Maulid
dan Moral Literacy
Abdul Mu’ti ; Sekretaris PP Muhammadiyah
Dosen IAIN Walisongo, Semarang
|
KORAN
SINDO, 14 Januari 2014
Muhammad adalah seorang nabi yang begitu dicintai dan dihormati
para pengikutnya. Beribu puisi, lagu, dan buku tentang biografi, kerinduan,
dan kemuliaan Nabi Muhammad digubah oleh para budayawan dan cendekiawan.
Goethe, seorang pujangga Jerman yang termasyhur, juga menulis karya sastra dan drama yang mengisahkan keluhuran Nabi Allah Muhammad SAW. Di kalangan kaum muslim, kecintaan kepada Nabi Muhammad tidak hanya diekspresikan dengan karya-karya seni, tetapi juga perayaan hari kelahirannya. Di Indonesia dan beberapa negeri muslim, perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid) ditandai dengan beragam ritual dan festival. Vali, seorang darwisyTurki, sebagaimana dikutip Schimmel (2012: 210), menyebut malam kelahiran Nabi Muhammad serupa dengan Lailatulkadar. Termaktub di dalam Surat al-Qadar (97), Lailatulkadar lebih utama dari seribu bulan. Ibn Ammar, seorang mufti Mazhab Maliki dari Aljazair mengemukakan tiga argumen yang memperkuat Vali. Pertama, maulid telah mempersembahkan Nabi Muhammad kepada seluruh dunia, sementara Lailatulkadar dikhususkan baginya. Kedua, karena Nabi Muhammad lebih tinggi dari para malaikat, kehadiran Nabi Muhammad lebih penting bagi umat ketimbang “turun para malaikat”. Ketiga, maulid adalah hari yang sangat penting bagi semesta alam, sementara Alquran dikhususkan bagi kaum muslim (Schimmel, 2012: 210). Tentu tidak semua muslim bersetuju dengan Vali dan Ibn Ammar. Rabitah Alam Islami mengharamkan perayaan maulid. Organisasi yang berbasis di Arab Saudi ini menyebut perayaan maulid sebagai perbuatan bidah. Beberapa kalangan bahkan berpendapat biografi Nabi Muhammad dan syair-syair yang memujinya secara berlebihan adalah kultus individu yang menjurus syirik. Di Indonesia maulid adalah hari libur nasional. Ini menunjukkan bahwa maulid adalah tradisi keagamaan dan kenegaraan. KH Mas Mansur (1986), seorang mantan ketua Muhammadiyah, memperbolehkan peringatan maulid sebagai sarana dakwah dan tarbiyah (pendidikan) agar umat muslim meneladani kemuliaan akhlak Rasulullah Muhammad SAW. Moral Illiteracy Betapa pentingnya makna kelahiran dan kehadiran Nabi Muhammad dapat terlihat jelas dari moralitas masyarakat sebelum kelahirannya dan setelah kematiannya. Masyarakat sebelum kelahiran Nabi Muhammad disebut masa jahiliah. Secara bahasa kata jahiliah diambil dari kata jahil yang berarti bodoh. Lawan katanya alim yang berarti berilmu. Dalam konteks ini, jahil berarti masyarakat yang bodoh, tidak berilmu. Dari mimbar-mimbar ceramah, para mubalig mengatakan bahwa masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang tunaaksara, tidak bisa membaca dan menulis. Inilah faktor utama yang menyebabkan kebodohan masyarakat (knowledge illiteracy). Knowledge illiteracy hanyalah sebagian ciri masyarakat jahiliah. Ciri yang paling utama adalah tunaaksara moral (moral illiteracy). MM Azami dalam Studies in the Early Hadith Literature menyebutkan bahwa masyarakat Arab bukanlah sepenuhnya bodoh. Kaum elite Arab begitu melek huruf, mahir membaca dan menulis. Masyarakat Arab mampu menggubah syair-syair yang bernilai sastra tinggi. Setiap tahun diselenggarakan festival sastra. Karya pemenang digantung di dinding Kakbah. Masyarakat Arab adalah pebisnis hebat yang berbisnis sampai ke mancanegara. Kaum elite menguasai ekonomi dan hidup bermegah-megahan di tengah kemiskinan dan kebodohan masyarakat. Masyarakat Arab pra-Islam disebut jahiliah lebih karena moralitasnya yang rusak. Di dalam Alquran, kata jahiliah empat kali disebut. Semua itu lebih menunjukkan kebodohan perilaku ketimbang kebodohan ilmu (lack of knowledge). Mereka diperbudak nafsu berkuasa yang menyebabkannya memperbudak sesama manusia. Berahi yang meraja membuat mereka haus akan wanita dan memperlakukannya dengan sangat nista. Kegilaan dengan gemerlap harta membuat mereka alpa menolong sesama, kikir, memonopoli kekayaan, curang dalam berdagang, dan korup. Dengan ilmunya, para elite membodohi kaum jelata dan menenggelamkannya dalam kepapaan. Kekuatan kapital harta dan status sosial adalah modal utama meraih kekuasaan dan takhta. Demi supremasi kelompok, masyarakat jahiliah gemar berperang dan tega saling membunuh. Dalam waktu hanya 23 tahun, Nabi Muhammad mampu mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang ilmiah. Nabi Muhammad berhasil mengubah masyarakat barbarian menjadi kaum yang berkeadaban. Esposito (1991) menyebut kesabaran, kebersahajaan, kejujuran, ketulusan, keteguhan, dan tanggung jawabnya yang tidak terkira adalah kunci keberhasilan perjuangannya. Membangun Akhlak Maulid adalah momentum kebangkitan akhlak. Peringatan maulid adalah momentum menghidupkan kembali akhlak Nabi Muhammad. Sebagaimana disebutkan di dalam Hadits, misi utama yang dibawa Nabi Muhammad adalah menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak Nabi, sebagaimana dijelaskan Aisyah RA, istri Rasulullah, adalah Alquran. Menurut Fazlurrahman (1987), pesan utama Alquran adalah moralitas. Ibadah di dalam Islam tidak akan sempurna jika tidak membuahkan akhlak dalam kehidupan. Problem kebangsaan sekarang bukanlah tunaaksara ilmu. Masyarakat kita sudah melek huruf. Masalah umat bukanlah kurang ilmu agama. Pengajian, majelis taklim, dan mimbar agama membuat umat melek ilmu agama. Akar semua masalah dan keruwetan adalah ilmu yang tidak diamalkan. Inilah sebab menjerumuskan bangsa dalam lembah jahiliah modern. Dalam beberapa hal, bangsa ini lebih jahiliah daripada bangsa jahiliah prakelahiran Nabi Muhammad. Dalam situasi kebangsaan Indonesia, maulid menjadi sangat bermakna. Di tengah korupsi yang menggurita, kekerasan yang merajalela, feodalisme yang mengemuka, rasa malu yang nyaris sirna, dan ketamakan yang membuana, maulid menjadi tonggak yang begitu penting. Betapa indahnya jika satu hari libur dijadikan sebagai titik awal bagi kaum muslim menghadirkan akhlak Muhammad dalam kehidupan umat. Alangkah dahsyat jika 12 Rabiulawal dijadikan sebagai tonggak untuk tidak lagi meneguk dan menenggak makanan dan minuman buah korupsi. Salawat yang disenandungkan selama maulid adalah kumandang kemanusiaan di mana umat semakin mencintai dan menghormati sesama, menerima mereka yang berbeda dengan jiwa besar, serta mengulurkan tangan bagi mereka yang berkekurangan. Nabi Muhammad berkuasa bukan dengan menindas sesama, mulia bukan dengan gemerlap harta, ternama dengan pencitraan raga, melainkan dengan teladan akhlaknya. Nabi Muhammad membangun peradaban dan memimpin masyarakat dengan kekuatan akhlaknya. Keluhuran akhlak adalah modal agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Sebagaimana syair Syauqi Bek: suatu bangsa akan jaya jika berakhlak mulia; suatu bangsa akan binasa jika akhlaknya sirna. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar