Sabtu, 21 Januari 2012

Hukum dan Paradigma Kepemerintahan


Hukum dan Paradigma Kepemerintahan
Jack Yanda Zaihifni Ishak, MEMPEROLEH GELAR PHD BIDANG KEBIJAKAN PUBLIK DARI UNIVERSITAS SAIN MALAYSIA, PENANG MSA
Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012


Susah mencari padanan kata untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini. Dalam menanggapi setiap masalah yang timbul, ada kecenderungan masyarakat menunjukkan gejala paranoid: menghukum siapa saja yang dianggap salah dengan memakai hukum pidana tanpa memberi ruang yang cukup bagi keberadaan hukum positif lainnya. Gejala meningkatnya emosi publik secara sporadis, serta pendapat asal-asalan atas banyak perkara, tampaknya seperti mengundang anarki (Coming Anarchy, Kaplan).

Dalam keseharian, banyak ditemukan salah persepsi mengenai arti serta cara kerja hukum dan kebijakan di segala bidang. Sampai saat ini, masyarakat umum menganggap pemerintah merupakan representasi petugas penegak hukum. Dan parahnya, pemerintah sendiri tidak menampik pendapat tersebut. Sebenarnya, tugas pokok pemerintahan adalah memberi pelayanan (service). Kadang-kadang ada nuansa penertiban (synchronization), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development) bagi masyarakat perorangan ataupun korporat dengan prinsip good governance.

Yang membuat keadaan bertambah rumit adalah adanya penyamaan arti kebijakan sebagai manifestasi hukum. Ini diartikan bahwa apa pun tindakan pemerintah harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Di sisi lain, pemerintah dipaksa mengatasi permasalahan dengan cermat, cepat, murah, dan efisien. Namun upaya itu bisa jadi terhambat oleh perundangan yang berlaku, yang bila dilanggar, penjara akibatnya.

Itu pula sebabnya akhir-akhir ini asosiasi gubernur meminta "diskresi" untuk melakukan kebijakan. Hal itu mereka ajukan lantaran banyaknya penyelenggara negara dan bawahannya yang masuk penjara akibat kebijakan yang mereka buat.

Anggapan banyak pihak bahwa hukum pidana adalah obat mujarab bagi segala penyakit untuk mengatasi masalah kemasyarakatan adalah keliru. Hukum pidana adalah ultimum remedium, yakni sebagai "upaya" terakhir. Ia bukanlah merupakan alat untuk memulihkan ketidakadilan ataupun kerugian, melainkan merupakan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat. Sebab, apabila tidak dilakukan tindakan terhadap keadaan tersebut, masyarakat akan terdorong main hakim sendiri (Van Bemmelen).

Pengaruh pemikiran Hans Kelsen sangat dominan dalam pengambilan keputusan. Ia menyatakan sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, ketika norma hukum yang lebih rendah harus berpegang pada norma yang lebih tinggi. Kaidah hukum yang tertinggi (konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm Pancasila). Berlakunya norma-norma tersebut harus pula berlandaskan "norma pengenal terakhir" (The Ultimate Rule of Recognition, yang dicetuskan oleh R.A. Hart). Adapun norma pengenal terakhir ini diperoleh dengan cara bertanya terus-menerus mengenai berlakunya suatu peraturan, dan jawaban yang didapat dipergunakan sebagai sistem hukum yang terakhir.

Bagaimana Kebijakan Bekerja?

Di negeri ini, banyak pihak yang tidak bisa memisahkan arti proses pemerintahan (governing process) dengan proses penegakan hukum (justice process). Proses pemerintahan selalu dimulai dengan pemilihan pemimpin pusat ataupun daerah (pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah). Kemudian dilanjutkan dengan aplikasi program kerja dengan sentuhan kebijakan, dan diakhiri dengan proses administrasi sebagai kontrol terhadap aplikasi program kerja. Adapun proses penegakan hukum dimulai dengan adanya pihak-pihak yang bersengketa, baik perorangan maupun korporat, atau dimulai dengan adanya indikasi kejahatan. Baru kemudian dilanjutkan dengan proses di pengadilan sampai akhirnya keluar putusan.

Untuk membedakan pemerintahan terdahulu dengan pemerintahan sekarang, tentunya hanya dapat dilakukan dengan melihat aplikasi program kerja yang sudah dijanjikan sejak awal kampanye, yang kemudian dibuktikan pada saat memerintah.

Jadi kebijakan adalah tindakan nyata dari proses pemerintahan terpilih untuk berbuat sesuatu. Tolok ukurnya ialah tugas pokok pemerintahan, yakni menjaga harmoni masyarakat dengan jalan melayani lalu lintas kebutuhan masyarakat dan menghindari penumpukan masalah, serta menjauhkan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu tindakan cepat untuk mengatasi masalah yang timbul di masyarakat. Dalam situasi tertentu, kebijakan kadang kala mengesampingkan kaidah hukum. Hal itu diperlukan, misalnya, ketika kebijakan tersebut diperlukan secara mendesak sebagai tindakan penyelamatan atau rescue (Syahrir).

Saya jadi teringat pada saat Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Gebrakan pertama yang dilakukannya adalah membebaskan para tahanan politik dan narapidana politik. Pada saat proses pembebasan secara simbolis, ternyata masih tersisa tahanan bernama Budiman S., yang tidak termasuk dalam daftar. Maka kemudian Yusril meminta Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan perintah secara lisan untuk melakukan pembebasan.

Terobosan kebijakan juga pernah dilakukan Mahfud Md. saat menangani kasus mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo. Ketua Mahkamah Konstitusi memutuskan memperdengarkan rekaman pembicaraan yang disadap dari komunikasi Anggodo dengan beberapa pihak, meskipun hal ini dianggap para pengacara dan ahli hukum sebagai hal yang belum bisa diterima dalam hukum acara kita.

Persoalan inti bangsa ini terletak pada inkonsistensi terhadap prinsip negara hukum itu sendiri, sebagaimana teori Montesquieu yang mensyaratkan pemisahan kekuasaan negara ke dalam lembaga eksekutif (pemerintahan), legislatif (perwakilan masyarakat), dan yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pemerintahan, oleh sebagian besar masyarakat atau bahkan oleh pemerintah sendiri dan lembaga tinggi negara lain, telah dimaknai secara menyimpang. Pemerintahan, yang seharusnya menjalankan program pelayanan masyarakat (sesuai dengan janji pada saat pemilihan), malah dipaksakan untuk melaksanakan penegakan hukum. Bahkan sampai-sampai terjadi pula penyimpangan makna kekuasaan legislatif, yang kini turut mengambil peran yudikatif dan eksekutif. Tengok, misalnya, kasus Bank Century.

Penutup

Akhirnya, kata kuncinya ada pada "wibawa pemerintah dan wibawa peradilan". Kunci operasional juga ada pada kata wibawa itu. Jangan bawa-bawa perdebatan hukum ke masyarakat dengan cara sekenanya, karena itu domainnya para hakim di pengadilan dan ahlinya. Sebab, jika dipaksakan, hasilnya pastilah debat kusir tanpa hasil. Bukankah tujuan besar hukum tersebut adalah keadilan yang minimal? Adapun tujuan pemerintahan adalah kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat.

Tertib masyarakat tidak akan tercapai secara otomatis oleh adanya hukum positif dan perundang-undangan. Sebab, hukum itu hanyalah batasan-batasan perilaku baku yang kaku dan akhirnya bergantung pada sumber daya manusianya. Maka di sinilah peran kebijakan pemimpin dalam negara diperlukan. Kalau itu pun sudah tak ada, ya, apeslah kita semua. Anarki ada di depan mata.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar