Sabtu, 18 Januari 2014

Saat Akil (Makan) “Kemaruk”

Saat Akil (Makan) “Kemaruk”

Biyanto  ;  Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


Seorang kolega yang juga guru besar tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel pernah berseloroh. Ia mengatakan bahwa Akil Mochtar ditangkap basah KPK dalam dugaan kasus suap disebabkan salah nama. Hal itu karena menurut pakar tafsir ini, kata akil dalam bahasa Arab jika dieja dengan huruf alif, kaf, lam, berarti makan atau memakan. 

Berbeda dengan kata ‘aqil dengan ejaan ‘ain, qaf, lam. Kata terakhir ini (‘aqil) berarti orang yang berakal, berpikir, dan bernalar dengan jernih. Saya meyakini, tatkala orang tua memberi nama anaknya dengan kata ‘akil’, sejatinya yang dimaksud adalah ‘aqil. Dengan nama ‘aqil, orang tua pasti menginginkan agar pada saatnya nanti anaknya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas sehingga mampu menggunakan akal pikirannya. Bukankah akal merupakan anugerah terbesar dari Tuhan? 

Bahkan akal pikiran menjadi pembeda yang jelas antara manusia dan hewan. Dengan akal pikiran yang jernih maka seseorang senantiasa akan berhati-hati dalam bertutur kata, bersikap, dan bertindak. Jadi, kata ‘akil’ yang melekat pada nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, semestinya tidak bermakna memakan. Apalagi memakan apa saja yang dapat dimakan. Jadi, Akil Mochtar itu semestinya bukan pemakan apa saja (kemaruk), sehingga tidak peduli halal atau haram. 

Apalagi beliau adalah pejabat tinggi negara yang terhormat. Tetapi jika melihat perkembangan kasus Akil Mochtar tampaknya guyonan guru besar tafsir itu ada benarnya. Akil Mochtar seakan ingin memanfaatkan jabatannya sebagai ketua MK untuk memperkaya diri dan keluarganya dengan jalan yang tidak sah. Tumpukan kasus sengketa dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) telah membuka pikiran jahat Akil. Dengan sangat vulgar, Akil memainkan begitu rupa kasus sengketa yang melibatkan pasangan calon dalam pilkada sebagai mesin uang. 

Tidak tanggung- tanggung, rumah dinas pejabat tinggi negara pun disulap menjadi tempat bisnis keputusan sengketa pilkada. Kesaksian Ketua DPD Partai Golkar Jatim, Zainuddin Amali, yang mengaku pernah dihubungi melalui pesan BlackBerry Messenger (BBM) semakin menunjukkan belang Akil. Melalui komunikasi BBM, dengan tanpa tedeng aling-aling, Akil minta disiapkan uang Rp10 miliar untuk menjamin kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dalam pemilihan gubernur Jatim. Kebetulan saat itu pesaing terkuat Karsa, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman S. Sumawiredja, mengajukan gugatan di MK. 

Untungnya permintaan itu tidak digubris pasangan Karsa hingga Akil ditangkap penyidik komisi pemberantasan korupsi (KPK) di rumah dinasnya pada 2 Oktober 2013. Jika semua yang dipersangkakan KPK benar maka dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan Akil dari bisnis keputusan MK. Hal itu karena tumpukan kasus sengketa pilkada di Tanah Air sungguh luar biasa. Hingga dapat dipahami kalau Akil tidak memiliki tempat yang layak untuk menyimpan uang. 

Uang Akil pun disimpan di ruang karaoke, kompleks perumahan dinas MK. Mantan Ketua MK Mahfud MD pun menyamakan perilaku Akil dengan Presiden Tunisia Ben Ali yang menyimpan uang di ruang perpustakaan (SINDO, 14 Januari 2014). Sebagai pejabat tinggi negara, Akil sejatinya sudah banyak memperoleh fasilitas seperti gaji tinggi, mobil mewah, rumah dinas, dan sejumlah tunjangan. Jika tidak terlalu banyak makan dan berpolah, penghasilan Akil sebagai pejabat tinggi negara sudah lebih dari cukup untuk menikmati hidup. 

Tetapi tabiat kekuasaan memang selalu menghadirkan godaan. Penguasa yang tahan menghadapi godaan pasti akan selamat. Sebaliknya, yang tidak tahan godaan pasti akan tergelincir. Akil termasuk pejabat yang tidak tahan godaan. Karena itulah Ibnu Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1989), mengingatkan bahwa kekuasaan itu jika tidak dijalankan dengan amanah pasti akan membawa kerusakan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tabiat kekuasaan itu selalu menghendaki berada di satu tangan (the royal authority, by its very nature, must claim all glory for it self). 

Tabiat kekuasaan juga selalu menghendaki kemewahan (the royal authority, by its very nature, requires luxury). Sedangkan kemewahan pada saatnya merusak akhlak pejabat dan menyebabkan kehancuran negara. Peringatan senada juga dikemukakan Lord Acton tatkala menulis surat pada Bishop Mandell Creighten. Dalam surat itu, Acton menulis ungkapan yang terkenal hingga kini, yakni Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Orang yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya). 

Peringatan Ibnu Khaldun dan Acton layak dijadikan pengingat bagi pemegang kekuasaan agar tidak salah jalan. Tingkah polah Akil memang mengundang emosi publik. Bukan saja orang awam yang kecewa. Mahfud MD juga dibuat berang. Akibat perilaku Akil, kewibawaan MK seakan runtuh. MK terus menjadi pergunjingan publik. Mereka yang pernah beperkara di MK bahkan menuntut agar putusan kasus sengketa pilkada yang melibatkan Akil dibuka kembali. 

KPK pun terus menyelidiki modus kejahatan Akil. Hasilnya sungguh luar biasa. Akil diketahui memiliki harta kekayaan yang melimpah berupa rumah, kendaraan, uang, dan properti lainnya. Semua properti Akil disita KPK karena diduga diperoleh dari jalan yang tidak benar. Kasus yang menimpa Akil harus menjadi pelajaran bagi pejabat publik di negeri ini. Bahwa siapa pun yang bermainmain dengan kekuasaan pasti akan berhadapan dengan aparat. 

Apalagi jika kekuasaan itu diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Siapa pun yang menjabat harus menyadari bahwa jabatan itu adalah amanah. Amanah berupa kekuasaan pasti silih berganti, datang dan pergi (Alquran Surat Ali ‘Imran: 26). Itulah hukum yang telah ditetapkan Tuhan. Tidak mungkin seseorang akan menjabat dan berkuasa terus-menerus. Karena itu, pejabat harus menggunakan kesempatan saat menjabat dengan bekerja sepenuh hati. Hal ini penting agar saat turun dari tahta, seorang pejabat tidak memiliki persoalan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar