Minggu, 19 Januari 2014

SBY dan Siti Khodijah

SBY dan Siti Khodijah

Usman Hamid  ;  Pendiri Public Virtue dan Change.org Indonesia; Kini sedang menempuh Studi Pasca Sarjana di Australian National University (ANU), Canberra
DETIKNEWS,  16 Januari 2014
                                                                                                                        


Siti Khodijah binti Sangidin dan Khotijah binti Hosen adalah dua pahlawan. Pahlawan devisa. Tapi nasibnya adalah tragedi. Yang pertama koma. Yang kedua tewas. Di tahanan. Bayi berusia tiga dan empat bulan yang belum lama dilahirkannya itu kini tanpa ibu, terlantar dan jauh dari sang bapak. Apa yang bisa dipetik dari pelajaran ini?

Sebelum menghela nafas terakhir, Khotijah menunggu dipulangkan ke Tanah Air. Ia menderita asma dan tinggal sementara di Ambar 20 H, di Tarhil Shumaysi. Saat bayinya menangis tanpa henti, ia dibangunkan teman-temannya yang justru kaget mendapati mulutnya berbusa. Tak ada penjaga. Terkurung di dalam. Karena panik, mereka menggedor jendela dan pintu keamanan. 30 menit kemudian petugas datang dan membawanya ke rumah sakit. Tak tertolong.

Bersama TKI lainnya, dua pahlawan itu berbulan-bulan bertahan hidup di kamp bekas penjara. Lemah. Depresi. Ditahan bukan karena dianggap penghianat. Sebagai TKI, mereka dianggap melebihi masa tinggal di Saudi Arabia. Hanya itu! Sebuah masalah yang sebenarnya tak perlu membuat bayi-bayi suci itu menderita.

Sebagian menilai pemerintah kurang tanggap. Sementara pemerintah merasa sudah menempuh segala cara demi mereka. Dari mulai menyediakan bantuan hukum, keimigrasian, sampai pada perlindungan keamanan. Pemerintah juga memiliki kebijakan termasuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran 2013 lalu. Pemerintah memiliki kelembagaan. Ada Menteri Tenaga Kerja, juga Tim, Satuan Tugas, atau Badan yang pernah didirikan dan dikirimkan pemerintah ke negeri tempat mereka mencari nafkah hidup. Duta-duta besar di sana pun diambil dari kader terbaik partai politik.

Bukan saja demi kewibawaan negara, bangsa, tapi juga membela hak mereka saat menghadapi tuntutan pancung seperti TKW Ruyati. Bahkan demi menjaga hidup yang layak untuk mereka. Lalu kenapa kisah-kisah pahit itu seperti terus berulang?

Akar penyebab utamanya adalah paradigma negara terhadap buruh migran. Disematkannya status pahlawan devisa--bukan pahlawan nasional misalnya--lebih karena mereka dinilai berjasa “mencetak” uang bagi negara. Negara memandang pengiriman buruh migran sebagai industri bisnis, ketimbang apa yang kita bayangkan dari makna “pahlawan.” Irwan Sinaga (2012) mengemukakan temuan sentral seputar hal ini dari disertasinya.

Sinaga melihat posisi negara telah menjadi bagian dari industri migran. Akibatnya, kewajiban negara melindungi buruh migran seperti berkelindan dengan watak industri mencari profit nilai finansial. Kebijakan dan institusi yang ada dan bahkan bertambah, ternyata tidak otomatis memperbaiki nasib buruh migran kita.

Yang menyedihkan adalah ada aktor-aktor yang justru saling bersaing menikmati kepentingan dan keuntungan masing-masing ketimbang benar-benar melindungi buruh migran Indonesia. Di titik inilah terjadi eksploitasi buruh migran. 

Jika demikian masalahnya, apa yang semestinya bisa dilakukan SBY memasuki akhir pemerintahannya? 

Pertama, Presiden SBY perlu memutus rantai industri buruh migran. Ini agar pemerintah netral dari persaingan oknum pejabatnya yang mencari keuntungan di balik pengiriman buruh migran.

Kedua, Presiden SBY perlu lebih serius dalam menerapkan sensitifitas pada komunikasi publik. Langkahnya membuat saluran hotline, SMS, email sampai akun Twitter itu amat positif. Selain surat pengaduan, pertemuan, warga memiliki saluran tambahan untuk menyampaikan aspirasi. 

Media memberitakan situasi ini sejak lama. Presiden SBY juga secara khusus telah dipetisi oleh Thobibuddin melalui www.change.org/RibuanMenungguSBY. Thobib belum putus asa. Ia terus mengajak warga untuk menandatangani petisinya. Jika belum tandatangan, klik saja tautan itu. Setiap tandatangan akan mengirimkan petisi ke kotak email Presiden SBY. Hingga Rabu, 15 Januari, ada 2.000 orang. Itu berarti ada 2000 petisi masuk. 

Atau mungkin ada yang salah? Tuntutannya sederhana: pulangkan TKI overstay ke Tanah Air. Ini sangat mungkin dipenuhi oleh seorang Presiden SBY. Kerajaan Saudi Arabia pasti menaruh hormat pada Presiden, apalagi belum lama ini baru memberi tanda hormat pada seorang rektor perguruan tinggi Indonesia.

Tak mudah hidup menjadi seorang TKI, apalagi TKW. Jauh dari keluarga, tak ada batasan jam kerja yang manusiawi, apalagi libur yang memadai. Dalam suasana kerja demikian, bukan hal baru jika seorang TKW harus bekerja pada dua keluarga besar. Kasus Imas Tati, TKW Kuwait yang mau diperkosa majikannya, tidur di ruang tengah, tanpa kamar khusus. Ia melarikan diri secara nekat: melompat ke luar jendela hanya berbekal ikatan kain. 

Nah, apakah kita harus menunggu kisah-kisah pahit berikutnya? Pulangkanlah mereka, Bapak Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar