lewat jalur khusus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar