“Tapi
Kerja Belum Selesai…”
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH
INSTITUTE;
DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 1 Januari 2012
Tapi kerja belum selesai...”. Kita tahu
penyair Chairil Anwar tak menulis baris sajak itu untuk ekonomi Indonesia.
Walau demikian, mungkin baik bagi kita untuk mengingatnya, terutama ketika kita
mulai melangkah di tahun 2012 ini dan ketika rasa puas diri mulai merambat di
perekonomian kita. Saya kira, kita pantas memberikan apresiasi atas masuknya
Indonesia ke peringkat layak investasi (investment grade) setelah menunggu 14
tahun.
Ini bukan waktu yang pendek. Prestasi ini
membuktikan betapa benarnya adagium: manfaat reformasi ekonomi ada di masa
depan, sementara pengorbanan harus diberikan seketika. Itu sebabnya, tak banyak
politisi mendukung penuh reformasi karena hasilnya bukan untuk mereka—tetapi
untuk masa depan—sementara pada jangka pendek popularitas bisa menurun. Lihat
saja, kehati-hatian kebijakan makro—yang kerap dikritik—tenyata membuahkan
hasil. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, kenaikan peringkat ini
mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik yang rendah dan
terus menurun, serta kerangka kebijakan makro yang hati-hati.
Apa dampaknya bagi kita? Negara dengan status
investment grade dianggap memiliki risiko default lebih rendah dibandingkan
dengan negara nonperingkat investasi. Implikasinya: semakin banyak investor
memasukkan Indonesia sebagai tujuan investasi. Ekonom Jaramillo dan Tejada
(2011) menunjukkan, negara yang masuk peringkat layak investasi menikmati
penurunan spreads sebesar 36 persen. Bisa dibayangkan, akses ke pasar keuangan
menjadi lebih mudah dan biayanya menjadi lebih murah.
Di sini kita melihat: dari sisi minat
(permintaan) terhadap investasi, Indonesia ada di posisi yang baik. Namun perlu
dicatat, dampaknya baru akan dirasakan pada jangka menengah. Mengapa? Krisis
utang di Eropa— saat ini—mengakibatkan ketatnya persaingan untuk mendapatkan
modal. Likuiditas mengetat. Investor melikuidasi portofolionya di banyak
negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, walau Indonesia masuk peringkat
investasi, arus modal baru akan meningkat tajam setelah Eropa relatif stabil.
Jika dari sisi permintaan kondisinya relatif
baik, bagaimana kesiapan kita menerima investasi? Di sini soalnya. Studi
Soesastro dan Basri (2005) menunjukkan bahwa soal kita bukan pada sisi
permintaan, melainkan sisi penawaran. Solikin (2004) dari Bank Indonesia
menunjukkan, peran kesenjangan keluaran (output-gap) pada inflasi (dampak
inflasi karena meningkatnya permintaan) relatif kecil pada periode prakrisis
1998. Ia juga menemukan bahwa kurva Phillips, yang menunjukkan hubungan
pengangguran dan inflasi, relatif datar. Artinya, peningkatan output (penurunan
pengangguran) terjadi praktis tanpa terlalu banyak mendorong inflasi. Namun,
situasi berubah setelah krisis ekonomi 1998. Kendala penawaran memberikan
kontribusi yang lebih besar pada inflasi, kurva Phillips menjadi lebih curam.
Temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan tidak bisa diimbangi oleh sisi
penawaran.
Saya khawatir hal inilah yang akan mengganggu
prestasi investment grade Indonesia. Arus modal masuk, tetapi infrastruktur tak
memadai dan birokrasi lamban. Akhirnya, kita tak mampu memanfaatkan arus modal
ini dengan optimal. Risiko inflasi meningkat dan produksi terhambat. Tanpa
percepatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, perekonomian tumbuh jauh di
bawah potensinya. Jika saja kita bisa menyelesaikan masalah infrastruktur,
ekonomi bisa tumbuh di atas 8 persen. Itulah tingkat pertumbuhan yang wajar
untuk negeri dengan potensi seperti kita. Benar, pengesahan Rancangan
Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum adalah sebuah kemajuan.
Namun, tak boleh berhenti di sana. Selesaikan segera peraturan pemerintahnya
dan tuntaskan proyek infrastrukturnya.
Soal lain adalah birokrasi dan aturan yang
menghambat. Salah satu faktor yang harus diperbaiki adalah Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Revisi yang
sudah dilakukan tak mengubah banyak substansi dan hambatan yang dihadapi.
Proses lelang di lembaga pemerintah praktis rumit. Ini diperburuk lagi dengan
birokrasi yang lamban.
Birokrasi memang tak mudah berubah. Pemikir
politik Alexis de Tocqueville pernah menulis bahwa setiap pemerintah pusat
mengagungkan keseragaman. Mungkin karena itu budayawan Goenawan Mohamad menulis
mengenai keraguannya tentang ikhtiar baru yang bisa muncul dari birokrasi. Saya
kira benar, birokrasi ogah terobosan. Terobosan mengancam keseragaman. Dan, itu
berarti kekacauan dalam birokrasi. Di sini dilemanya: birokrasi harus menjamin
keseragaman. Tanpa itu, ketidakpastian akan muncul dan birokrasi bisa
disalahgunakan.
Namun, di sisi lain, keseragaman tak ramah
pada inovasi. Akibatnya, birokrasi tak berubah dan peraturan menjadi berhala.
Di negeri ini, presiden dan menteri berganti, tetapi birokrasi dan kekakuannya
tak bergeser. Inilah soal kita. Oleh karena itu, reformasi birokrasi mutlak
diperlukan, rantai birokrasi harus dipotong, dan peraturan disederhanakan.
Untuk jangka pendek, gunakan sistem dalam jaringan (online) untuk memangkas
birokrasi. Ini bukan kerja mudah. Itu sebabnya, sebelum rasa puas diri
menguasai kita dan sebelum krisis Eropa berdampak lebih buruk, pada awal tahun
2012 ini baik kita mengingat baris sajak di atas. Chairil benar. Kerja belum
selesai, belum apa-apa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar