Menata
Ulang Sistem Politik
Benny Susetyo ; Rohaniwan
|
KORAN
JAKARTA, 13 Maret 2018
Maraknya
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang
terakhir, KPK menyebut ada sejumlah calon peserta pilkada yang sudah 90
persen bakal menjadi tersangka. Maraknya kepala daerah yang tertangkap tangan
oleh KPK menunjukkan ada yang salah dalam sistem demokrasi bangsa. Demokrasi
sebenarnya alat atau sarana mewujudkan partisipasi publik dalam menentukan
pemimpin terbaik berdasar pilihan sendiri.
Realitasnya,
demokrasi tanpa diimbangi kecerdasan rakyat dan rasionalitas publik
menyebabkan kehilangan nalar sehatnya. Di balik semua penangkapan kepala
daerah oleh KPK, memperlihatkan bahwa sistem politik perlu dikoreksi bersama
. Sebab sistem demokrasi tanpa diimbangi kesadaran publik dan kematangan
berpolitik akan menciptakan biaya politik tinggi.
Mahalnya
biaya politik karena kelemahan politik, membuat korupsi sebagai jalan pintas
mendapat dana merebut kekuasaan. Demi merebut kekuasaan etika moral
dikesampingkan. Dia tidak lagi menjadi pegangan utama dalam hidup. Kekuasaan
direbut dengan jalan pintas melalui politik uang. Dengan kata lain, langkah
ini menjadikan ruang politik sebagai arena perdagangan dengan
mengarusutamakan politik transaksional.
Sistem
politik seperti demikianlah yang menumbuhsuburkan perilaku korupsi saat
mengikuti pilkada, bahkan berlanjut setelah terpilih menjadi kepala daerah.
Politik transaksional dengan sendirinya akan membangun ikatan kerja sama
antara pemilik modal (pengusaha hitam) dan calon penguasa. Situasi tersebut
akhirnya akan menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat,
khususnya rakyat kecil.
Politik
bukan lagi berorientasi pada pelayanan publik, tapi menjadi benalu negara
karena hanya melestarikan kekuasan dengan cara–cara kolutif dan
perselingkuhan pengambilan keputusan bersama pemodal. Orientasi pejabat
publik akhirnya hanya mempertahankan kekuasan dan memenuhi hasrat pemodal
untuk mengeksploitasi sumber daya daerah.
Pola
kekuasaan demikian terjadi karena nilai etika kepantasan publik dalam diri
pejabat sudah memudar. Hal ini menjadi persoalan mendasar dan serius yang
sedang dihadapai negara. Ketidakjelasan etika publik dalam menjalankan
kewajiban sebagai pejabat karena kelemahan sistem politik membuat rakyat
kehilangan kepercayaan. Akar semua ini adalah politik transaksional.
Orientasi
berpolitik hanya do ut des (saya mendapat apa dalam mengolah kekuasan). Ini
membuat politik kehilangan keadaban. Nilai politik sebagai perjuangan
mencapai kesejahteran kandas karena dikalahkan pragmatisme. Kekuasaan yang
semestinya menjadi alat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, nyatanya
diselewengkan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Bangsa
mendapat pelajaran utama di mana kekuasaan beserta birokrasi sangat rentan
disalahgunakan bila tidak dipegang pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh ingin
menciptakan kebaikan negeri.
Medium
Kekuasaan
hanyalah medium kejahatan bagi para politikus untuk memperkaya diri.
Ironisnya lagi, kekuasaan justru kerap menjadi senjata utama para elite untuk
lupa terhadap kewajiban kepada rakyat. Hal ini terus-menerus berlangsung
seperti dibiarkan tanpa perbaikan sebagaimana mesti diperjuangkan partai
politik. Semoga saja masalah abadi perpolitikan ini bukan karena keterbatasan
imajinasi para elite dalam membayangkan peradaban yang sempat jaya di dalam
membangun keadaban politik.
Rakyat
harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan. Semua harus
mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan semesta. Politik
untuk membangun Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera. Hal ini akan
terwujud bila pejabat publik mengembalikan keadaban politik sebagai sarana
menciptakan kesejahteran umum dengan menaati etika. Setiap pejabat mesti bisa
menjadi contoh mengelola keuangan negara secara tranparan. Mereka harus bisa
dipercaya. Manajemen keuangan harus bisa dipertangungjawabkan.
Kepatuhan
etika potret penghayatan sila pertama Pancasila, Ketuhan Yang Maha Esa. Tuhan
akan hadir bila setiap insan setia kepada-Nya. Pejabat harus takut Tuhan.
Setiap insan yang takut Tuhan pasti nuraninya bergetar ketika akan korupsi
dan menyalahgunakan kewenangan. Sebab perbuatan tersebut menghina Tuhan.
Etika kepatuhan adalah suara nurani yang tecermin dalam perbuatan.
Mereka
tidak melakukan kejahatan karena Tuhan tidak berkenan akan persembahan dari
tangan manusia yang kotor. Pengembalian etika kepantasan publik menjadi acuan
semua pejabat negara.
Pejabat
tidak boleh melawan kepantasan karena itu bertentangan dengan esensi
jabatannya. Sayang, yang terjadi, banyak orang berebut jabatan, tanpa
mengukur kemampuan diri.
Segala
cara dilakukan untuk memperoleh posisi atau menjadi pejabat. Ini termasuk melakukan
tindakan tersembunyi yang bertentangan dengan hati nurani. Jabatan dimaknai
sebagai kekuasaan, bukan pelayanan. Dalam kondisi itu etika politik tidak
berjalan. Etika mestinya menyorot dimensi etis seorang pemimpin yang berani
mengambil tanggung jawab atas segala persoalan.
Sorotan
tidak lahir dari dimensi kekuasaan yang terlalu besar yang tidak bisa
melahirkan sikap ksatria untuk mengakui tidak seharusnya menjalankan tugas
itu lagi. Perasaan malu merupakan kepekaan moral utama. Ia seperti radar yang
mengendalikan perilaku, meski tanpa aturan tertulis. Tujuannya, agar kadar
etika berperilaku di ruang publik sesuai dengan standar kepantasan moral.
Bagi seorang pejabat, kepantasan menjadi teladan masyarakat umum.
Teladan
pemimpin dan pejabat bisa menjadi tuntunan berperilaku. Bangsa ini senantiasa
membutuhkan teladan dari para pejabat dan pemimpin. Masalahnya, banyak
pejabat tidak membatinkan Pancasila dalam perbuatan. Mereka tanpa
mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam tata kelola pemerintahan. Saatnya
kejadian ini menjadi peringatan pejabat. Mereka harus membatinkan etika
kepantasan publik dengan menjadikannya landasan sikap dalam berperilaku.
Jika
ini tidak menjadi acauan, bangsa telah kehilangan keadaban publik. Saatnya
rakyat meninjau kembali sistem politik saat ini dengan mempertimbangkan
kembali apakah demokrasi pasar bebas sesuai dengan jiwa dan roh bangsa. Tanpa
keberanian merefleksikan sistem demokrasi, persoalan korupsi politik akan
terus berlangsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar