Selasa, 03 Januari 2012

Kisruh UI akibat Problem Perundang-undangan


Kisruh UI akibat Problem Perundang-undangan
Agus Sardjono, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012


Terlepas adanya tarik-menarik kepentingan pihak-pihak tertentu, kisruh (di) Universitas Indonesia adalah buah dari ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi akibat dari pelaksanaan suatu peraturan. Pemerintah hanya bisa membuat regulasi tanpa memikirkan bagaimana suatu regulasi itu akan dilaksanakan. Hal itu tampak dengan jelas dalam kisruh UI.

Dalam Pasal 220A Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 dengan tegas disebutkan, ”Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan peraturan pemerintah ini”. Kemudian dalam PP ini ditegaskan lagi bahwa ”Penetapan lebih lanjut masing-masing perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan peraturan presiden”.

Asumsinya, pelaksanaan kedua ayat tersebut baru akan berjalan dengan mulus jika peraturan presiden yang dimaksud itu sudah ada. Inilah yang mungkin belum dipikirkan oleh pembuat regulasi. Akibatnya, dalam kasus UI, masing-masing pihak—dengan kepentingan yang ada di belakangnya—mencoba menyiasati pelaksanaan PP No 66/2010 itu sesuai dengan kepentingan atau sekurang-kurangnya berdasarkan tafsirnya sendiri-sendiri.

Multi-Interpretasi

Dalam teori ilmu hukum dijelaskan bahwa efektivitas suatu peraturan bergantung pada beberapa syarat. Salah satunya berkenaan dengan norma hukum yang tertulis di dalam pasal-pasalnya. Hanya norma hukum yang jelas, konsisten, dan tidak multi-interpretasi yang dapat melahirkan kepastian hukum.

Memperhatikan tulisan Seidman dan Abeysektre (2001), kita dapat menggunakan suatu tes untuk mengukur apakah suatu norma hukum akan efektif atau tidak dalam pelaksanaannya. Tes pertama, berkenaan aturan (rule) yang dituangkan dalam pasal-pasalnya. Apakah pasal-pasal suatu peraturan itu cukup jelas, dalam arti tidak bersifat multi-interpretasi?

Suatu aturan yang penafsirannya dapat ditarik ke sana kemari menunjukkan buruknya penyusunan aturan tersebut. Aturan semacam ini tidak dapat menjamin hadirnya kepastian hukum. Pihak yang paling bertanggung jawab tentu saja adalah para drafternya, sesudah itu adalah pejabat yang menetapkannya sebagai peraturan yang berlaku.

Tes kedua, berkenaan dengan kemampuan (capacity) dari pihak-pihak yang akan mengimplementasikannya. Apakah orang-orang yang akan terkena dampak peraturan itu mempunyai kapasitas untuk menjalankan aturan itu dengan benar?

Dalam konteks PP No 66/2010, apakah perguruan tinggi yang disebutkan di dalam PP itu dapat menjalankan mandatnya apabila peraturan presiden yang dimaksudkan belum ada? Ketiadaan peraturan presiden itu sudah terbukti berakibat pada munculnya tarik-menarik kepentingan dari pihak-pihak yang bertugas mengimplementasikan PP yang bersangkutan.

Tes ketiga, berkenaan dengan komunikasi antara pembuat peraturan dan pihak-pihak yang akan terkena dampak peraturan itu. Apakah pemerintah yang menetapkan PP No 66/2010 itu sudah melakukan langkah-langkah untuk mengomunikasikan peraturan itu kepada para pemangku kepentingan, khususnya perguruan tinggi yang disebutkan di dalamnya?

Komunikasi di sini tentu saja tidak sekadar pemberitahuan, tetapi juga termasuk bagaimana menjalankan aturan itu dalam pelaksanaannya. Artinya, ada proses memberi penjelasan, meminta penjelasan, dan menjelaskannya. Juga ada proses bertanya dan menjawab di antara pemerintah yang akan mengawal pelaksanaan peraturan itu di satu pihak dan perguruan tinggi yang akan melaksanakan peraturan itu. Bagaimana caranya melaksanakan peralihan status jika peraturan presiden yang jadi landasan hukumnya belum ada?

Hal itu harus sudah diantisipasi dan dikomunikasikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi bersangkutan. Dalam kaitannya dengan kisruh UI, adalah tidak adil menuntut UI menjalankan peraturan dengan benar jika peraturannya belum ada atau belum pernah dikomunikasikan.

Tes keempat, berkenaan dengan proses dalam penyusunan suatu peraturan yang bersangkutan. Apakah proses penyusunan peraturan itu sudah melibatkan pemangku kepentingan atau calon pemangku kepentingan dari peraturan yang bersangkutan?

Proses pelibatan ini jadi penting karena, bagaimanapun, para pemangku kepentingan itulah yang akan terkena dampak dari peraturan yang bersangkutan. Dalam merumuskan aturan peralihan dari PP No 66/2010, misalnya, apakah sudah dilakukan proses persiapan untuk melaksanakan peralihan dari status perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) menjadi perguruan tinggi negeri (PTN)? Atau apakah jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan peralihan itu sudah memadai sehingga pada gilirannya perguruan tinggi yang terkena dampak akan dapat melakukan peralihan yang benar dengan aturan hukum yang benar pula? Bagaimana perguruan tinggi itu melakukan langkah-langkah peralihan yang benar jika peraturan presiden yang menjadi landasan hukumnya belum ada?

Masalah Kepegawaian

Problem lain dari PP No 66/2010 yang berpotensi memicu konflik atau bahkan sudah menimbulkan masalah adalah berkenaan dengan masalah alih status kepegawaian. Pasal 220A ayat (3) menegaskan, ”Pengalihan status kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan pada UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai perguruan tinggi badan hukum milik negara diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Peraturan perundang-undangan mana yang akan digunakan dalam rangka pengalihan status kepegawaian itu? Bagaimana caranya melakukan alih status tersebut?

Ketentuan ini juga menimbulkan multitafsir. Di satu pihak ada yang menafsirkan bahwa semua pegawai PT BHMN dengan sendirinya atau secara otomatis harus dialihkan statusnya menjadi PNS, sebagaimana peralihan status PT BHMN menjadi PTN yang juga dilakukan secara otomatis berdasarkan PP tersebut. Namun, ada pula yang menafsirkan secara berbeda.

Akan tetapi, yang pasti adalah bahwa jika status para pegawai PT BHMN itu tak dialihkan menjadi PNS, hal itu akan menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi pegawai PT BHMN yang bersangkutan. Mereka tentu saja akan sangat dirugikan jika prosedur peralihannya dilakukan dengan menggunakan sistem perekrutan pegawai baru karena itu berarti mereka akan menjalani status PNS dari awal. Padahal, di antara mereka ada yang sudah belasan tahun menjadi pegawai BHMN tersebut. Ada pula di antara mereka yang usianya sudah melewati usia yang dipersyaratkan berdasarkan sistem perekrutan.

Bagaimana mengalihkan status pegawai BHMN tersebut? Hal itu sepenuhnya jadi tangggung jawab pemerintah. Tidak adil jika pengalihan status dibebankan dan jadi tugas perguruan tinggi masing-masing karena mereka hanyalah pelaksana regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Presiden sebagai pejabat yang menandatangani dan memberlakukan PP No 66/2010 harus turun tangan menyelesaikan kasus yang timbul akibat ketidakjelasan peraturan yang bersifat multi-interpretasi tersebut.

Statuta Perguruan Tinggi

Selain peraturan presiden yang dimaksud, sesungguhnya masih ada lagi potensi konflik yang menunggu giliran, yaitu berkaitan dengan penyusunan statuta perguruan tinggi. Jika penyusunan statuta ini tidak dilakukan berdasarkan standar penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, bukan tidak mungkin akan muncul persoalan-persoalan baru yang tidak kalah melelahkan.

Statuta adalah aturan main internal masing-masing perguruan tinggi. Di dalamnya berisi aturan tentang wewenang masing-masing organ perguruan tinggi yang nomenklaturnya sudah ditetapkan di dalam PP No 66/2010.

Bukan hanya itu, statuta juga berfungsi sebagai acuan dalam tata kelola perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika perumusan norma statuta juga dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan pemangku kepentingan di lingkungan internal perguruan tinggi bersangkutan, bukan tak mungkin implementasinya akan menimbulkan masalah sebagaimana implementasi PP No 66/2010.

Belajar dari kisruh UI, ada baiknya jika proses penyusunan peraturan presiden dan statuta tiap-tiap perguruan tinggi dilakukan secara benar dan menjadi skala prioritas. Ini agar persoalan UI dapat segera diatasi dan tidak menjadi preseden buruk bagi perguruan tinggi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar