Sabtu, 14 Januari 2012

Menagih RUU Yogyakarta di 2012


Menagih RUU Yogyakarta di 2012
Irfan Ridwan Maksum,  GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI,
KETUA PROGRAM MIASPS-UMJ
Sumber : SINDO, 14 Januari 2012



Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia,kini perhatian kita tersedot oleh isu Papua,pembenahan mekanisme pilkada dalam revisi UU Pemda, pengaturan desa, pengembangan standar pelayanan minimal di daerah, dan beberapa isu lain.

Dalam bulan September 2011 lalu kita sempat mempersoalkan kembali perpanjangan masa pemerintahan Gubernur Provinsi DI Yogyakarta. Isu Yogyakarta sempat reda, kemudian muncul kembali ke permukaan,yaitu wakil rakyat kita diharapkan menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta paling lama satu tahun. Pembenahan Yogyakarta menjadi barometer bagi otonomi sejenis, termasuk isu mengenai Papua,sehingga pantas ditanya kembali perkembangan polesan otonominya ke depan.

Keistimewaan vs Keseragaman

Yogyakarta istimewa bagi bangsa Indonesia tampaknya sudah menjadi keniscayaan. Bahkan sumbangan rezim Soeharto akan terminologi tersebut dapat dikatakan sebagai katalis. Apa pun kondisinya, bangsa Indonesia telah mengakui keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat kita mengenalnya karena faktor sejarah.

Dari sudut pemerintahan, kita mengakui keistimewaannya dengan menempatkan Sri Sultan sebagai gubernur provinsi tersebut secara otomatis dan sepanjang umur Sri Sultan. Namun, sejak reformasi terdapat persoalan mengenai rekrutmen kepala daerah bagi pemerintahan daerah di Indonesia, terutama sejak pilkada langsung dan pembatasan periode jabatan kepala daerah di seluruh wilayah RI ditetapkan. Kira-kira bahasa sederhananya, kini keistimewaan Yogyakarta terancam dalam praktik pemerintahan daerah kita. Kalau kita tarik desain keistimewaan sebelum era reformasi, sebetulnya hal tersebut ditentukan oleh kesepakatan antara elite politik bangsa Indonesia dengan Sri Sultan pada waktu itu.

Logikanya sekarang pun sudah saatnya kesepakatan tersebut dilakukan ulang. Kini dalam konstruksi NKRI pun telah muncul otonomi semacam Yogyakarta dengan caranya masing-masing, yakni DKI Jakarta, Aceh, dan Papua. Desain tersebut dikembangkan dengan amat dipengaruhi situasi lokal masingmasing. Tampak Yogyakarta ada di tangan Sri Sultan. Sri Sultan dapat meminta pendapat ahli untuk mendesain keistimewaan Yogyakarta, tetapi beliau sendiri harus mengetahui hakikat, makna, visi, dan implikasinya terhadap otonomi Yogyakarta.Koridornya adalah negara kesatuan RI.

Memang dalam negara kesatuan seharusnya ada basic structure dari desain otonomi daerah yang sama (simetrik antardaerah). Tapi di atas batas basic tersebut masih dapat dikembangkan kekhasan-kekhasan. Pada masa Hindia Belanda secara teratur dikembangkan otonomi dalam aspek budaya dengan desentralisasi kebudayaan di luar desentralisasi pemerintahan. Desentralisasi pemerintahan ini terdiri atas desentralisasi teritorial dan fungsional.

Desentralisasi dalam aspek kebudayaan dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda, terutama ketika menghadapi pendatang Asia di wilayah Indonesia saat itu. Bersamaan dengan desentralisasi tersebut, dilakukan desentralisasi pemerintahan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda juga secara asimetrik melakukan pengembangan pemerintahan dengan kalangan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara ini dengan sistem kontrak berupa kontrak jangka panjang dan jangka pendek. Kontrak dengan Kesultanan Yogyakarta kala itu pun dibuat.

Visi mengenai Yogyakarta ke depan harus dimulai dengan menentukan nasib Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan NKRI ini.Bagaimana mempertahankan struktur tersebut melalui mekanisme desentralisasi yang logis dan sistematis. Pembicaraan ini harus mendalam, jangan dicampuri mekanisme turunannya terlebih dahulu seperti tata cara pemilihan DRPD, gubernurnya, birokrasinya, keuangannya, dan lain-lainnya. Apa kesepakatan yang ditempuh oleh elite pengambil kebijakan nasional dengan Sri Sultan sendiri tentang hal tersebut?

Kalau tidak ada kejelasan, tampak desain UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan hanyalah tambal-sulam dan penuh ranjau yang sewaktu-waktu dapat meledak. Dampak secara nasional pun bisa terjadi seperti layaknya efek domino jika tidak mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak yang berkompeten.

Hilangkan Kebimbangan

Separuh nasib DIY, di samping oleh wakil rakyat kita, ditentukan pula oleh Sri Sultan. Oleh karena itu harus dihilangkan kebimbangan dalam menentukan pilihan. Visi ke depan semua komponen bangsa Indonesia tentu adalah penguatan NKRI. Jika visi ini diyakini oleh kita semua, tugas kita semua sebagai elite adalah agar desain kelembagaan NKRI tidak berada terus-menerus dalam abu-abu.

Faktor budaya dan nonstruktural lain dapat diakomodasi dengan melokalisasinya melalui instrumen negara yang terukur, sistematis,dan logis. Kebimbangan muncul karena masa lalu yang kuat mengakar, kentalnya pemahaman masyarakat,dan kuatnya status quo. Dengan demikian kita mesti bergerak memberi contoh, bahkan mengembangkan sistem secara visioner untuk NKRI dan Yogyakarta. Sudah selayaknya RUU Yogyakarta yang akan dituntaskan oleh wakil rakyat sarat dengan spirit kebersamaan dan didasari prinsip berkualitas.

Sri Sultan dalam hal ini harus mengawal proses penyelesaian RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut yang sedang dibahas di parlemen. Draf tersebut yang sudah melalui pembahasan di eksekutif sekian lama sudah selayaknya dipahami betul oleh Sri Sultan. Kita bisa saja berasumsi telah disetujui dan dibahas bersama Sri Sultan, tetapi tampaknya apa yang dikemukakan oleh Mendagri dengan apa yang diinginkan masyarakat Yogyakarta berseberangan.

Di sini letak kebutuhan munculnya aspirasi Sri Sultan sendiri. Sri Sultan adalah sumber utama desain kelembagaan keistimewaan Yogyakarta. Sri Sultan harus sepenuh hati memahaminya. Jika Sri Sultan bimbang dalam menetapkan pilihan,sulit ditemukan desain keistimewaan Yogyakarta yang ideal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar