Presiden,
Kabinet, dan Birokrasi
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia,
Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM
|
KORAN
SINDO, 31 Desember 2013
Kabinet adalah lembaga pendukung kerja presiden. Berbeda dengan
kabinet dalam sistem pemerintahan parlementer, para menteri dalam kabinet
dalam sistem presidensial tidak mempunyai posisi rangkap sebagai anggota
parlemen.
Di Amerika Serikat (AS), presiden cenderung semakin bebas menentukan personel kabinet dan penasihat kepresidenan – bebas dari tekanan politik. Dikalkulasi pada kurun waktu 1861–1896, 37% menteri kabinet berasal dari Kongres. Persentase tersebut menurun menjadi hanya 15% pada 1941–1963. Mayoritas anggota kabinet berasal dari universitas, pengusaha, dan ahli hukum. Pengalaman AS, pembentukan kabinet mempunyai limafungsi strategis:( 1) membalas jasa pendukung utama presiden; (2) membangun dukungan dari kelompok yang sebelumnya tidak mendukung, atau bahkan mantan lawan politik; (3) membangun dukungan dari Kongres; (4) memperkuat jejaring dukungan dari kelompok kunci (key racial groups). Semua presiden masa AS modern mengangkat minimal satu orang menteri dari African Americandan perempuan; dan (5) mengonsolidasi lingkaran dalam tim kepresidenan. Kabinet adalah struktur inti pemerintahan yang terdiri atas departemen dan dikepalai oleh seorang menteri, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh presiden – terkadang dengan pertimbangan dari parlemen. Sejarah kabinet AS dimulai sejak Presiden pertama George Washington. Ketika Kongres pertama kala itu membentuk Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Pertahanan, serta Kantor Kejaksaan Agung, Washington memilih para menteri untuk memimpin masingmasing departemen tersebut. Dalam perkembangannya, beberapa komisi eksekutif (executive agencies) seperti direktur CIA dan direktur Office of Management and Budget diklasifikasikan pula sebagai bagian dari kabinet. Beberapa pengisian pimpinan departemen di kabinet AS harus mendapatkan konfirmasi dari Senat. Meski demikian, faktor penentu terpilihnya seseorang menjadi menteri adalah sama baik di Indonesia maupun AS yaitu anggota partai sang presiden, anggota tim kampanye presiden, dan profesional. Di era kekinian faktor lain yang memengaruhi pemilihan adalah representasi wilayah. Di AS menteri dalam negeri biasanya berasal dari wilayah barat. Serupa dengan pasti ada menteri dari Papua dalam kabinet Indonesia mutakhir. Termasuk faktor teranyar dalam penentuan kabinet adalah representasi gender dan etnis. Dari mula sejarah kabinet, hingga pemerintahan George W Bush, ada 18 perempuan, 12 Amerika keturunan Afrika, 5 Hispanics, dan 2 orang Amerika keturunan Asia yang telah masuk ke jajaran anggota kabinet (Gina Misiroglu, 2003). Dalam struktur kepresidenan AS, departemen adalah bagian dari cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan federal yang paling nyata. Di awal sejarahnya, hanya ada tiga departemen: luar negeri, keuangan, dan pertahanan dengan hanya beberapa ratus orang pegawai. Dalam perkembangannya jumlah departemen dan pegawainya terus bertambah. Di samping departemen, pemerintahan federal juga mencakup beberapa komisi eksekutif seperti Central of Intelligence Agency, Environmental Protection Agency, termasuk pula komisi yang langsung berada dalam kantor kepresidenan presiden seperti Council of Economic Advisors dan National Security Council. Hingga pemerintahan George W Bush ada 14 departemen yang pembentukannya harus berdasarkan undang-undang. Berbeda dengan komisi eksekutif yang dapat dibentuk dengan baju hukum selain undang-undang. Pembentukan departemen bukan hak prerogatif presiden. Umumnya, departemen ataupun komisi negara dibentuk atas perintah undang-undang yang telah disetujui Kongres. Kewenangan presiden untuk mengisi hampir 600 jabatan yang ada di departemen, komisi negara independen, serta komisi negara lainnya pun harus dengan persetujuan Senat. Di antara posisi strategis tersebut, 276 adalah jabatan di kabinet dan 286 adalah jabatan di komisi independen dan komisi negara lainnya (Lester G Seligman dan Cary R Covington, 1989). Pada masa Presiden Ronald Reagan, George Bush, dan Bill Clinton, birokrasi federal dilangsingkan dan direstrukturisasi bahkan sempat tidak dijalankan untuk sementara waktu. Semua itu karena mulai gemuk dan tambunnya birokrasi yang menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya. Salah satu persoalan birokrasi yang berkait kepresidenan adalah masa transisi setelah terpilih presiden baru. Berkait dengan masa transisi demikian, pada masa Presiden Bill Clinton telah diundangkan Undang-Undang Transisi Kepresidenan (Presidential Transition Act of 2000) yang mengatur agar proses transisi antarpresiden berjalan lebih mulus. Untuk melakukan kontrol birokrasi, ada tiga strategi yang dapat diterapkan yaitu presidentializing birokrasi dengan menempatkan pendukung-pendukung utama sang presiden pada posisi top eselon cabang kekuasaan eksekutif, pengawasan kerja oleh White House kepada komisi-komisi eksekutif, serta pembentukan struktur organisasi di dalam White House yang membantu prioritas kerja presiden. Kabinet dalam sistem pemerintahan AS lebih terikat dengan kebijakan presiden. Kabinet yang solid sekalipun bahkan tidak dapat melawan keinginan presiden. Kendati demikian, bukan berarti presiden berjalan sendiri tanpa melakukan konsultasi pengambilan kebijakan dengan para menterinya. Dengan konsep demikian, kabinet bukanlah lembaga pengemban tanggung jawab. Pertanggungjawaban tetap melekat pada presiden. Di Tanah Air relasi antara presiden, kabinet, dan birokrasi berubah seiring dengan konsepsi ketatanegaraan yang paling tidak dapat dibagi dalam empat masa: awal kemerdekaan (1945–1959), Orde Lama (1959–1966), Orde Baru (1966–1998), dan Era Reformasi (1988–sekarang). Terlalu panjang jika kita menguraikan semua. Namun, di era terakhir terlihat bagaimana presiden lebih dibatasi untuk mengatur dan mengontrol kabinet dan birokrasinya. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal kabinet diatur dengan lebih jelas dalam UU Kementerian Negara. Jenis dan karakteristik kementerian dipertegas, demikian pula syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian menteri. Untuk birokrasi, baru saja DPR dan pemerintah menyetujui UU Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ini pijakan yang sangat penting untuk membangun birokrasi yang bergeser dari zona nyaman ke zona kompetisi. Kompetensi menjadi faktor utama untuk seorang aparatur mendapatkan posisi karena prestasi, bukan semata karena koneksi apalagi kolusi. Kompetisi ditegaskan misalnya dengan mekanisme penempatan yang mengadopsi tender terbuka secara nasional, tidak terbatas hanya unit organisasi, lembaga atau kementerian tertentu. UU ASN jelas mendorong terbentuk aparatur negara yang lebih profesional, berintegritas, dan dijauhkan dari politisasi birokrasi. Tidak dapat dinafikan bahwa desentralisasi yang berpadu dengan pemilihan kepala daerah langsung menyebabkan jabatan birokrasi terimbas dengan kemenangan dan kekalahan seorang kandidat gubernur, bupati, atau wali kota. Birokrat yang tidak mendukung kandidat yang menang dipastikan akan bergeser, demikian pula sebaliknya. Modal birokrasi yang demikian di satu sisi terlihat wajar karena pemenang membawa gerbongnya, namun di sisi lain merusak birokrasi yang harusnya berbasis kompetensi dan tidak terjebak pada pertarungan politik. Demikianlah sedikit paparan terkait relasi presiden dengan kabinet dan birokrasi. Suatu relasi yang sangat penting untuk berjalan roda pemerintahan. Relasi mana yang pasti juga dipengaruhi konfigurasi politik misalnya koalisi. Pada kesempatan lain akan kami uraikan relasi presiden dan koalisi tersebut. Relasi apa pun semua tentu dengan niatan untuk Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar