Sabtu, 14 Januari 2012

Keutuhan Hukum dan Bangsa


Keutuhan Hukum dan Bangsa
Sudjito,  KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : SINDO, 14 Januari 2012




Dalam artikel berjudul ”2011: Tahun Anti-Polisi?”( SINDO,1/1/2012) Sarlito Wirawan Sarwono antara lain mengemukakan bahwa konflik horizontal maupun vertikal sumbernya selalu sama, yaitu perizinan atau peruntukan lahan.

Di akhir tulisan itu dikatakan bahwa ada kecenderungan sebagian elite politik, tokoh masyarakat, pakarpakar karbitan, media massa TV, radio dan koran, terus-menerus memojokkan polisi karena ini memang eranya nyalahin orang, bukan mencari solusi. Perasaan nelangsa seorang Sarlito tersebut tentu menjadi keprihatinan kita sebagai bangsa secara keseluruhan. Apa yang dikemukakan benar dan sesuai dengan realitas.Cuma, sayang,seluruh materi artikel itu banyak berisi gambaran tentang kekerasan dalam perebutan lahan di negeri ini dan belum sampai pada tawaran solusinya.

Kalau boleh saya urun rembuk, dalam perspektif ilmu hukum, tampaknya kesalahan mendasar polisi sehingga cenderung disalahkan orang lain itu terpulang pada dua hal.Pertama, kesalahan pemahaman polisi terhadap kasus yang dihadapinya, yakni memandangnya sebagai kasus hukum (perundang-undangan) semata tanpa mau melihatnya dari sisi kemanusiaan.Kedua, kesalahan dalam pendekatan penyelesaiannya, yakni bersifat parsialistis, legal-postivistis, dan bukan holistis. Dua kesalahan tersebut akan berakibat tidak tuntasnya penyelesaian atas kasus-kasus sengketa lahan tersebut dan diperkirakan pada 2012 justru akan meningkat.

Dalam perspektif pendekatan holistis, masyarakat melakukan kekerasan dalam memperebutkan lahan bukanlah sekedar persoalan hukum (perundang-undangan) dan bukan pula sesempit soal perizinan. Di dalamnya terkandung masalah kompleks, meliputi persoalan natural, struktural maupun kultural. Secara natural (alamiah) masyarakat menghadapi kesuraman masa depan. Mereka miskin,lapar,dan menderita lahir- batin. Kajian psikologis pasti membenarkan bahwa siapa pun yang berada dalam kondisi seperti itu akan cepat marah apabila hasrat dan harga dirinya dihinakan pihak lain.

Mereka sekadar ingin survive(bertahan hidup).Adakah keberpihakan para penguasa, pemerintah, dan polisi terhadap saudara kita yang sedang dihimpit penderitaan itu? Adakah sila kedua ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”mengisi relung jiwa para stakeholders itu? Polisi tampaknya tidak mampu menjawabnya dengan jujur dan kemudian segalanya dikembalikan pada prosedur tetap (protap). Tindakan seperti itu bukan saja tidak arif, melainkan juga tergolong ego institusional.

Masyarakat di sekitar hutan menjadi miskin karena rekayasa struktural oleh penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha. Dalam Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA), kedudukan hak ulayat diakui. Hak menguasai negara tidak boleh menyentuh dan mengganggu keberadaan hak ulayat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 3 UUPA menjamin perlindungan hukum mengenai hal itu. Mengapa hak diubah menjadi izin? Mengapa pula kewenangan negara (Pasal 2 UUPA) direduksi dan dicaplok menjadi kewenangan pemerintah?

Tindakan ini inkonstitusional (melanggar Pasal 18B ayat (2) UUD 1945) dan sekaligus melanggar UUPA. Mengapa Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan, dan instansi pemerintah lain kebal terhadap pelanggaran konstitusi dan hukum tersebut? Hukum tidak lagi dijalankan sesuai dengan hati nurani dan berdasarkan filosofi bangsa, melainkan dimainkan melalui struktur kekuasaan. Kesalahan yang dilakukan oleh Orde Baru ternyata dilanjutkan oleh Orde Reformasi.

Nilai yang Rontok

Secara kultural, nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini telah rontok dan tergantikan dengan nilai kebendaan. Rasa kekeluargaan sebagai bangsa telah bergeser menjadi sikap individual- liberalistis.Di mata rakyat, polisi dengan kebrutalannya dapat dimaknai sebagai pembelaan demi uang dan pengabdian kepada siapa yang bayar, bukan bertindak demi kemanusiaan dan keadilan sosial.

Polisi tidak serta-merta boleh mengalihkan tanggung jawab kepada lembaga legislatif yang memproduksi undangundang dan peraturan daerah (perda) seraya mengatakan bahwa tugasnya hanya menegakkan hukum. Polisi tentu sadar bahwa dirinya adalah manusia juga: punya hati, akal, dan kearifan. Apabila ada hukum yang salah dan menyengsarakan rakyat, hati nurani polisi mesti bicara dan berperan dalam ikut mencari solusi.

Jangan ”mematikan” hati nurani demi protap dan jadilah polisi yang protagonis, bukan antagonis. Siapa pun wajib menghormati bahwa polisi adalah penegak hukum. Sebagai aparatur yang berada di barisan terdepan ketika berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar perundang-undangan, apalagi protap.Pahamilah hukum secara utuh dan benar.

Dalam keutuhannya, hukum adalah tatanan kehidupan manusia, baik sebagai diri pribadi,makhluk sosial,makhluk alam-lingkungan, hamba maupun khalifah Allah SWT. Hukum adat yang menjadi dasar adanya hak ulayat perlu dipertimbangkan oleh polisi dan semua stakeholders karena hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA). Hukum adat itu bersemayam di dalam budaya masyarakatnya. Di situ ada unsur emosional-tradisional dan sarat dengan nilai-nilai agama.

Oleh karenanya, polisi dan semua stakeholders wajib menanggalkan ego institusional dan ego sektoral dalam berinteraksi dengan masyarakat adat dan mengedepankan jiwa kebersamaan sebagai bangsa. Asas kebangsaan,asas religius, dan asas keberlanjutan telah tersurat secara jelas dalam UUPA,wajib diimplementasikan pada semua kebijakan agraria. Perlu diingat pula bahwa posisi hukum adat terhadap p e r u n d a n g - u n d a n g a n berbeda dari posisinya ketika berada di zaman kolonial. Pemerintah kolonial dengan domein verklaring-nya (Pasal 1 Agrarische Besluit) telah melecehkan keberadaan hukum adat dan hak-hak masyarakat seluruhnya.

VOC dan pemerintah kolonial mengeruk sumber daya alam yang ada di bumi Nusantara dan diangkut ke negerinya tanpa peduli terhadap nasib kemanusiaan yang dihadapi penduduk pribumi. Kalau polisi dan stakeholders punya sikap sama atau serupa dengan pemerintah kolonial dalam memberlakukan hukum adat, lantas apa bedanya dengan penjajahan baru atas bangsa sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar