Rabu, 11 Januari 2012

Korupsi Mendarah Daging


Korupsi Mendarah Daging
Ahmad Yani, WAKIL KETUA F-PPP DPR RI/ANGGOTA KOMISI III DPR RI
Sumber : SINDO, 11 Januari 2012



Tahun 2011 yang baru saja berlalu ditutup dengan sebuah kabar cukup menyenangkan.Transparency International,sebuah organisasi nonpemerintah asing, mengumumkan indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia.
Di dalam indeks itu posisi Indonesia dinyatakan sudah ”sedikit” lebih baik. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2011 dinyatakan senilai 3, naik dari nilai tahun 2010 sebelumnya yang sebesar 2,8. Namun, nilai IPK 3 itu sama sekali belum membanggakan. Nilai 3 artinya masih kurang jauh dari separuh pencapaian sempurna. Belum optimalnya pemberantasan korupsi di negeri ini juga terlihat dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Menurut PPATK,tren perilaku korup selama 2011 masih cukup tinggi.Ada 59% (175 terlapor) dari 294 laporan yang diterima PPATK, yang tersangkut dengan dugaan tindak pidana korupsi selama 2011. Nilai dugaan tindak pidana korupsi itu masih lebih tinggi ketimbang dugaan penyuapan yang tercatat sebanyak 67 laporan. Padahal, menurut Undang- Undang Tipikor, penyuapan juga bisa masuk dalam tindak pidana korupsi.

Selain itu,PPATK juga mencatat masih adanya dugaan tindak pidana penggelapan (9 laporan), penipuan (4 laporan), dan penipuan pajak (3 laporan). Tiga dugaan tindak pidana yang terakhir itu pun,biasanya, juga terkait dengan korupsi. Jadi, boleh dibilang, korupsi masih merajalela di negeri ini. Sepanjang 2011 kita mencatat adanya kasus korupsi Wisma Atlet, kasus mafia pajak, kasus korupsi pertambangan, kasus cek pelawat yang berlarut- larut, dan megaskandal Bank Century yang tak karuan juntrungnya.

Celakanya lagi, di tahun 2011 lalu PPATK juga melansir temuan bahwa banyak pegawai negeri sipil (PNS) berusia muda, masih yunior,yang punya rekening bank dalam jumlah banyak, yang ditengarai terkait dengan korupsi. Itu artinya, proses regenerasi korupsi berjalan sukses di negeri ini. Tak mengherankan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2011, masih mengoleksi ribuan kasus korupsi. Tercatat ada 5.742 kasus yang masuk ke KPK, dan masih banyak yang b e l u m tertangani.

KPK sudah menelaah 5.688 kasus, dan mencatat 1.026 kasus yang mengandung indikasi tindak pidana korupsi.Dari sana baru 938 kasus yang akan ditindaklanjuti di internal KPK,namun baru 250 kasus yang sudah benar-benar ditangani. Dari 250 kasus itu ada 76 kasus dalam tahap penyelidikan. Lalu 65 kasus dalam tahap penyidikan, serta 45 kasus dalam tahap penuntutan.Perkara yang sudah incracht mencapai 31 kasus dan dalam tahap eksekusi 33 kasus. KPK juga masih menerima laporan kasus gratifikasi 1.291 laporan,dan 121 laporan ditetapkan sebagai milik negara.

Kasus korupsi yang ditangani kepolisian juga masih banyak. Hingga Oktober 2011, Polri menangani 722 kasus korupsi dan yang telah diselesaikan baru sebanyak 437 kasus. Markas Besar Polri mencatat, sampai Oktober 2011 kasus korupsi yang terjadi telah menyebabkan kerugian negara Rp761,95 miliar—dan Polri baru bisa menyelamatkan uang negara Rp17 miliar.Umumnya, korupsi yang ditangani Polri terjadi pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Mendarah Daging

Masih maraknya kasus korupsi di Tanah Air selama 2011 membuktikan satu hal: pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih belum efektif. Kebiasaan korupsi masih mendarah daging di negeri ini.

Sistem hukum kita, terus terang saja,masih buruk. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi sulit dilakukan justru karena banyaknya aparat penegak hukum yang bermasalah, baik di lingkungan kejaksaan, kepolisian, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, bahkan di KPK. Para penyidik, termasuk penyidik KPK,masih kurang profesional dalam menyusun dakwaan.

Kasus bebasnya Bupati Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohammad di persidangan Tipikor Bandung dan bebasnya 14 anggota DPRD Kutai Kartanegara, setidaknya, mengindikasikan dakwaan yang dibikin KPK kurang “menggigit”. Saya cemas, alih-alih bekerja profesional dan memperkuat dakwaan serta bukti-bukti yang diajukan, jaksa KPK hanya mengandalkan suasana batin para hakim tindak pidana korupsi yang belakangan cenderung takut jika memutus tidak bersalah bagi terdakwa kasus korupsi. Seolah-olah jika memutus bebas terdakwa korupsi, para hakim itu akan dinilai antipemberantasan korupsi dan prokoruptor.

Apalagi,undang-undang juga belum mengatur soal penyitaan aset koruptor yang bisa memiskinkan si pelaku.Maka, tidak ada efek jera bagi mereka yang sudah melakukan tindak pidana korupsi. Persoalan lain dalam pemberantasan korupsi adalah vonis yang sangat rendah.Selama ini,vonis tertinggi bagi terdakwa korupsi masih dipegang oleh jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun. Sepanjang 2011 vonis bagi koruptor umumnya berada di bawah 8 tahun. Sudah itu pemberantasan korupsi juga ditengarai masih bersifat politis.Pengenaan kasus korupsi terhadap sejumlah politisi cenderung dipergunakan sebagai alat untuk memperkuat posisi politis penguasa.

Pengenaan kasus korupsi seolah-olah dijadikan stigma buruk bagi lawan politik penguasa, seperti stigma “kontrarevolusi” di masa Demokrasi Terpimpin dan stigma “terlibat PKI” di masa Orde Baru. Tak ayal, pemberantasan korupsi pun seolah berjalan di tempat, seperti mereka yang berlari di atas treadmill: habis energi tapi tidak ke manamana. Kita harus berusaha lagi menyusun strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif, untuk melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan kebijakan pemberantasan korupsi agar mempunyai dampak konkret.

Aparat penegak hukum harus lebih transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, dalam pemberantasan korupsi. Komitmen politik yang kuat menjadi strategi bersama. Lalu, ketika pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat,mengapa IPK kita naik ke level 3? Untuk yang satu ini, saya teringat pendapat ekonom A Prasetyantoko yang mengulas naiknya ratingutang negara kita,yang kini berada di level BBB—masuk investment grade.Menurut Prasentyantoko, peringkat tersebut agak kontroversial.

Naiknya posisi Indonesia lebih disebabkan kebutuhan pemodal negara maju—yang memerlukan negara- negara yang bisa dijadikan ladang investasi—menyusul ambruknya kinerja ekonomi Amerika dan Eropa.Saya kira, naiknya IPK kita juga tak terlepas dari latar belakang yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar