Sabtu, 18 Januari 2014

Tanda-tanda Zaman

Tanda-tanda Zaman

James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


TANGGAL 8 Januari 2014, harian Kompas menurunkan tulisan hasil survei mengenai tingkat elektabilitas para calon presiden. Ada enam nama yang dimunculkan, yakni Joko Widodo, yang populer disapa Jokowi; Prabowo Subianto; Aburizal Bakrie; Wiranto, Megawati Soekarnoputri; dan Muhammad Jusuf Kalla.

Dalam infografis berjudul ”Sosok Presiden Pilihan Publik” digambarkan pergerakan suara dari Desember 2012, Juli 2013, dan Desember 2013. Jokowi menempati urutan teratas dengan dukungan suara yang terus naik dari 17,7 persen, 32,5 persen, dan terakhir 43,5 persen. Urutan kedua ditempati Prabowo dengan perolehan suara terakhir 11,1 persen. Padahal, Desember 2012, ia meraih 13,3 persen dan Juli 2013 sebanyak 15,1 persen. Aburizal di urutan ketiga dengan perolehan suara yang terus naik dari 5,9 persen, menjadi 8,8 persen, dan terakhir 9,2 persen. Wiranto di urutan keempat dengan suara yang juga terus naik, dari 1,6 persen, menjadi 3,3 persen, dan terakhir 6,3 persen.

Sementara Megawati terus mengalami penurunan, dari 9,3 persen, menjadi 8,0 persen, dan terakhir 6,1 persen. Dan, di urutan terakhir, Kalla yang perolehan suaranya terus turun, dari 6,3 persen, menjadi 4,5 persen, dan terakhir 3,1 persen.
Kalau melihat hasil tiga survei itu, tampaknya dalam survei ketiga, suara Prabowo, Megawati, dan Kalla beralih ke Jokowi. Namun, harus diingat bahwa Jokowi belumlah menjadi calon presiden karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) belum mencalonkan dirinya. Dengan demikian, Prabowo adalah calon presiden yang memperoleh suara tertinggi dalam survei terakhir yang diselenggarakan Kompas.

Survei Kompas itu disambut dengan perasaan yang berbeda-beda di antara para tokoh yang dimunculkan. Ada yang kesal, ada yang gembira, dan ada yang diam saja, atau tidak memberikan reaksi atas survei itu. Namun, hampir semua sependapat untuk menunggu hasil pemilihan umum legislatif dulu, mengingat persentasi kemenangan dalam pemilu legislatif itu sangat menentukan apakah sebuah partai dapat mengajukan calon presidennya sendiri, atau harus berkoalisi dengan partai, atau partai-partai lain.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden mengatur, saat ini, pagu partai untuk mengajukan calon presiden (presidential threshold) adalah memiliki sedikitnya 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat, atau 25 persen suara pemilih. Keadaan akan berubah seandainya UU itu direvisi atau diamandemen karena semua partai dimungkinkan untuk mengajukan calon presidennya sendiri-sendiri.

Bisa bantu perbaiki

Jika mengacu pada UU No 42/2008, yang terbaik bagi sebuah partai adalah meraih suara di atas presidential threshold. Dan, dari survei Kompas tentang ”Pilihan Publik terhadap Partai Politik”, yang dimuat 9 Januari 2014, terlihat PDI-P memiliki peluang untuk meraih suara yang terbanyak, yakni 21,8 persen. Jumlah ini menurun dari perolehan Juli 2012 sebanyak 23,6 persen, tetapi jauh lebih baik daripada Desember 2012 sebanyak 13,3 persen. Urutan kedua ditempati Partai Golkar yang perolehan suaranya terus meningkat dari 15,4 persen, menjadi 16,0 persen, dan terakhir 16,5 persen. Partai Gerindra menempati urutan ketiga dengan perolehan suara terakhir 11,5 persen, turun dari 13,6 persen (Juli 2013), tetapi naik hampir dua kali lipat dari Desember 2012 yang hanya 6,1 persen.

Partai Demokrat berada di urutan keempat dengan perolehan suara yang terus menurun, dari 11,1 persen, menjadi 10,1 persen, dan terakhir 7,2 persen. Partai Nasdem di urutan kelima dengan suara yang terus naik dari 3,5 persen, menjadi 4,1 persen, dan terakhir 6,9 persen. Partai Hanura mengalami peningkatan pesat dari 0,5 persen, menjadi 2,7 persen, dan terakhir 6,6 persen.

Ada anggapan bahwa PDI-P dapat mendongkrak perolehan suara jika partai itu mau mengajukan Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif diselenggarakan. Diharapkan popularitas Jokowi dapat menjadi daya penarik bagi pemilih untuk memberi suara pada PDI-P. Dan, jika PDI-P dapat meraih suara di atas 25 persen, PDI-P dapat mengajukan calon presidennya sendirian. Dalam dua pemilu legislatif terakhir, PDI-P hanya 18,53 persen (2004) dan 14,03 persen (2009).

Namun, ada pula anggapan bahwa tidak bijaksana mengandalkan seorang individu untuk mengatrol suara partai. Pada Pemilu Legislatif 2004, Partai Demokrat hanya meraih 7,45 persen suara. Dengan mengandalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Legislatif 2009, perolehan Demokrat meningkat menjadi 20,85 persen suara. Kini, setelah Presiden Yudhoyono tidak dapat dicalonkan kembali, hasil survei Desember 2013 menyebutkan Demokrat hanya meraih 7,2 persen suara. Namun, menyamakan Demokrat dengan PDI-P tidak relevan, mengingat PDI-P memiliki sejarah yang panjang. Apalagi juga banyak tokoh Partai Demokrat yang terbelit kasus korupsi.

Sebelum Jokowi muncul, Prabowo disebut-sebut sebagai calon presiden yang diunggulkan. Prabowo dianggap sebagai antitesa terhadap Yudhoyono yang dinilai kurang tegas dan lambat dalam bereaksi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat. Partai Gerindra pun seperti mendapatkan amunisi tambahan. Survei terakhir Kompas menyebut, Partai Gerindra menempati urutan ketiga dengan 11,5 persen. Survei internal Partai Gerindra menyebutkan, perolehan suara sekitar 20 persen.

Keadaan berubah ketika nama Jokowi digulirkan. Jokowi yang jadi media darling itu langsung menarik perhatian masyarakat luas. Kesederhanaan dan kemampuannya berkomunikasi dengan masyarakat saat blusukan membuat dia selalu dibela karena dianggap sebagai bagian dari mereka. Kini, terpulang kepada Prabowo, dan tentunya juga Partai Gerindra, mampukah mengembalikan posisi Prabowo seperti sebelum Jokowi muncul….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar