Minggu, 19 Januari 2014

Politik Tanpa Partai Politik

Politik Tanpa Partai Politik

Ridwansyah Yusuf Achmad  ;  Pemerhati Ekonomi Politik
DETIKNEWS,  05 Januari 2014
                                                                                                                        


Setelah 15 tahun reformasi dan dua kali pemilu langsung, Indonesia kini memasuki babak baru dalam dinamika politiknya. Indonesia kini tidak lagi menjadi pemain baru dalam pentas demokrasi dunia, melainkan telah memiliki karakter tersendiri yang menarik untuk diamati perkembangannya. Perubahan ini terbentuk akibat peran media yang dominan, masyarakat yang semakin terbuka akan informasi, dan arus post-modernisasi hasil dari globalisasi yang makin deras di kalangan pemilih. 

Perubahan kentara di kalangan pemilih adalah lebih menonjolnya ketertarikan pemilih terhadap tokoh ketimbang partai politik (parpol). Tokoh yang inspiratif lebih mampu menarik perhatian pemilih dalam memenangkan pemilu, baik di daerah maupun nasional. Publik bahkan tidak peduli dari parpol mana tokoh yang ia idolakan. Selama tokoh tersebut memenuhi kriteria pemimpin yang ia harapkan, maka pemilih akan menyandarkan apsirasi kepadanya. Jokowi, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, atau Tri Rismaharini merupakan contoh tokoh tanpa diasosiasikan kepada parpol. Meski Anies Baswedan mengikuti konvensi demokrat, bukan berarti penggemarnya langsung mengatakan dia bagian dari Partai Demokrat yang kini sedang gonjang-ganjing. Atau pun sebutlah, sebagai perumpamaan- PDIP ikut terseret kasus korupsi, tapi popularitas Jokowi dan Tri Rismaharini terlihat tidak terganggu. Bahkan saya yakin, Ridwan Kamil pun masih diidentifikasikan sebagai tokoh independen dalam pemilu Walikota Bandung lalu. 

Fenomena ini cukup menarik, mengingat sejatinya politik Indonesia terdiri dari parpol, yang diharapkan mampu menampung aspirasi publik untuk kemudian disuarakan di parlemen dan dieksekusi di dalam pemerintahan. Ironisnya, parpol justru dinilai sebagai pembusuk politik dan demokrasi Indonesia itu sendiri. Beberapa indikasi dari penilaian ini dapat terlihat dari lemahnya sistem kaderisasi parpol, tidak jelasnya ideologi/gagasan yang diusung parpol, banyaknya politisi parpol yang terlibat kasus korupsi, dan kurang giatnya parpol dalam menggalang aspirasi publik hingga ke pelosok. Gagalnya parpol menjalankan amanatnya sebagai institusi politik membuat publik kecewa dan sulit menggantungkan harapan padanya. 

Pada tingkat pemilihan legislatif pun fenomena serupa terjadi. Calon legislatif hanya menjadikan parpol sebagai syarat administratif agar bisa melaju ke parlemen, ibaratnya, mereka menunggangi parpol. Calon tersebut memang sudah memiliki basis masa, parpol hanya memfasilitasi pendaftaran calon legislatif tanpa adanya dukungan materi dan penyamaan nilai yang diusung. Akibatnya, para calon legislatif berjuang sendiri atas nama sendiri dan akhirnya ia pun berusaha untuk menutup kebutuhan materi yang telah dikeluarkan setelah terpilih sebagai anggota parlemen. 

Saya menilai, hilangnya peran sentral parpol dalam mengkader anggotanya, melahirkan tokoh berbasis ideologi, dan sebagai penyalur aspirasi publik, menjadi tanda-tanda kemunduran kualitas politik dan demokrasi Indonesia. Hilangnya fungsi parpol ini dapat berdampak negatif terhadap tiga hal bagi perkembangan politik Indonesia. Pertama, pemilih akan lebih mengedepankan aspek visual dan kesukaan ketimbang isi dan gagasan dalam menentukan calon yang akan dipilih. Akibatnya, diskursus tentang bagaimana Indonesia ke depan akan semakin melemah. Kedua, parpol hanya sebatas administrator dan fasilitator dalam politik Indonesia. Akibatnya, tokoh populer atau pemilik modal besar sangat mudah menunggangi parpol untuk kepentingan individualnya. Ketiga, hilangnya wadah untuk mengasah negarawan muda masa depan bangsa. Tanpa kaderisasi parpol yang terintegrasi dan berintegritas, sulit rasanya ada alternatif untuk para calon pemimpin Indonesia ke depan mendidik kapasitas politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar