Kemunduran
Kerangka Berpikir
Satryo Soemantri Brodjonegoro, DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN 1999-2007
Sumber
: KOMPAS, 3 Januari 2012
Kisruh yang saat ini terjadi di Universitas
Indonesia sebenarnya dapat diselesaikan dengan sangat elegan. Seandainya saya
dalam posisi rektor UI, saya akan segera mengundurkan diri dengan menyerahkan
kembali mandat yang pernah diamanatkan oleh Majelis Wali Amanat UI.
Dengan cara itu, keberadaan Universitas
Indonesia (UI) sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (PT
BHMN) semakin kokoh dan menunjukkan telah terjadi kematangan tata kelola UI
sebagai lembaga yang otonom dan akuntabel. Momentum ini sebenarnya kesempatan
emas bagi UI untuk meyakinkan pemerintah dan juga Mahkamah Konstitusi—yang
pernah membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)—bahwa
perguruan tinggi seharusnya dikelola secara otonom dengan akuntabilitas publik.
Pada saat ini, pengelolaan pendidikan tinggi
mengalami masa transisi akibat dibatalkannya UU BHP. Masa transisi yang
ditawarkan oleh pemerintah adalah selama tiga tahun. Tujuh PT BHMN yang ada
pada saat ini—UI, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada
(UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),
Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Sumatera Utara (USU)—dipersilakan
memilih bentuk yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing: apakah akan
menjadi otonom, semi-otonom (pola Badan Layanan Umum), atau menjadi perguruan
tinggi negeri.
Logikanya ketujuh PT BHMN tersebut tetap
bertahan dengan memilih menjadi perguruan tinggi yang otonom. Hal ini mengingat
sejak 1999 mereka sudah mempersiapkan diri dan sudah mengalami transformasi
bertahap menjadi lembaga yang otonom, disertai perubahan kerangka pikir
kemandirian.
Waktu 10 tahun transformasi tersebut bukanlah
waktu yang singkat. Selain itu, juga telah banyak capaian yang diraih oleh
tujuh PT BHMN tersebut dalam meningkatkan kinerja mereka sebagai perguruan
tinggi yang kredibel. Apabila kemudian PT BHMN memilih berubah menjadi
semi-otonom atau perguruan tinggi negeri, sebenarnya PT BHMN tersebut dapat
dikatakan mengalami kemunduran yang luar biasa, dan secara nasional akan
terjadi kerugian.
Digagas
oleh UI
Gagasan mengenai BHMN sebenarnya lahir
sekitar tahun 1998 oleh sejumlah dosen senior UI. Waktu itu, mereka sangat
peduli dengan bagaimana upaya meningkatkan prestasi perguruan tinggi di
Indonesia agar dapat mengantisipasi tantangan global dan mampu bersaing
internasional, bahkan diharapkan menjadi perguruan tinggi kelas dunia.
Gagasan tersebut kemudian disambut oleh pemerintah
dan dirancang menjadi suatu konsep untuk melahirkan suatu acuan mengenai
perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel. Pemerintah, dalam hal ini diwakili
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kemudian melibatkan juga ITB, UGM,
dan IPB dalam proses rancangan peraturan pemerintah mengenai badan hukum milik
negara. Keempat perguruan tinggi tersebut kemudian menjadi model percontohan PT
BHMN. Legalitas kelembagaan didukung oleh adanya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 61 Tahun 1999 mengenai Badan Hukum Milik Negara.
Dengan adanya PP No 61/1999 tersebut, keempat
PT BHMN itu masing-masing mempunyai peraturan pemerintah untuk penetapannya.
Sementara masa peralihan dari bentuk lama sebagai perguruan tinggi negeri
menjadi bentuk baru yang otonom berlangsung selama 10 tahun. Penekanannya pada
perubahan tata kelola dari semula berbentuk instansi pemerintah menjadi bentuk
yang otonom.
Pada tahun 2009 yang lalu seharusnya proses
peralihan tersebut selesai. Inti perubahan sudah terlaksana dengan baik
meskipun masih ada sejumlah isu yang belum tuntas. Misalnya, perihal
kepegawaian, aset, keuangan, dan pajak.
Sejalan dengan proses peralihan tersebut di
atas, adanya PP No 61/1999 telah menginspirasi pemerintah dan DPR untuk
melahirkan UU BHP. Tujuan utamanya agar keberadaan PT BHMN tidak hanya diakui
oleh PP, tetapi juga aturan yang lebih kuat lagi, yaitu UU.
Proses pembuatan RUU BHP berjalan cukup alot
dan panjang karena ternyata tidak mudah memperkenalkan sesuatu yang baru dalam
masyarakat kita. Sesuatu yang belum pernah ada dianggap tidak boleh ada. Para
kolega ahli hukum selalu mengatakan harus ada landasan hukumnya dan harus ada
yurisprudensinya. Padahal, konsep BHP adalah baru sama sekali di Indonesia
sehingga belum ada landasan hukumnya (baru akan dibuat) dan belum ada
yurisprudensinya.
Akhirnya, berkat segala jerih payah semua
pihak dan pemangku kepentingan—dan tentu saja dengan niat tulus semua pihak—UU
BHP lahir pada Januari 2009. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan tinggi kita
mulai menampakkan geliatnya, apalagi didukung oleh UU yang mendukung otonomi
dan akuntabilitas.
Hikmah
Pembatalan UU BHP
Namun, ternyata cobaan terhadap pendidikan
tinggi kita belum berakhir. Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan seluruh UU BHP: bukan hanya pasalnya, melainkan juga seluruh isi UU
karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Tentang hal ini penulis tidak ingin
membahasnya di sini karena dapat mengganggu alur bahasan kali ini. Intinya
adalah bahwa celah ketidaksempurnaan tata kelola di sejumlah PT BHMN digunakan
oleh mereka yang tidak senang dengan UU BHP dengan menggugat ke MK. MK membuat
putusan tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi isu-isunya, apalagi tidak ada
peluang banding di MK. Pendek kata, pembatalan UU BHP oleh MK terjadi karena
belum sempurnanya tata kelola di tujuh PT BHMN.
Sebetulnya pembatalan oleh MK tersebut dapat
diambil hikmahnya, yaitu dengan memperbaiki tata kelola tujuh PT BHMN sehingga
dapat meyakinkan pemerintah, DPR, dan masyarakat, serta MK bahwa BHMN adalah
keniscayaan pilihan bentuk tata kelola perguruan tinggi yang terbaik. Kita
yakin pemerintah akan menetapkan format yang terbaik, yaitu BHMN, kepada
perguruan tinggi di Indonesia setelah kuat keyakinannya akan tata kelola yang
mumpuni.
Adanya kisruh di UI yang berkepanjangan, dan
akhirnya harus diintervensi oleh pemerintah, menunjukkan bahwa tata kelola UI
sebagai BHMN belum beres. Hal ini akan semakin melemahkan posisi tawar BHMN
untuk bisa bertahan dengan pilihan opsi sebagai lembaga yang otonom. Pemerintah
akan terpaksa membatalkan BHMN karena adanya contoh kurang baik oleh kisruh UI.
Ironisnya, UI sebagai penggagas BHMN terpaksa
harus menggagalkan sendiri gagasannya. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi.
Dan, sekali lagi, seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan
mengembalikan mandat saya demi keselamatan sivitas akademika UI dan mengukuhkan
keberadaan BHMN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar