Jumat, 17 Januari 2014

Pembangunan Nasional yang Merakyat

Pembangunan Nasional yang Merakyat

Eko Budihardjo  ;  Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan;
Ketua Komisi Budaya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
KOMPAS,  17 Januari 2014
                                                                                                                        


”Harimau mati meninggalkan belang / Wakil rakyat mati meninggalkan Undang-Undang / Pengusaha hitam mati meninggalkan utang / Rakyat jelata mati tinggal tulang belulang”     Gurindam Taufiq Ismail

KUTIPAN gurindam karya Taufiq Ismail di atas menggambarkan potret pembangunan nasional di Tanah Air kita dewasa ini.

Kendati angka statistik yang disajikan pemerintah menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia kian turun, kenyataan di beberapa daerah menunjukkan masyarakat miskin justru makin meningkat. Kesenjangan ekonomi pun kian melebar.

Mahbub ul Haq dalam bukunya yang fenomenal, Tahafut Al Falasifah, menuding dengan tohokan yang pedas. Bahwa, ”salah satu dosa para pemimpin di negara sedang berkembang adalah permainan angka-angka.”

Begitu parahnya angka-angka statistik dipermainkan demi kepentingan politik, sampai-sampai ada yang membandingkannya dengan logistik. ”Logistik itu tidak pernah statis, sedangkan statistik tidak pernah logis,” kata mereka yang kritis dan sinis.

Kalimat ”pemerataan pembangunan nasional” sudah sering disebut berulang kali sejak pemerintahan Orde Baru, tetapi fakta di lapangan berkata lain. Kesenjangan terasa bukan hanya antara Jawa dan luar Jawa, antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, serta antara pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. 
Juga yang amat mencolok adalah antara kota dan desa, antara pusat dan pinggiran. Bahkan juga antara upah/honor/gaji para pegawai rendahan dan gaji atasannya.

Kiranya, sudah saatnya slogan ”Pemerataan Pembangunan Nasional” diganti dengan ”Pembangunan Nasional yang Merakyat”, dan diupayakan sungguh-sungguh agar betul-betul diimplementasikan. Artinya, ia tidak berhenti sekadar sebagai slogan kosong belaka.

”Centremania”

Salah satu upaya yang wajib diterapkan dalam pemerataan pembangunan nasional adalah mencegah kecenderungan yang lazim disebut dengan centremania. Apabila disimak yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, tampak jelas betapa pemerintah dan swasta sangat gencar membangun di pusat pemerintahan, pusat kota, pusat bisnis: pokoknya yang serba pusat.

Memang kawasan pusat itu jelas amat strategis, lengkap dengan segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Namun, dampak negatif yang langsung terlihat adalah meroketnya kesenjangan pertumbuhan antara pusat dan kawasan pinggiran. Kesumpekan, kesemrawutan, kepadatan berlebihan, kemacetan terjadi dan kian meningkat di kawasan pusat kota.

Karena kebanyakan para petinggi kota Jakarta pada masa silam mengidap sindrom centremania, segala macam fungsi kota diemban Jakarta tanpa kecuali: pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat bisnis, pusat perindustrian, pusat perbelanjaan.

Hanya pusat-pusat permukiman dan perumahan yang disebar ke daerah-daerah belakangnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tak bisa dihindari: permukiman dan kota baru di seputar Jakarta lebih berfungsi sebagai bedroom community, sedangkan segala macam lapangan kerja dan fasilitas perkotaan tetap menumpuk di Jakarta.

Akibatnya, jika diibaratkan sebagai manusia, kota Jakarta sudah mengidap obesitas alias kegemukan berlebihan sehingga sangat lamban untuk bergerak. Bahkan ada yang berani memprediksi bahwa lima tahun mendatang Jakarta akan macet total.

Pada masa depan sangat dianjurkan agar kecenderungan centremania diubah total dengan konsep pembangunan yang disebut polycentric development, atau multiple centre development, dengan fokus pada aneka ragam pusat pertumbuhan yang tersebar di pelosok Nusantara.

Pola pembangunan nasional yang tak merakyat, tidak merata, dan tidak berpihak kepada masyarakat miskin—dengan akibat ketimpangan antardaerah dan antara kota dan desa—itu terutama disebabkan keserakahan para petinggi dan penentu kebijakan yang kurang peka melihat kesengsaraan mayoritas rakyatnya.

Padahal, sudah cukup lama dikumandangkan kaidah pembangunan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, melestarikan keseimbangan lingkungan, demi pertumbuhan nasional yang sehat. Jadi, ke depan, kaidah pembangunan nasional mesti lebih fokus berpihak kepada masyarakat miskin.

Tanpa ada perubahan sikap, mental, dan moral para tokoh elite di puncak kekuasaan yang selama ini tampak bergelimang nafsu duniawi, serakah, dan tamak, pemerataan pembangunan nasional hanya akan tetap tinggal sebagai mimpi, yang tak akan pernah terejawantahkan.

”10 Perintah Tuhan”

Pembangunan nasional yang merakyat dan betul-betul berpihak kepada masyarakat miskin sesungguhnya salah satu amanah penting demi keberlanjutan pembangunan nasional.

Saya dan Prof Djoko Soejarto dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah bersama-sama menulis buku Kota Berkelanjutan (2009) dan merumuskan 10 prinsip pembangunan berkelanjutan. Kesepuluh prinsip yang dapat disebut The Ten Commandments on Sustainable Development itu adalah,  pertama, equity,  yaitu kesetaraan alias pemerataan aset dan akses pembangunan, baik secara geografis maupun demografis. Kedua, environment, yaitu keserasian lingkungan atau keseimbangan ekologis. Ketiga, employment atau tersedianya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, baik di sektor formal maupun informal.

Keempat, empowerment atau pemberdayaan segenap lapisan masyarakat tanpa kecuali. Kelima, engagement, yaitu pelibatan pihak swasta atau dunia usaha dalam pembangunan. Keenam, enforcement atau penegakan hukum, yang dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu. Ketujuh, enjoyment, yakni agar rakyat merasa nyaman dan betah tinggal di lokasi masing-masing, di kota ataupun di desa.

Kedelapan, energy conservation atau hemat energi dengan prinsip ramah lingkungan sesuai dengan gerakan hijau. Kesembilan, ethics of development  atau etika dalam pembangunan, menghindari aneka jenis egoisme yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Kesepuluh, esthetics atau keindahan lingkungan untuk menciptakan rasa tempat, sense of place atau genius loci.

Apabila ”10 Perintah Tuhan” menyangkut pembangunan berkelanjutan tersebut betul-betul dijadikan landasan dalam pembangunan nasional, gagasan  pembangunan nasional yang merakyat dan berpihak kepada masyarakat miskin diharapkan akan segera menjadi kenyataan.

Dalam bidang perkotaan, Bappenas sudah merumuskan dalam draf Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional tentang seluk-beluk keberlanjutan perkotaan di Tanah Air. Ini sudah merupakan salah satu langkah maju, yang seyogianya dikembangkan lebih luas dalam aras pembangunan nasional secara makro.

Kiranya perlu direnungkan pesan Nelson Mandela (alm) yang dikutip majalah Time edisi 23 Desember 2013, ”Kemiskinan itu tak alamiah, melainkan buatan manusia, jadi bisa diatasi asal ada kemauan politik yang kuat. Diawali oleh elite tertinggi pemerintah pusat, diikuti oleh jajaran di bawahnya, dan didukung penuh oleh masyarakat luas.”  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar