Senin, 02 Januari 2012

Refleksi terhadap UU Politik

Refleksi terhadap UU Politik
Reza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


DPR periode 2009-2014 mengalami disorientasi dalam pelaksanaan fungsi konstitusionalnya dalam bidang legislasi. Politik legislasi DPR di 2011 mengalami kegagalan yang lebih kurang sama dengan tahun sebelumnya (2010).
Kegagalan ini tak hanya dilihat dari pencapaian target legislasi yang semakin jauh dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011, tetapi juga kehilangan makna dari sisi substansi.

Perundang-undangan bidang politik misalnya, jadi salah satu bukti absurdnya desain legislasi yang digagas DPR. Setidaknya terdapat tiga UU bidang politik yang didesain keliru oleh pembentuk UU, yaitu UU No 2/2011 tentang Perubahan UU Partai Politik (Parpol); UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu; serta UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang sedang dalam proses revisi.

Perubahan ketiga UU tersebut tanpa didasarkan pada diagnosis yang jelas mengenai problem yang sesungguhnya terjadi dalam proses implementasinya. Akibatnya, perubahan UU hanya menambah masalah baru dalam proses politik di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pemilihan umum.

Menyuburkan Oligarki

UU Parpol menjadi UU bidang politik yang pertama kali diubah pada 2011. Dari sisi substansi, perubahan hanya terkait penambahan jumlah sumbangan badan usaha terhadap parpol dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar. Sementara problem akuntabilitas dan transparansi keuangan parpol tak jadi agenda dalam perubahan tersebut.

Implikasi dari pengaturan keuangan parpol yang absurd ini hanya menyuburkan oligarki di internal partai. Akan timbul kelompok-kelompok tertentu yang akan menguasai partai secara mutlak karena pendanaan parpol dikuasai oleh satu pihak. Paling tidak ini tergambarkan dari situasi parpol saat ini, ketika terdapat gejala yang mengarah pada patronase politik.

Dalam isu akuntabilitas dan transparansi, pendanaan parpol juga mengalami distorsi. Laporan keuangan parpol menjadi ”barang mahal” karena tidak tersentuh oleh publik.
Melihat problem ini, ada dua hal yang diabaikan. Pertama, soal pembatasan sumber pendanaan parpol, terutama yang berasal dari anggota dan pengurus parpol. UU terlalu ”pasrah” menyerahkan pembatasan tersebut dalam aturan internal parpol. Akibatnya, terjadi ”monopoli” pendanaan oleh petinggi parpol.

Kedua, ketiadaan sanksi yang tegas dan jelas jika parpol tidak terbuka dengan laporan keuangannya, apalagi tidak membuat laporan keuangan sebagaimana diwajibkan UU. Seharusnya sanksi diberlakukan untuk mendorong partai jadi lebih terbuka ke publik. Sanksi dapat berupa penghentian subsidi dari negara atau bahkan sanksi tidak diikutkan dalam pemilu berikutnya.

Pemilu juga terancam oleh terlalu kuatnya peran parpol dan DPR dalam pemilihan penyelenggara pemilu. UU No 15/2011 meninggalkan celah hukum yang begitu besar dan mengarah pada ”pembajakan” pemilu.

Jika dikaitkan dengan proses pemilihan penyelenggara pemilu, ada dua hal yang patut diwaspadai. Pertama, adanya persyaratan yang membolehkan anggota parpol mencalonkan diri sebagai penyelenggara pemilu. Syarat ini menjadi ”parasit” untuk terbentuknya penyelenggara pemilu yang independen.

Kedua, adanya klausul dalam UU No 15/2011 yang memberi ruang bagi DPR menolak calon yang disampaikan oleh panitia seleksi. Ketentuan ini ”aneh” karena tak pernah ditemukan dalam pengaturan proses seleksi komisi negara lain, misalnya proses seleksi pimpinan KPK.

Kehadiran klausul ini tak hanya mengganggu independensi panitia seleksi, tapi juga ”mengancam” terbentuknya penyelenggara pemilu tepat waktu sesuai amanat UU. Situasi ini pada akhirnya akan berpotensi ”membajak” penyelenggaraan pemilu.

Menyuburkan Korupsi

Terkait revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, ada empat isu krusial yang masih diperdebatkan, yaitu tentang sistem pemilu, ambang batas parlemen, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan metode penghitungan suara.

Butir perubahan ini hampir tak menyentuh akar korupsi politik dalam konteks pemilu. Contoh, bagaimana merumuskan ketentuan yang dapat mencegah terjadinya praktik politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara oleh petahana, dan penggunaan ”uang haram” untuk kegiatan kampanye (money laundering). Perubahan bahkan cenderung lebih memperlihatkan pertarungan antarpartai untuk memperoleh kekuasaan di legislatif.

Semua problem ini dihadirkan untuk menyegarkan ingatan publik mengenai potret buram UU bidang politik yang menyuburkan praktik korupsi dan membahayakan demokrasi. Kita berharap, tahun mendatang ada perbaikan dalam kehidupan politik melalui perbaikan regulasi bidang politik yang lebih menjamin terselenggaranya kehidupan demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar