Hukum
Memihak yang Kuat
Haryatmoko, DOSEN DI PASCASARJANA FIB UI DAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Sumber
: KOMPAS, 10 Januari 2012
Vonis bersalah terhadap AAL (15), pencuri
sandal jepit anggota Brimob, adalah ironi bagi impunitas para koruptor kakap.
Mungkin benar kata Thrasymachus, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka
yang kuat.”
Pernyataan ini dilontarkan dalam
perdebatannya dengan Socrates tentang keadilan, seperti tertulis di buku Plato,
The Republic. Thrasymachus mendefinisikan ”adil” sebagai yang sesuai dengan
hukum atau yang dianjurkan kebiasaan dan hukum dalam negara kota.
Jika ”adil” disamakan dengan yang legal,
sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal, setiap rezim membuat
hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi keuntungannya.
Atas nama kepastian hukum, AAL— siswa SMK
Negeri 3 Palu, Sulawesi Tengah—divonis bersalah. Kepastian hukum menjadi mitos
realisme hukum. Padahal, kepastian hukum lebih merupakan keyakinan seakan hukum
itu sempurna sehingga tinggal diterapkan. Lalu, hukum dianggap sebagai ”suatu
korpus aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang terlatih dan
cukup terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban yang
tepat terhadap masalah dengan penuh kepastian” (Tebbit, 2000: 25).
Padahal, realitas hukum justru tak pasti.
Masalah hukum menuntut pencarian keseimbangan antara prinsip, kebijaksanaan,
dan asumsi yang tak tersurat. Proses pencarian ini sulit diramalkan alias tak
pasti.
Bukti ketidakpastian itu tampak dengan adanya
beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus sama. Dalam kasus korupsi, ada
tersangka yang dihukum berat, ada yang dibebaskan, bahkan ada yang kasusnya
ditutup.
Penganut positivisme hukum sering mengabaikan
kesenjangan antara hukum tertulis dan penafsirannya. Padahal, penafsiran hukum
sebagai korpus aturan bisa saja diterapkan pada kasus yang berlawanan. Lalu,
bagaimana kepastian hukum bisa dijamin?
Jangan-jangan yang menjamin kepastian hukum
sebetulnya adalah kekerasan atau kekuatan. Dalam banyak kasus, pejabat atau
mereka yang kaya mudah memenangi perkara atau memperoleh impunitas. Lalu, hukum
hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan dan berpihak kepada yang
kuat.
Pada abad XVI, Machiavelli sudah melihat
gejala itu. Maka, ia menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Filsuf
Italia yang sangat realis ini menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan
yang dapat memaksakannya.
Hanya kemudian, sesudahnya, hak dan hukum
akan melegitimasi kekuatan itu. Jadi, hukum tidak lain adalah nama yang
diberikan oleh penguasa terhadap kelupaan atas asal-usul kekuasaan. Asal-usul
kekuasaan adalah kekerasan.
Negara
Tak Peduli Kebenaran
Modalitas kekuasaan bisa berbentuk kapital
ekonomi, budaya, sosial, atau simbolis (Bourdieu, 1994). Sering modalitas
kekuasaan itu adalah kekerasan, bisa sah (aparat negara) atau tidak sah
(organisasi paramiliter).
Kasus GKI Taman Yasmin adalah contoh nyata.
Bahkan, ketika hukum mau memihak yang lemah, masih saja dihalangi kekuasaan.
Keputusan Mahkamah Agung tidak bisa dieksekusi.
Maka, benar kata Hobbes bahwa harus ada
penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum: ”Perjanjian tanpa pedang
hanyalah kata-kata kosong” (Leviathan XVIII).
Mengapa negara lemah dalam menjamin keadilan?
Terhadap pertanyaan ini, Alain Badiou menjawab dengan sinisme. Filsuf Perancis
itu mengatakan bahwa negara tidak ada urusannya dengan keadilan. Negara tidak
peduli, bahkan memusuhi suatu politik yang mengurusi kebenaran.
Menurut Badiou, negara modern hanya mau
menunaikan tugas yang terbatas dan menggalang konsensus opini publik. Dimensi
tanggung jawabnya, akhirnya, hanya sampai pada mengubah keniscayaan ekonomi
menjadi kepasrahan dan penyesalan karena menyerah pada dominasi logika kapital.
Dengan demikian, definisi keadilan berubah menjadi harmonisasi permainan
berbagai kepentingan (Badiou, 1998: 113).
Maka, penguasa hanya sibuk dengan politik
pencitraan; partai politik ribut berebut kekuasaan; dan pelanggaran HAM seperti
dibiarkan. Penguasa tidak sempat memikirkan untuk membangun institusi-institusi
yang lebih adil.
Akibatnya, upaya memperbaiki sistem
hukum—yang selama ini cenderung memihak yang kuat—pun terabaikan. Pemihakan ini
menyusup melalui konsepsi prosedural (formalisme) hukum. Tekanan pada prosedur
hukum mudah mengabaikan rasa keadilan.
Membongkar
Formalisme Hukum
Carl Schmitt pernah mengingatkan sebaiknya
penilaian hukum mendasarkan pada keputusan, bukan pada norma. Keyakinan ini
bukan mau meniadakan kepastian hukum, melainkan mau membongkar bahwa dalam
kepastian hukum masih ada pendakuan kesahihan penafsiran berbagai pihak.
Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum berakar
pada formalisme hukum (2000:26). Keprihatinan utama formalisme adalah sejauh
hukum itu tertulis. Lalu, kurang mengenali jiwa atau substansi hukum.
Akibatnya, ada kecenderungan menafsirkan hukum sebagai sistem tertutup. Cara
penafsiran ini menganggap faktor-faktor sosial lain tidak relevan.
Mengikuti aturan demi aturan berarti
mengabaikan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu
kasus justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu, bukan
dalam aturan-aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus. Akar
seluruh prosedur itu: penilaian di balik penalaran yang sering tidak terungkap
dan tanpa disadari (Tebbit, 2000:27).
Penilaian pribadi yang mendahului ketetapan
hukum, suatu penilaian sebelum proses penalaran, lebih menentukan. Maka, perlu
mengangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam proses berpikir untuk
membuat penilaian itu.
Caranya, menggeser fokus studi tentang logika
hukum ke studi tentang faktor-faktor tersurat dan yang tidak disadari, padahal
justru paling berpengaruh dalam menyeleksi kesimpulan dan keputusan hakim.
Faktor-faktor itu adalah politik, ekonomi/uang, sosial, dan pribadi (2000: 29).
Keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian
moral hakim. Sementara pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk
mengecek dan mendukung keputusannya (2000: 33). Jadi, kesetaraan hukum lebih
terjamin jika masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat tersurat dan sah.
Lalu, kritik terhadap formalisme hukum
menjadi relevan. Penilaian hukum jangan hanya mengandalkan pada silogisme,
yaitu jaksa memutuskan hukuman yang logis dengan menilai kasus khusus dari
norma umum sistem hukum yang menjadi acuan (Goyard-Fabre, 2004: 208).
Carl Schmitt mengingatkan pentingnya peran
kekuasaan jaksa atau hakim, termasuk kebebasan intelektualnya (Théologie
politique, 1922). Jadi, jangan bersembunyi di balik kepastian hukum karena
penilaian jaksa dan hakim justru paling menentukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar