Senin, 19 Maret 2018

Celah Obligasi Daerah

Celah Obligasi Daerah
Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi BNI Securities;
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri
                                               KORAN JAKARTA, 12 Maret 2018



                                                           
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 atau sepanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo, kebutuhan dana infrastruktur prioritas ditaksir 4.796 triliun rupiah. Hanya, ternyata kemampuan pendanaan melalui belanja negara dan daerah tak sampai separuhnya, hanya 41,3 persen atau 1.978 triliun rupiah. Itu pun baru sebatas hitung-hitungan di atas kertas.

Kenyataan lainnya, dilihat dari realisasi tahun 2015 hingga perencanaan pendanaan tahun 2017, total dana infrastruktur baru sekitar 990 triliun. Memang masih ada dua tahun tersisa untuk memenuhi. Tapi, tampaknya akan terasa sangat berat untuk mengejar target tersisa hampir 1.000 triliun.

Di sisi lain, kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tidak mampu menutupi kekurangan tersebut. Perusahaan-perusahaan pelat merah diperkirakan hanya bisa menyumbang 1.066 triliun (22,2 persen) dari total kebutuhan. Jadi, mau tak mau, harapan besar pada swasta untuk menutupi kekurangan tersebut.

Dengan kondisi itu, belakangan mulai banyak daerah mengeluh soal pembiayaan infrastruktur di luar APBN dan APBD. Ini mengingat memang terdapat keterbatasan kapasitas fiskal di banyak daerah. Calon-calon kepala daerah hendaknya mulai melirik opsi-opsi pembiayaan yang mungkin. Jika tidak, kondisi akan tetap sama dan lemparan wacana obligasi daerah akan tinggal kenangan.

Nah, salah satu yang cukup menarik perhatian instrumen dana infrastruktur (dinfra) dari OJK. Sampai kini, Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK EBA) dua bentuk riil dinfra. Dengan kata lain, dinfra muncul dalam rupa Kontrak Investasi Kolektif (KIK). OJK sudah mengeluarkan beleid sebelum komisioner berganti. Beleid yang termuat dalam POJK Nomor 52/POJK 04/2017 terbilang strategis. OJK menyebut, dinfra dirilis demi mendukung program pemerintah untuk membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur jangka menengah.

RDPT, misalnya, yang ditujukan ke sektor riil baik secara langsung maupun tidak. Maka, karena instrumen seperti RDPT memiliki ruang bermain begitu luas underlying RDPT bisa semakin fleksibel bergerak untuk mempercantik diri sehingga makim menarik di mata pelaku pasar.

Sebut saja, misalnya, RDPT Bandara Kertajati Majalengka, Jawa Barat. Dana yang berhasil dihimpun sebesar 936 miliar untuk membangun fasilitas darat seperti terminal penumpang dan tempat parkir. Skema investasinya, pembeli RDPT akan menjadi salah satu pemegang saham (maksimum 49 persen) PT Bandar Udara Internasional Jawa Barat.

Pilihan

Sementara itu, selain RDPT, KIK Efek Beragunan Aset (KIK EBA) bisa juga menjadi pilihan menarik. KIK EBA untuk infrastruktur, misalnya, dirilis PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya dan PT Jasa Marga Tbk (Persero). Indonesia Power melakukan sekurititasi aset berupa piutang di PT PLN (Persero) dengan nilai total 9,9 triliun. Dananya digunakan anak usaha PLN untuk membangun beberapa pembangkit listrik.

Sedangkan, Jasa Marga melakukan sekuritisasi terhadap jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) senilai 2 triliun untuk membangun proyek jalan tol baru. Jasa Marga melepas pendapatan tol selama lima tahun ke depan, sebagai gantinya aset Jasa Marga bertambah.

Jasa Marga berencana menambah enam ruas tol baru sepanjang 210 kilometer tahun ini. Belanja modal untuk mendanai ekspansi tersebut mencapai 31 triliun. Selain dari penerbitan KIK EBA, operator jalan tol terbesar di Indonesia itu juga mengincar penerbitan surat utang global berdenominasi rupiah sebesar 200 juta-300 juta dollar AS.

Namun, sama halnya dengan RDPT, selama ini KIK EBA lebih banyak digunakan untuk kepentingan non infrastruktur, terutama perbankan. Bank BTN adalah yang paling rajin memanfaatkan KIK EBA dengan melakukan sekuritisasi terhadap tagihan KPR yang mereka miliki.

Lalu bagaimana dengan potensi pasar? Potensi yang bisa dimanfaatkan untuk pendanaan infrastruktur via instrumen ini cukup besar, asal produk yang ditawarkan menarik. Sebut saja industri asuransi jiwa yang memang melakukan investasi dalam jangka panjang. Saat ini total aset industri asuransi jiwa sekitar 500 triliun rupiah. Yang sudah diinvestasikan sekitar 400 triliun rupiah. Dari angka itu, baru 100 triliun rupiah masuk ke reksadana. Aasuransi lebih banyak berinvestasi ke obligasi, saham, dan deposito.

Kondisi serupa juga terjadi di industri keuangan nonbank lainnya. Para pemilik dana seperti dana pensiun (DP) lebih senang menumpuk uang di deposito. Paling banter dana dalam porsi besar ditempatkan di obligasi negara atau saham. Nah, RDPT atau KIK BA memiliki opsi menarik yang tidak terdapat di produk lain. Artinya, kedua instrumen ini seharusnya bisa memberi rasa nyaman dan jaminan keamanan lebih buat untuk investor seperti asuransi jiwa dan DP.

Sebagai perbandingan, selama ini proyek-proyek milik BUMN yang dibundel dalam RDPT ternyata sukses menarik minat pemilik dana. Maka, dinfra diharapkan bisa menjadi penambal kekurangan produk yang sudah lebih dulu ada. Manariknya lagi, produk semacam dinfra bisa memberi fleksibilitas manajer investasi (MI).

Sebut saja dalam RDPT, MI wajib menempatkan dana antara 5 miliar dan 15 miliar rupiah. Besarannya tergantung nilai dana kelolaan RDPT di MI tersebut. Dari segi karakteristik proyek, produk anyar dinfra juga berpotensi memantik minat investor. Sebab, pilihan yang tersedia memang beragam. Dinfra diwajibkan berinvestasi minimal 51 persen di aset infrastruktur.

Di antaranya yang mendukung program pembangunan atau penyediaan infrastruktur pemerintah. Kedua instrumen ini sebenarnya bisa dipatut-patut oleh tim ahli kepala daerah. Pemprov, kabupten atau kota, bisa melakukan komunikasi intens dengan beberapa BUMN yang memiliki potensi untuk menggarap proyek infrastruktur daerah. Kemudian menjajagi penerbitan RDPT atau KIK EBA.

Atau, pula, daerah bisa berbicara tuntas dengan BUMD perbankan. Kemudian menjajagi penerbitan Mid Term Note (MTN) atau KIK Efek Beragun Aset (KPR atau jenis kredit yang prospektif) . Ini terutama yang mayoritasnya nanti untuk pembiayaan project infrastruktur daerah yang bernilai strategis secara bisnis dan untuk kemajuan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar