Menimbang
Mobil Esemka
Suwarno, STAF
PENGAJAR DEPARTEMEN TEKNIK MESIN ITS
Sumber
: KORAN TEMPO, 10 Januari 2012
Masalah
mobil nasional mencuat kembali menjadi wacana publik setelah Joko Widodo, Wali
Kota Solo, akan menggunakan mobil rakitan anak-anak sekolah menengah kejuruan,
Kiat-Esemka, sebagai mobil dinasnya. Tentu wacana ini menimbulkan polaritasnya
sendiri di masyarakat. Memang tampaknya pengembangan produk berbasis teknologi
yang dipelopori pemerintah umumnya tidak bisa disebut berhasil, lihatlah PT
Dirgantara Indonesia, yang terus-menerus membutuhkan suntikan dana. Hal
terakhir ini ikut menyumbang energi apatisme terhadap lahirnya produk-produk
berbasis teknologi. Terlepas dari itu, gencarnya wacana mobil Esemka semakin
memperlihatkan gairah akan kecintaan kepada produk buatan dalam negeri.
Berbeda
dengan pesawat terbang, mobil Kiat-Esemka lahir dari sebuah inisiatif
pendidikan. Program pembuatan mobil ini adalah sebuah paket pendidikan
anak-anak sekolah menengah kejuruan yang dibiayai oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Dengan demikian, tujuan utama dari perakitan mobil itu tentu
untuk pelatihan tenaga-tenaga kelas menengah. Namun ternyata hasilnya di luar
dugaan dan hal ini menyuntikkan optimisme baru bagi sebagian masyarakat, bahwa
pada level sekolah menengah atas saja kemampuan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia sudah tidak boleh dipandang remeh, bagaimana dengan mereka di
universitas atau institut-institut teknologi.
Faktanya,
memang SDM muda Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dua tahun terakhir
Indonesia, yang diwakili ITS Surabaya, memenangi lomba tingkat Asia dalam hal
membuat mobil yang irit sekaligus ramah lingkungan. Beberapa orang Indonesia
juga bekerja dan atau menduduki jabatan strategis pada perusahaan perusahaan
otomotif bonafide dunia, baik sebagai ekspatriat di luar negeri maupun sebagai
insinyur lokal pada perusahaan-perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di
Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sumber daya manusia tidak bisa dipandang
sebagai suatu kendala dalam proses lahirnya produk teknologi. Hanya, banyak
orang tahu bahwa produk mobil atau motor memang bisa saja lahir atau beredar di
pasar, kemudian menjadi booming dengan mudah, namun pada akhirnya
menghilang dengan sendirinya.
Tanggapan negatif, ataupun cibiran atas mobil
Kiat-Esemka oleh beberapa kalangan masyarakat dan beberapa elite pemimpin,
barangkali didasari rasionalitas seperti itu.
Faktor
trauma masa lalu boleh jadi ikut berpengaruh membentuk paradigma apatisme soal
mobil nasional. Semangat menciptakan mobil nasional telah dimulai pada era
1970-an dengan bermacam-macam kebijakan yang pada akhirnya kandas dengan
berbagai macam penyebab. Era 1980-an, gairah memiliki mobil nasional pernah
dimanifestasikan dalam proyek besar semacam Maleo, yang dipelopori Habibie,
yang waktu itu menjabat Kepala BPPT. Dari kalangan swasta, sebutlah Bakrie
Group, bahkan Astra Group sendiri, yang adalah pemilik banyak ATPM di
Indonesia, pernah membuat purwarupa mobil nasional.
Pada
era 2000-an belakangan ini sudah dijumpai produk-produk mobil dari
proyek-proyek kecil yang secara mandiri dikembangkan oleh masyarakat dengan
dukungan terbatas dari pemerintah. Saat ini sudah ada beberapa merek, baik
dalam tahap purwarupa ataupun sudah dalam masa produksi dan dijual, di
antaranya yang mungkin dikenal masyarakat adalah GEA dan Kancil. Namun,
sayangnya, kedua merek mobil tersebut, yang notabene lahir lebih dulu dari
Esemka, tidak juga diterima pasar, terlepas dari fakta bahwa mobil merek GEA
lahir dari inisiatif teknologi. Dalam hal ini, BPPT yang mengembangkan mesin
GEA dan PT INKA Madiun yang bertanggung jawab atas bodi kendaraan.
Dalam
perkembangannya sejak Karl Benz (1885) mematenkan kendaraan transportasi dengan
mesin berbahan bakar bensin, teknologi mobil telah mengalami evolusi. Kemajuan
teknologi dalam mobil ini berjalan seiring dengan kemajuan sains dan inovasi
teknologi, terutama didorong oleh tuntutan masyarakat modern. Dalam merancang
dan membuat komponen mobil, berbagai disiplin ilmu diperlukan, dari ilmu
mekanika, kimia, ilmu bahan, hingga ilmu-ilmu elektronika. Dari uraian di atas,
harus diakui menciptakan produk mobil memerlukan deposito pengalaman (learning
curves) dan pengetahuan yang tidak sedikit. Mobil-mobil yang sudah di
jalanan pada umumnya memang adalah hasil perbaikan-perbaikan yang
berkesinambungan, yang dalam literatur industri mobil Jepang terkenal sebagai continuous
improvement.
Meski
demikian, sebagian besar pokok-pokok ilmu dan teknologi yang sangat kompleks
tersebut boleh dikatakan telah menjadi domain publik, baik berupa publikasi
ilmiah, laporan-laporan penelitian, maupun buku buku teknik, di mana pada masa
Internet saat ini mudah didapatkan. Bukti empiris berkaitan dengan hal ini
adalah keberhasilan Cina, Malaysia, atau bahkan Iran dalam membangun mobil
nasionalnya. Sejak 2008, Cina menjadi produsen mobil terbesar di dunia dengan
merek lokal mencapai 44 persen dari total produksi, meskipun industri otomotif
mereka tergolong muda seperti yang ditulis Mark Norcliffe dalam bukunya (China’s
Automotive Industry). Mark juga menuliskan bahwa komponen dalam negeri
produk mobil Cina mencapai 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sukses Cina
tidak hanya menjadi perakit mobil, namun juga telah kokoh membangun industri
itu. Cina, Iran, dan Malaysia sama sekali tidak punya basis teknologi otomotif,
namun mereka membuat kebijakan supaya industri ini bisa tumbuh sebagai perusahaan
dengan inisiatif lokal. Uraian ini menunjukkan bahwa ada suatu celah, meski
teknologi terlihat kompleks, namun dokumentasi ilmu pengetahuan dan teknologi
itu bisa didapatkan dan dengan berbagai model kebijakan, rancang bangun suatu
produk berbasis teknologi bisa dilakukan.
Mobil
Kiat-Esemka adalah semacam realitas lain dari wacana produk teknologi yang
terdahulu, di mana pada kasus yang lalu, sebutlah proyek IPTN atau mobil
nasional Timor, lahir bersifat top-down. Sedangkan Esemka lahir lebih
bersifat bottom-up, di mana ia lahir dari masyarakat akar rumput dan
kemudian menjadi berpengaruh di kalangan elite politik dan kemudian menjadi
wacana publik. Realitas yang kedua, produk bagaimanapun kualitasnya ternyata
bisa dilepas di masyarakat dengan syarat harus dimulai oleh proses keteladanan
oleh pemimpin dalam menggunakan produk tersebut.
Beberapa
masyarakat menuntut adanya kebijakan industri yang bersifat proteksionis.
Namun, berdasarkan pengamatan pada masa pertumbuhan industri otomotif sendiri,
kebijakan proteksionis tidak bisa dilaksanakan. Hal ini tentu disebabkan oleh
kondisi kekinian Indonesia dalam konteks global. Indonesia sudah terlibat dalam
berbagai macam perdagangan bebas, sehingga sulit menerapkan kebijakan industri
yang tidak bertentangan dengan komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam
rangkaian globalisasi perdagangan.
Namun
kebijakan yang mendukung di luar konteks perdagangan dan industri sangat
potensial diterapkan, antara lain; pertama, menambahkan besaran dana riset dari
pemerintah untuk menunjang rancang bangun kendaraan. Dalam kasus Esemka,
perguruan tinggi dan lembaga riset bisa dilibatkan secara intens pengembangan
produk tersebut. Kedua, memberikan hibah dengan model kompetisi bagi pengusaha
atau calon pengusaha yang bergerak dalam sektor otomotif berbasis lokal. Hal
ini memungkinkan tumbuhnya wirausahawan baru dalam bidang-bidang teknologi
otomotif yang bukan tidak mungkin akan menghasilkan produk kreatif dan solutif
yang laku di pasar.
Dua
solusi di atas tampak cukup klasik, dan memang telah diterapkan oleh banyak
negara. Di Amerika, dua paket kebijakan tersebut sukses membangun industri
baterai lithium ion yang digunakan pada mobil-mobil listrik yang mana
Jepang telah menjadi penguasa pasar sejak awal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar