Musuh Kita Bersama
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 24 Januari 2014
Ini tahun yang sangat penting. Pertama, karena
pada 9 April nanti kita kembali memilih para calon wakil rakyat untuk duduk
di DPR, DPD, dan DPRD periode 2014-2019. Kedua, pada 9 Juli, kita juga
akan kembali memilih calon presiden dan calon wakil presiden baru untuk lima
tahun ke depan.
Terkait itu, ada beberapa musuh kita bersama
yang mengancam di depan mata. Pertama, money politics. Ini harus menjadi
kewaspadaan kita bersama. Banyak di antara mereka terpilih menjadi caleg
karena membayar sejumlah uang yang relatif besar.
Pada masa kampanye ini mereka juga harus
mengeluarkan uang untuk membiayai kerja-kerja sosialisasi diri ke publik.
Belum lagi nanti pada hari “H” dan hari-hari penghitungan suara, mereka juga
harus mengongkosi saksi-saksi agar jumlah suara yang berhasil diraih tak
dicuri atau dipindahkan orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Inilah demokrasi “biaya tinggi”. Atas dasar
itu, mudah diprediksi bahwa ratusan orang di DPR dan DPD, serta ribuan orang
di DPRD itu niscaya menjadi politikus yang berharap kelak mendapat
reimbursement politik yang besarnya minimal sama dengan pengeluaran
sebelumnya. “Balik modal”, itu istilahnya. Malah kalau bisa dapat profit.
Nah, bukankah di sana celah-celah korupsi terbuka lebar-lebar?
Inilah demokrasi Indonesia yang rawan korupsi.
Jika di setiap periode selalu saja tercatat sumber korupsi terbesar berasal
dari parlemen, demokrasi Indonesia layak disebut “demokrasi beku” (frozen democracy). Bagaimana mungkin
wakil rakyat yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi rakyat justru
mengkhianati kepercayaan rakyat?
George Sorensen (1993) menggambarkannya
sebagai kondisi masyarakat, ketika sistem politik demokrasi yang sedang
bersemi lambat-laun berubah menjadi layu karena menghadapi banyak kendala.
Demokratisasi mengalami pembusukan akibat
ketidakmampuan rezim yang berkuasa menggulirkan perubahan sosial, politik dan
ekonomi yang mendasar sesuai tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut
kepentingan dan perbaikan nasib rakyat miskin. Bagaimana mungkin nasib rakyat
miskin diperbaiki jika uang negara dari dan untuk rakyat dicuri terus?
Di sisi lain demokrasi seperti itu juga layak
disebut “demokrasi kriminal” lantaran prosedur dan prosesnya di sana-sini
dibajak kekuatan uang.
Terjadi banyak pelanggaran hukum, namun sulit
diproses dan dikenakan sanksi menurut undang-undang yang ada. Inilah
demokrasi yang pincang, tak seiring sejalan dengan penegakan hukum, yang
seiring waktu niscaya berujung pada terjadinya “demokrasi beku”.
Musuh yang kedua adalah intoleransi. Aneh
sekali. Indonesia adalah bangsa yang sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, bahkan
sejak Sumpah Pemuda 1928, sudah menggelorakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang bermakna “berbeda-beda tapi tetap satu”. Tapi mengapa di usia yang sudah
hampir mencapai 70 tahun ini jalinan kebersatuan kita malah kian banyak
terkoyak di sana-sini?
Terkait itu, organisasi pemerhati demokrasi
dan hak asasi manusia Setara Institute mencatat terjadinya perluasan
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2013. Berdasarkan
pemantauan mereka, telah terjadi 222 peristiwa dan 292 tindakan pelanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan pada tahun itu.
“Dalam satu peristiwa
kebebasan beragama/berkeyakinan, kami menemukan sejumlah tindakan. Sebagai
contoh ketika ada protes terhadap masjid Ahmadiyah, kami melihat tidak
sekadar protes, tetapi ada perusakan properti, inimidasi, bahkan
kadang-kadang ada kekerasan fisik. Karena itu kami kategorikan itu sebagai
tindakan. Itu sebabnya mengapa selalu ada perbedaan antara peristiwa dan
tindakan,” kata Wakil Direktur Setara, Bonar Tigor Naipospos.
Dari 292 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan, terdapat 117 tindakan yang melibatkan para
penyelenggara negara sebagai aktor. Tindakan itu meliputi tindakan langsung,
pembiaran, dan peraturan diskriminatif, termasuk pernyataan pejabat publik
yang provokatif dan memicu terjadinya kekerasan.
Sebelumnya, menanggapi pidato Presiden SBY
pada acara Perayaan Natal Nasional 27 Desember lalu, Ketua DPP Partai Amanat
Nasional (PAN), Bara Hasibuan meminta presiden tak hanya beretorika mengenai
perwujudan toleransi di negara ini. Presiden selaku kepala pemerintahan dan
kepala negara harus bekerja konkret untuk menumbuhkan sikap toleransi di
negara ini. Tanpa kerja nyata, apa yang disampaikan hanya pepesan kosong.
“Memang
betul, untuk menciptakan kerukunan, kita tidak hanya tergantung pada negara.
Elemen masyarakat dan pemuka agama memiliki peran penting dalam mewujudkan
kerukunan itu. Tapi ada hal-hal yang hanya bisa dikerjakan pemerintah seperti
penegakan hukum dan perlindungan terhadap setiap golongan,” ujar Bara.
Pada era SBY, masalah kebebasan beragama,
beribadah, dan menggunakan rumah ibadah memang kerap terjadi. Tak heran jika
pada pada Maret 2011, 27 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) mengirim surat
kepada Presiden SBY terkait masalah yang dihadapi oleh Jamaah Ahmadiyah
Indonesia (JAI).
Mereka menyatakan prihatin melihat eskalasi
kekerasan yang dialami komunitas JAI di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6
Februari 2011. Setahun kemudian Indonesia kembali menjadi sorotan sejumlah
negara dalam Sidang Universal Periodical
Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei 2012.
Tercatat pada 2004-2010 ada sekitar 2.442
gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (belum
termasuk rumah ibadah umat lain semisal JAI). Jumlah itu bertambah lagi
setiap tahunnya. Tapi herannya, SBY tetap percaya diri ketika menerima World Stateman Award dari Appeal of Concience Foundation (ACF)
di Amerika Serikat, karena dinilai berhasil menciptakan perdamaian, toleransi
beragama, dan demokrasi.
Padahal, jika dihadapkan dengan kenyataan di
dalam negeri, penghargaan itu dinilai sebagai ironi besar. Namun, SBY seakan
tak peduli. Ia tetap pergi ke negeri Paman Sam untuk menerima penghargaan
internasional itu, 27 Mei 2013.
Itulah presiden pilihan rakyat langsung dengan
perolehan suara lebih dari 60 persen. Herannya, modal politik sebesar
itu, ditambah latar belakangnya sebagai Jenderal TNI bintang empat, tak
membuatnya tampil meyakinkan sebagai seorang pemimpin yang berani dan tegas.
Kepemimpinannya yang lebih mendepankan
pencitraan daripada tindakan konkret yang sarat risiko selama ini, membuat
kita dapat meyakini masalah intoleransi 2014 tak bakal banyak berubah. Kunci
untuk mengatasi persoalan ini adalah ketegasan dan keberanian pemimpin untuk
menghadapi kelompok-kelompok intoleran yang suka main hakim sendiri.
SBY sebagai presiden akan berlalu. Tapi
secara resmi ia baru akan meletakkan jabatannya pada Oktober nanti. Artinya,
hanya tersisa waktu dua bulan bagi pemimpin baru nanti untuk bekerja sampai
berakhirnya tahun ini. Itu berarti, lembaran 2014 masih akan diwarnai dengan
catatan kelam tentang intoleransi.
Tapi yang penting tahun-tahun berikutnya ada
harapan akan perubahan yang signifikan. Kita tak boleh salah memilih pemimpin
nanti.
Kita harus belajar dari pengalaman pada 2009
agar tak mudah terpesona dengan pencitraan atau impresi-impresi artifisial.
Yang penting rekam jejaknya yang bagus selama ini dan karakternya yang
bercocokan dengan kriteria “pemimpin pelayan”. Itulah sosok pemimpin yang
bersama dengan kita akan menghadapi musuh-musuh bersama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar