Selasa, 03 Januari 2012

Kemunduran Kerangka Berpikir (86)


Kemunduran Kerangka Berpikir
Satryo Soemantri Brodjonegoro, DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 1999-2007
Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012


Kisruh yang saat ini terjadi di Universitas Indonesia sebenarnya dapat diselesaikan dengan sangat elegan. Seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan segera mengundurkan diri dengan menyerahkan kembali mandat yang pernah diamanatkan oleh Majelis Wali Amanat UI.

Dengan cara itu, keberadaan Universitas Indonesia (UI) sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (PT BHMN) semakin kokoh dan menunjukkan telah terjadi kematangan tata kelola UI sebagai lembaga yang otonom dan akuntabel. Momentum ini sebenarnya kesempatan emas bagi UI untuk meyakinkan pemerintah dan juga Mahkamah Konstitusi—yang pernah membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)—bahwa perguruan tinggi seharusnya dikelola secara otonom dengan akuntabilitas publik.

Pada saat ini, pengelolaan pendidikan tinggi mengalami masa transisi akibat dibatalkannya UU BHP. Masa transisi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah selama tiga tahun. Tujuh PT BHMN yang ada pada saat ini—UI, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Sumatera Utara (USU)—dipersilakan memilih bentuk yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing: apakah akan menjadi otonom, semi-otonom (pola Badan Layanan Umum), atau menjadi perguruan tinggi negeri.

Logikanya ketujuh PT BHMN tersebut tetap bertahan dengan memilih menjadi perguruan tinggi yang otonom. Hal ini mengingat sejak 1999 mereka sudah mempersiapkan diri dan sudah mengalami transformasi bertahap menjadi lembaga yang otonom, disertai perubahan kerangka pikir kemandirian.

Waktu 10 tahun transformasi tersebut bukanlah waktu yang singkat. Selain itu, juga telah banyak capaian yang diraih oleh tujuh PT BHMN tersebut dalam meningkatkan kinerja mereka sebagai perguruan tinggi yang kredibel. Apabila kemudian PT BHMN memilih berubah menjadi semi-otonom atau perguruan tinggi negeri, sebenarnya PT BHMN tersebut dapat dikatakan mengalami kemunduran yang luar biasa, dan secara nasional akan terjadi kerugian.

Digagas oleh UI

Gagasan mengenai BHMN sebenarnya lahir sekitar tahun 1998 oleh sejumlah dosen senior UI. Waktu itu, mereka sangat peduli dengan bagaimana upaya meningkatkan prestasi perguruan tinggi di Indonesia agar dapat mengantisipasi tantangan global dan mampu bersaing internasional, bahkan diharapkan menjadi perguruan tinggi kelas dunia.

Gagasan tersebut kemudian disambut oleh pemerintah dan dirancang menjadi suatu konsep untuk melahirkan suatu acuan mengenai perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel. Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kemudian melibatkan juga ITB, UGM, dan IPB dalam proses rancangan peraturan pemerintah mengenai badan hukum milik negara. Keempat perguruan tinggi tersebut kemudian menjadi model percontohan PT BHMN. Legalitas kelembagaan didukung oleh adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 mengenai Badan Hukum Milik Negara.

Dengan adanya PP No 61/1999 tersebut, keempat PT BHMN itu masing-masing mempunyai peraturan pemerintah untuk penetapannya. Sementara masa peralihan dari bentuk lama sebagai perguruan tinggi negeri menjadi bentuk baru yang otonom berlangsung selama 10 tahun. Penekanannya pada perubahan tata kelola dari semula berbentuk instansi pemerintah menjadi bentuk yang otonom.

Pada tahun 2009 yang lalu seharusnya proses peralihan tersebut selesai. Inti perubahan sudah terlaksana dengan baik meskipun masih ada sejumlah isu yang belum tuntas. Misalnya, perihal kepegawaian, aset, keuangan, dan pajak.

Sejalan dengan proses peralihan tersebut di atas, adanya PP No 61/1999 telah menginspirasi pemerintah dan DPR untuk melahirkan UU BHP. Tujuan utamanya agar keberadaan PT BHMN tidak hanya diakui oleh PP, tetapi juga aturan yang lebih kuat lagi, yaitu UU.

Proses pembuatan RUU BHP berjalan cukup alot dan panjang karena ternyata tidak mudah memperkenalkan sesuatu yang baru dalam masyarakat kita. Sesuatu yang belum pernah ada dianggap tidak boleh ada. Para kolega ahli hukum selalu mengatakan harus ada landasan hukumnya dan harus ada yurisprudensinya. Padahal, konsep BHP adalah baru sama sekali di Indonesia sehingga belum ada landasan hukumnya (baru akan dibuat) dan belum ada yurisprudensinya.

Akhirnya, berkat segala jerih payah semua pihak dan pemangku kepentingan—dan tentu saja dengan niat tulus semua pihak—UU BHP lahir pada Januari 2009. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan tinggi kita mulai menampakkan geliatnya, apalagi didukung oleh UU yang mendukung otonomi dan akuntabilitas.

Hikmah Pembatalan UU BHP

Namun, ternyata cobaan terhadap pendidikan tinggi kita belum berakhir. Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh UU BHP: bukan hanya pasalnya, melainkan juga seluruh isi UU karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Tentang hal ini penulis tidak ingin membahasnya di sini karena dapat mengganggu alur bahasan kali ini. Intinya adalah bahwa celah ketidaksempurnaan tata kelola di sejumlah PT BHMN digunakan oleh mereka yang tidak senang dengan UU BHP dengan menggugat ke MK. MK membuat putusan tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi isu-isunya, apalagi tidak ada peluang banding di MK. Pendek kata, pembatalan UU BHP oleh MK terjadi karena belum sempurnanya tata kelola di tujuh PT BHMN.

Sebetulnya pembatalan oleh MK tersebut dapat diambil hikmahnya, yaitu dengan memperbaiki tata kelola tujuh PT BHMN sehingga dapat meyakinkan pemerintah, DPR, dan masyarakat, serta MK bahwa BHMN adalah keniscayaan pilihan bentuk tata kelola perguruan tinggi yang terbaik. Kita yakin pemerintah akan menetapkan format yang terbaik, yaitu BHMN, kepada perguruan tinggi di Indonesia setelah kuat keyakinannya akan tata kelola yang mumpuni.

Adanya kisruh di UI yang berkepanjangan, dan akhirnya harus diintervensi oleh pemerintah, menunjukkan bahwa tata kelola UI sebagai BHMN belum beres. Hal ini akan semakin melemahkan posisi tawar BHMN untuk bisa bertahan dengan pilihan opsi sebagai lembaga yang otonom. Pemerintah akan terpaksa membatalkan BHMN karena adanya contoh kurang baik oleh kisruh UI.

Ironisnya, UI sebagai penggagas BHMN terpaksa harus menggagalkan sendiri gagasannya. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi. Dan, sekali lagi, seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan mengembalikan mandat saya demi keselamatan sivitas akademika UI dan mengukuhkan keberadaan BHMN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar