Senin, 02 Januari 2012

“Tapi Kerja Belum Selesai…”


“Tapi Kerja Belum Selesai…”
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE;
DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 1 Januari 2012


Tapi kerja belum selesai...”. Kita tahu penyair Chairil Anwar tak menulis baris sajak itu untuk ekonomi Indonesia. Walau demikian, mungkin baik bagi kita untuk mengingatnya, terutama ketika kita mulai melangkah di tahun 2012 ini dan ketika rasa puas diri mulai merambat di perekonomian kita. Saya kira, kita pantas memberikan apresiasi atas masuknya Indonesia ke peringkat layak investasi (investment grade) setelah menunggu 14 tahun.

Ini bukan waktu yang pendek. Prestasi ini membuktikan betapa benarnya adagium: manfaat reformasi ekonomi ada di masa depan, sementara pengorbanan harus diberikan seketika. Itu sebabnya, tak banyak politisi mendukung penuh reformasi karena hasilnya bukan untuk mereka—tetapi untuk masa depan—sementara pada jangka pendek popularitas bisa menurun. Lihat saja, kehati-hatian kebijakan makro—yang kerap dikritik—tenyata membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, serta kerangka kebijakan makro yang hati-hati.

Apa dampaknya bagi kita? Negara dengan status investment grade dianggap memiliki risiko default lebih rendah dibandingkan dengan negara nonperingkat investasi. Implikasinya: semakin banyak investor memasukkan Indonesia sebagai tujuan investasi. Ekonom Jaramillo dan Tejada (2011) menunjukkan, negara yang masuk peringkat layak investasi menikmati penurunan spreads sebesar 36 persen. Bisa dibayangkan, akses ke pasar keuangan menjadi lebih mudah dan biayanya menjadi lebih murah.

Di sini kita melihat: dari sisi minat (permintaan) terhadap investasi, Indonesia ada di posisi yang baik. Namun perlu dicatat, dampaknya baru akan dirasakan pada jangka menengah. Mengapa? Krisis utang di Eropa— saat ini—mengakibatkan ketatnya persaingan untuk mendapatkan modal. Likuiditas mengetat. Investor melikuidasi portofolionya di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, walau Indonesia masuk peringkat investasi, arus modal baru akan meningkat tajam setelah Eropa relatif stabil.

Jika dari sisi permintaan kondisinya relatif baik, bagaimana kesiapan kita menerima investasi? Di sini soalnya. Studi Soesastro dan Basri (2005) menunjukkan bahwa soal kita bukan pada sisi permintaan, melainkan sisi penawaran. Solikin (2004) dari Bank Indonesia menunjukkan, peran kesenjangan keluaran (output-gap) pada inflasi (dampak inflasi karena meningkatnya permintaan) relatif kecil pada periode prakrisis 1998. Ia juga menemukan bahwa kurva Phillips, yang menunjukkan hubungan pengangguran dan inflasi, relatif datar. Artinya, peningkatan output (penurunan pengangguran) terjadi praktis tanpa terlalu banyak mendorong inflasi. Namun, situasi berubah setelah krisis ekonomi 1998. Kendala penawaran memberikan kontribusi yang lebih besar pada inflasi, kurva Phillips menjadi lebih curam. Temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan tidak bisa diimbangi oleh sisi penawaran.

Saya khawatir hal inilah yang akan mengganggu prestasi investment grade Indonesia. Arus modal masuk, tetapi infrastruktur tak memadai dan birokrasi lamban. Akhirnya, kita tak mampu memanfaatkan arus modal ini dengan optimal. Risiko inflasi meningkat dan produksi terhambat. Tanpa percepatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, perekonomian tumbuh jauh di bawah potensinya. Jika saja kita bisa menyelesaikan masalah infrastruktur, ekonomi bisa tumbuh di atas 8 persen. Itulah tingkat pertumbuhan yang wajar untuk negeri dengan potensi seperti kita. Benar, pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum adalah sebuah kemajuan. Namun, tak boleh berhenti di sana. Selesaikan segera peraturan pemerintahnya dan tuntaskan proyek infrastrukturnya.

Soal lain adalah birokrasi dan aturan yang menghambat. Salah satu faktor yang harus diperbaiki adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Revisi yang sudah dilakukan tak mengubah banyak substansi dan hambatan yang dihadapi. Proses lelang di lembaga pemerintah praktis rumit. Ini diperburuk lagi dengan birokrasi yang lamban.

Birokrasi memang tak mudah berubah. Pemikir politik Alexis de Tocqueville pernah menulis bahwa setiap pemerintah pusat mengagungkan keseragaman. Mungkin karena itu budayawan Goenawan Mohamad menulis mengenai keraguannya tentang ikhtiar baru yang bisa muncul dari birokrasi. Saya kira benar, birokrasi ogah terobosan. Terobosan mengancam keseragaman. Dan, itu berarti kekacauan dalam birokrasi. Di sini dilemanya: birokrasi harus menjamin keseragaman. Tanpa itu, ketidakpastian akan muncul dan birokrasi bisa disalahgunakan.

Namun, di sisi lain, keseragaman tak ramah pada inovasi. Akibatnya, birokrasi tak berubah dan peraturan menjadi berhala. Di negeri ini, presiden dan menteri berganti, tetapi birokrasi dan kekakuannya tak bergeser. Inilah soal kita. Oleh karena itu, reformasi birokrasi mutlak diperlukan, rantai birokrasi harus dipotong, dan peraturan disederhanakan. Untuk jangka pendek, gunakan sistem dalam jaringan (online) untuk memangkas birokrasi. Ini bukan kerja mudah. Itu sebabnya, sebelum rasa puas diri menguasai kita dan sebelum krisis Eropa berdampak lebih buruk, pada awal tahun 2012 ini baik kita mengingat baris sajak di atas. Chairil benar. Kerja belum selesai, belum apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar