Sabtu, 21 Januari 2012

Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum

Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum
Tom Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT WIDYA SASANA MALANG
Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012


Tahun baru Imlek 2563 jatuh pada Senin, 23 Januari 2012, kalender Masehi. Imlek kali ini memasuki Tahun Naga Air. Karakter naga air menjernihkan dan mendinginkan, sehingga yang bergejolak panas pada tahun lalu akan menjadi tenang di tahun ini. Imlek semula dirayakan oleh suku bangsa yang berlatar belakang budaya Cina, lalu menyebar ke negara-negara tetangga Cina, seperti orang Mongol, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Seiring dengan migrasi orang-orang Cina di awal-awal Masehi, Imlek pun masuk ke Nusantara. Bagaimana nasib perayaan Imlek di sini? Nasib Imlek tidak bisa dilepaskan dari kooptasi negara terhadap etnis Tionghoa. Waktu dijajah Belanda, Imlek pernah dilarang dirayakan. Dengan politik segregasi etnisnya, Belanda takut perayaan Imlek yang meriah bisa menyulut kerusuhan berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di ranah publik.

Pelarangan Imlek adalah bukti etnis Tionghoa sungguh dimarginalkan. Etnis ini hanya dijadikan minoritas perantara atau middlemen minority demi kepentingan penguasa (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di Singapura). Peran seperti inilah yang lalu justru gampang memicu konflik SARA karena dianggap etnis Tionghoa lebih pro pada penguasa Belanda. Lalu, pada penjajahan Jepang, Imlek pernah menjadi hari libur resmi berdasarkan Keputusan Osamu Seirei Nomor 26 tanggal 1 Agustus 1942. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur, yaitu Imlek pada 1943 Masehi.

Pada era Sukarno, 1945-1964, Imlek boleh dirayakan seiring dengan kebebasan yang diberikan. Etnis Tionghoa berkiprah di banyak bidang, termasuk politik, sehingga cukup banyak menteri berasal dari kalangan Tionghoa di era Sukarno. Namun, selama era Soeharto, mulai Imlek 1965 hingga 1998, tahun baru yang berawal dari adat petani di Tiongkok ini menjadi barang larangan. Akibatnya, semua kegiatan budaya etnis ini, dari ritual keagamaan hingga adat-istiadat, tidak boleh dilakukan di ranah publik, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

Peran Gus Dur

Syukurlah, lewat Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang. Megawati Soekarnoputri menindaklanjuti langkah Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003). Bukan hanya Imlek yang bebas dirayakan, tapi justru disediakan regulasi yang menjamin kesetaraan etnis ini dengan warga bangsa yang lain, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Malah bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2008, diresmikan Undang-Undang Antidiskriminasi Ras dan Etnis. Siapa pun yang terbukti melakukan diskriminasi bisa diancam hukuman penjara. Ini jelas merupakan garansi bahwa secara politik, keberadaan etnis Tionghoa setara atau sederajat dengan anak bangsa yang lain.

Adanya regulasi seperti itu pelan-pelan juga mulai mengakhiri apa yang oleh Leo Suryadinata disebut sebagai "masalah Cina di Indonesia". Meski etnis ini tidak suka menjadi masalah, kehadiran mereka ternyata kerap dipermasalahkan. Berbagai praktek diskriminasi sungguh pernah menyulitkan etnis ini. Karena masalah Cina ini, Orde Baru punya pendekatan khusus, seperti melarang etnis ini berkiprah di bidang politik. Akibatnya, etnis ini lebih suka berkutat di bidang ekonomi, dan akhirnya diberi stigma sebagai homo economicus. Memang pernah ada Bob Hasan yang diangkat menjadi menteri menjelang runtuhnya rezim Soeharto, tapi hal itu lebih karena unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme serta demi melindungi kepentingan bisnis mereka.

Syukurlah, seiring dengan reformasi 1998, kini etnis Tionghoa menikmati kebebasan, pengakuan, dan dalam beberapa hal justru berada dalam kondisi lebih baik dibanding beberapa suku lain di negeri ini. Meski masalah Cina ini tampak berakhir, dalam beberapa hal masih ada diskriminasi, walau tidak separah dulu. Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui masih ada diskriminasi di beberapa pos pemerintahan.

Untuk itu, Frans meminta pemerintah membuka keran atau peluang lebih luas bagi warga keturunan Tionghoa agar mereka dapat bekerja dan berperan di lembaga pemerintah. Jika peluang itu dibuka, penulis yakin etnis Tionghoa akan makin terlibat lebih intens dan peduli pada setiap permasalahan bangsa ini. Kita tahu salah satu permasalahan besar bangsa ini adalah yaitu pembusukan hukum dan politik yang begitu menggila sehingga korupsi merajalela.

Apa yang diungkapkan Frans di atas tidak berlebihan. Coba tengok di lembaga hukum kita, seperti kejaksaan dan kehakiman, masih jarang ditemukan hakim atau jaksa beretnis Tionghoa. Memang, pengacara atau advokat sudah cukup banyak yang berdarah Tionghoa. Kita tahu penegakan atau pembengkokan hukum sungguh menjadi masalah terbesar di negeri ini. Konyolnya, dalam konteks ini, etnis Tionghoa justru dipersepsikan ikut berperan dalam pembusukan hukum, seperti dalam kasus Anggodo atau yang lain. Dalam kasus Gayus juga terdengar rumor ada cukup banyak perusahaan Tionghoa yang ikut bermain memanipulasi pajak.

Pokoknya, ada keterlibatan sebagian pengusaha atau pebisnis beretnis Tionghoa dalam pola patronase bisnis. Pola ini dibentuk lewat relasi politik, birokrat, dan bisnis yang berhubungan dan sarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pola semacam ini memang khas warisan Orde Baru. Hanya, bedanya di era Orde Baru, pola yang mengembat atau mengorup harta negara itu dilakukan di seputar Cendana saja. Tapi, di era reformasi, pola itu menyebar dari Aceh hingga Papua. Akibatnya, negeri ini kian disandera korupsi.

Yap Thiam Hien

Nah, menyikapi hal itu, ada baiknya lembaga-lembaga hukum kita dibuka lebih lebar bagi etnis Tionghoa. Dengan adanya hakim, jaksa, polisi, atau aparat hukum beretnis Tionghoa, siapa tahu pemberantasan korupsi di negeri ini akan lebih efektif dan hukum benar-benar tegak. Ini lebih baik daripada kita menyewa Tony Kwok, konsultan korupsi internasional sekaligus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong.

Apa alasannya? Di negeri ini kerap terdengar ajakan agar belajar memberantas korupsi dari Cina. Mengapa harus jauh-jauh belajar ke Cina bila ada warga Tionghoa yang secara kultural lebih dekat dengan Cina serta bisa diberdayakan? Jika kesempatan di bidang hukum dibuka lebar-lebar, siapa tahu bisa muncul sosok-sosok seperti Yap Thiam Hien (1913-1989). Meski tidak seperti hakim terkenal Bao Zheng (999-1062) dari zaman Dinasti Song Utara, integritas Yap Thiam Hien sebagai pengacara diakui, bahkan namanya diabadikan untuk penghargaan hak asasi manusia.

Namun perlu ditekankan bahwa persoalan pembengkokan hukum atau maraknya korupsi di negeri kita sebenarnya tidak pernah terkait dengan etnis tertentu. Koruptor atau mafia hukum bisa dari etnis mana pun. Bila persoalan ini direduksi ke etnisitas, malah bisa dipastikan bisa kontraproduktif bagi keutuhan bangsa. Yang penting, dengan iklim yang kian kondusif, jelas setiap etnis Tionghoa bersama warga bangsa lainnya ditantang untuk menunjukkan kontribusi yang lebih positif demi Indonesia yang bisa lebih baik bagi semua orang. Gong Xi Fa Cai 2563.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar