Senin, 19 Maret 2018

Menata Ulang Sistem Politik

Menata Ulang Sistem Politik
Benny Susetyo  ;   Rohaniwan
                                               KORAN JAKARTA, 13 Maret 2018



                                                           
Maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang terakhir, KPK menyebut ada sejumlah calon peserta pilkada yang sudah 90 persen bakal menjadi tersangka. Maraknya kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK menunjukkan ada yang salah dalam sistem demokrasi bangsa. Demokrasi sebenarnya alat atau sarana mewujudkan partisipasi publik dalam menentukan pemimpin terbaik berdasar pilihan sendiri.

Realitasnya, demokrasi tanpa diimbangi kecerdasan rakyat dan rasionalitas publik menyebabkan kehilangan nalar sehatnya. Di balik semua penangkapan kepala daerah oleh KPK, memperlihatkan bahwa sistem politik perlu dikoreksi bersama . Sebab sistem demokrasi tanpa diimbangi kesadaran publik dan kematangan berpolitik akan menciptakan biaya politik tinggi.

Mahalnya biaya politik karena kelemahan politik, membuat korupsi sebagai jalan pintas mendapat dana merebut kekuasaan. Demi merebut kekuasaan etika moral dikesampingkan. Dia tidak lagi menjadi pegangan utama dalam hidup. Kekuasaan direbut dengan jalan pintas melalui politik uang. Dengan kata lain, langkah ini menjadikan ruang politik sebagai arena perdagangan dengan mengarusutamakan politik transaksional.

Sistem politik seperti demikianlah yang menumbuhsuburkan perilaku korupsi saat mengikuti pilkada, bahkan berlanjut setelah terpilih menjadi kepala daerah. Politik transaksional dengan sendirinya akan membangun ikatan kerja sama antara pemilik modal (pengusaha hitam) dan calon penguasa. Situasi tersebut akhirnya akan menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat, khususnya rakyat kecil.

Politik bukan lagi berorientasi pada pelayanan publik, tapi menjadi benalu negara karena hanya melestarikan kekuasan dengan cara–cara kolutif dan perselingkuhan pengambilan keputusan bersama pemodal. Orientasi pejabat publik akhirnya hanya mempertahankan kekuasan dan memenuhi hasrat pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya daerah.

Pola kekuasaan demikian terjadi karena nilai etika kepantasan publik dalam diri pejabat sudah memudar. Hal ini menjadi persoalan mendasar dan serius yang sedang dihadapai negara. Ketidakjelasan etika publik dalam menjalankan kewajiban sebagai pejabat karena kelemahan sistem politik membuat rakyat kehilangan kepercayaan. Akar semua ini adalah politik transaksional.

Orientasi berpolitik hanya do ut des (saya mendapat apa dalam mengolah kekuasan). Ini membuat politik kehilangan keadaban. Nilai politik sebagai perjuangan mencapai kesejahteran kandas karena dikalahkan pragmatisme. Kekuasaan yang semestinya menjadi alat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, nyatanya diselewengkan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Bangsa mendapat pelajaran utama di mana kekuasaan beserta birokrasi sangat rentan disalahgunakan bila tidak dipegang pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh ingin menciptakan kebaikan negeri.

Medium

Kekuasaan hanyalah medium kejahatan bagi para politikus untuk memperkaya diri. Ironisnya lagi, kekuasaan justru kerap menjadi senjata utama para elite untuk lupa terhadap kewajiban kepada rakyat. Hal ini terus-menerus berlangsung seperti dibiarkan tanpa perbaikan sebagaimana mesti diperjuangkan partai politik. Semoga saja masalah abadi perpolitikan ini bukan karena keterbatasan imajinasi para elite dalam membayangkan peradaban yang sempat jaya di dalam membangun keadaban politik.

Rakyat harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan. Semua harus mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan semesta. Politik untuk membangun Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera. Hal ini akan terwujud bila pejabat publik mengembalikan keadaban politik sebagai sarana menciptakan kesejahteran umum dengan menaati etika. Setiap pejabat mesti bisa menjadi contoh mengelola keuangan negara secara tranparan. Mereka harus bisa dipercaya. Manajemen keuangan harus bisa dipertangungjawabkan.

Kepatuhan etika potret penghayatan sila pertama Pancasila, Ketuhan Yang Maha Esa. Tuhan akan hadir bila setiap insan setia kepada-Nya. Pejabat harus takut Tuhan. Setiap insan yang takut Tuhan pasti nuraninya bergetar ketika akan korupsi dan menyalahgunakan kewenangan. Sebab perbuatan tersebut menghina Tuhan. Etika kepatuhan adalah suara nurani yang tecermin dalam perbuatan.

Mereka tidak melakukan kejahatan karena Tuhan tidak berkenan akan persembahan dari tangan manusia yang kotor. Pengembalian etika kepantasan publik menjadi acuan semua pejabat negara.

Pejabat tidak boleh melawan kepantasan karena itu bertentangan dengan esensi jabatannya. Sayang, yang terjadi, banyak orang berebut jabatan, tanpa mengukur kemampuan diri.

Segala cara dilakukan untuk memperoleh posisi atau menjadi pejabat. Ini termasuk melakukan tindakan tersembunyi yang bertentangan dengan hati nurani. Jabatan dimaknai sebagai kekuasaan, bukan pelayanan. Dalam kondisi itu etika politik tidak berjalan. Etika mestinya menyorot dimensi etis seorang pemimpin yang berani mengambil tanggung jawab atas segala persoalan.

Sorotan tidak lahir dari dimensi kekuasaan yang terlalu besar yang tidak bisa melahirkan sikap ksatria untuk mengakui tidak seharusnya menjalankan tugas itu lagi. Perasaan malu merupakan kepekaan moral utama. Ia seperti radar yang mengendalikan perilaku, meski tanpa aturan tertulis. Tujuannya, agar kadar etika berperilaku di ruang publik sesuai dengan standar kepantasan moral. Bagi seorang pejabat, kepantasan menjadi teladan masyarakat umum.

Teladan pemimpin dan pejabat bisa menjadi tuntunan berperilaku. Bangsa ini senantiasa membutuhkan teladan dari para pejabat dan pemimpin. Masalahnya, banyak pejabat tidak membatinkan Pancasila dalam perbuatan. Mereka tanpa mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam tata kelola pemerintahan. Saatnya kejadian ini menjadi peringatan pejabat. Mereka harus membatinkan etika kepantasan publik dengan menjadikannya landasan sikap dalam berperilaku.

Jika ini tidak menjadi acauan, bangsa telah kehilangan keadaban publik. Saatnya rakyat meninjau kembali sistem politik saat ini dengan mempertimbangkan kembali apakah demokrasi pasar bebas sesuai dengan jiwa dan roh bangsa. Tanpa keberanian merefleksikan sistem demokrasi, persoalan korupsi politik akan terus berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar