Sabtu, 14 Januari 2012

Paku Kasih

Paku Kasih
Arswendo Atmowiloto,  BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 14 Januari 2012



Paku, pasak atau penyemat dari logam yang ujungnya runcing dikenali dalam kehidupan kita. Di Keraton Surakarta Hadiningrat, rajanya masih bergelar Paku Buwono, dan di Yogyakarta ada Paku Alam.

Pakuningratan bisa berarti nama kampung yang didiami bangsawan atau keturunannya,tapi juga diartikan sebagai “paku yang bertebaran di jalanan”. Yang terakhir ini agaknya tindak kesengajaan, yang membuat ban kendaraan yang melaluinya kempes dan memerlukan perbaikan. Tindak kejahatan yang bisa membahayakan orang lain,termasuk nyawa. Untunglah dalam masyarakat kita ada dinamika yang mulia.Ada komunitas Sapu Bersih Ranjau Paku,Saber.Komunitas ini secara suka rela,tanpa dibayar tanpa ada yang menyuruh, memunguti jebakan maut itu.Dinamika yang menarik dan baik serta benar adanya: ketika ada kejahatan,muncul kebaikan dan ini berasal dari masyarakat biasa,bukan aparat.

Paku Jahat

Kadang saya berpikir apakah kita ini harus jahat supaya bisa makan? Apakah para penyebar ranjau paku yang dikaitkan dengan usaha tambal ban—kelompok yang paling memiliki motivasi dan mendapat keuntungan dari kasus ini––benar-benar tak mendapat nafkah kalau tidak jahat? Kalau memang usaha tambal ban di jalan tertentu tak memberi penghasilan, kan bisa pindah ke tempat lain dan atau menutup usahanya beralih ke usaha lain yang tak membahayakan masyarakat. Karena akibat dari peranjauan yang ditimbulkan bukan sekadar ban pecah, tapi bisa berarti pengendara terguling yang dapat menyebabkan kehilangan nyawa.

Pertanyaan yang sama bisa diberikan kepada mereka yang memoles makanannya dengan zat pewarna, mencampur dengan zat pengawet, menggunakan bumbu masak yang bertentangan dengan nilai-nilai kesehatan. Atau pertanyaan lebih besar lagi,haruskah menciptakan jenis flu burung untuk menandai kekuasaan atas kuasa yang lain? Dalam makna yang sama pertanyaannya adalah : kenapalah harus menjadi jahat hanya karena bisa melakukan dan punya kuasa untuk itu? Bukankah usaha yang biasa,yang wajar, yang tidak kemaruk serta serakah tidak membuat mereka mati kelaparan?

Bukankah dengan menjadi wakil rakyat—atau polisi, jaksa, hakim,pegawai negeri sipil,pejabat atau petinggi,atau apa saja sebenarnya—cukup terhormat dan tak akan membuat mati kelaparan? Apakah harus melakukan korupsi dan penyalahgunaan kuasa untuk memuaskan nafsu dan napas kebinatangannya hanya karena memiliki akses untuk itu dan dilakukan bersama yang lain? Seorang penyebar ranjau paku berharap dapat rezeki kalau ban kendaraan kempes dan pergi kepadanya untuk ditambal.

Yang tak diketahui, pengendara yang bannya kempes mendadak bisa terjungkal dan meninggal.Atau kalaupun tahu, tidak peduli. Atau kalau tahu dan peduli, tetap dilakukan. Hal yang sama dalam skala lebih besar, durjana korupsi bukan hanya berarti memperkaya diri sendiri dan koleganya, melainkan juga membuahkan kesengsaraan dan derita, bahkan merenggut nyawa orang lain. Kadang saya berpikir, kenapalah menyebar ranjau paku menjadi arah, walau sadar itu tindakan yang salah? Benarkah moralitas kita sudah demikian bubrah?

Salam Saber

Dalam situasi “menjadi jahat karena bisa jahat”,saya masih memiliki semangat melihat komunitas Saber. Mereka ini orang-orang biasa, pekerjaannya biasa juga, sehari-hari hidup sebagai sopir, tukang parkir, satpam,pengusaha bangunan, atau bahkan belum punya pekerjaan.

Dengan keterbatasan dan atau kekurangannya, mereka mampu memberikan kelebihan. Atas usaha sendiri membersihkan paku jalanan. Setiap hari, pagi dan sore— sesudah penyebar paku beraksi–– dengan peralatan seadanya. Mereka bukan komunitas parpol,bukan komunitas ormas, yang tak memperoleh keuntungan materi dari apa yang dikerjakan. Bahkan, mudah diduga, mereka mendapatkan perlawanan keras dari penjahat paku.Mereka ini telah bekerja jauh hari tanpa didahului proposal. Tanpa baliho atau spanduk.

Mereka menebarkan kasih dalam arti yang sebenarnya tanpa sekat agama, etnik, juga prasangka. Komunitas Saber adalah pahlawan––tanpa tanda jasa, tanpa devisa––dalam arti memperhatikan orang lain dan melakukannya. Rame ing gawe, sepi ing pamrih, bekerja keras tanpa berharap imbalan. Komunitas Saber bukan hanya membersihkan paku berbahaya dan membersihkan jalanan agar memperoleh keselamatan bagi orang lain, melainkan juga membersihkan pikiran kita semua untuk menjadi sehat.Bahwa sesungguhnya naluri membantu sesama, naluri persaudaraan, masih ada dan bermakna dalam komunitas yang lebih luas.

Yang tetap bisa dilakukan dan ditekuni dalam keterbatasan. Tingkat sosial mereka barang kali tak jauh-jauh amat dengan kehidupan para penambal ban itu sendiri. Tapi mereka menjadikan indah kehidupan, juga bagi orang lain yang secara pribadi tak dikenalnya. Dan inilah contoh nyata, karena bisa dilihat di jalanan, bahwa pada masyarakat yang tak banyak punya akses, tak dimudahkan oleh kuasa, ternyata tetap ada kebaikan dan membuka nurani. Salam paku, eh salam Saber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar