Sabtu, 18 Januari 2014

Kemiskinan dan Kemerdekaan Akses Informasi

Kemiskinan dan Kemerdekaan Akses Informasi

Ilham Prisgunanto  ;  Dosen Program Studi Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur
MEDIA INDONESIA,  18 Januari 2014
                                                                                                                       


MELEK internet (internet literate) merupakan masalah serius dan akan berimbas pada kehidupan manusia dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya. Melek internet diprediksikan akan menjadi jurang pemisah generasi muda dengan yang tua, dan akan terjadi pergeseran terhadap pendiskriminasian terhadap mereka yang kurang mahir dalam menggunakannya. Prediksi kesenjangan sosial itu ada dan disebutkan banyak literatur teknologi informasi yang membahas kedatangan gelombang generasi 3.0 yang sudah ada saat ini. Namun, kemiskinan menjadi masalah utama kehidupan manusia saat ini dalam peradaban teknologi informasi.

Kemiskinan merupakan musuh yang perlu diperangi dengan serius. Kemiskinan merupakan faktor penyebab terjadinya ancaman disintegrasi bangsa, buruknya tingkat kesehatan dan keterpurukan identitas budaya, lambannya perkembangan ekonomi, serta rendahnya kesadaran hukum dan penyimpangan dalam pemerintahan. Kritik Reinhard Bendix yang dijelaskan dalam teori modernisasi menyebutkan gerak pembangunan dan modernisasi tidak selalu memajukan bangsa, malah sebaliknya memunculkan kemiskinan, kemelaratan, bahkan pemusnahan bangsa. Ia mencontohkannya dalam kasus-kasus di negara Afrika, seperti Ethiopia (Suwarsono, 1994:50).

Resep ampuh

Dengan demikian, jelas bahwa kemiskinan tidak akan muncul dari tidak mau berkembangnya suatu bangsa, malah sebaliknya karena imbas modernisasi dalam upaya mengikuti standar suatu bangsa mengikuti tren dunia saat ini. Negara berkembang akan terseret oleh modernisasi dunia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Maka benarlah pendapat yang menyebutkan bahwa mereka yang tidak mengikuti perkembangan dunia dan modernisasi akan tergilas oleh derap langkah kemajuan teknologi. Resep ampuh melawan penyakit kemiskinan ialah pengetahuan memadai yang dalam arti sesungguhnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutlak perlu guna beradaptasi dan bertahan hidup. Pola itu sesuai dengan kritik Inkeles dengan konsepsi manusia modern yang mutlak syarat utamanya adalah pendidikan (Ibid, 30).

Karena itu, pendidikan merupakan kunci utama manusia keluar dari kemiskinan. Alokasi anggaran dan pengembangan pendidikan nasional menunjukkan seberapa serius negara mengurusi pengurangan kemiskinan. Ketika pemerintah saat ini mengalihkan subsidi dari menghilangkan subsidi BBM ke pengembangan pendidikan, itu merupakan bukti nyata keseriusan negara dalam upaya menghapuskan kemiskinan. Sayangnya, masih adanya praktik komersialisasi pendidikan yang menyebabkan proses pengurangan kemiskinan terhambat. Sesuai dengan seleksi alam, manusia yang tersingkir karena komersialisasi mengharapkan lebih pada media massa, internet, dan perpustakaan yang dianggap mampu menggantikan guru dan dosen yang mahal untuk hadir di bangku sekolah dan kampus.

Fenomena yang ada di lapangan ternyata berbeda, semua sarana tersebut ternyata masih kurang memadai dan jauh dari yang diharapkan. Berapa media massa yang serius berbicara tentang alih teknologi dan pengembangan pengetahuan dalam bahasa yang populer? Bukti nyata, banyak majalah yang semula serius pada bidang itu bangkrut dan program tayangan televisi berubah menjadi infotainment karena kalah bersaing dalam perolehan rating pemirsa. Kondisi sedemikian disebabkan media massa perlu biaya dalam operasi kerja di era globalisasi informasi sekarang. Artinya semua informasi sudah dikomodifikasi dan dikomersialisasikan demi perolehan untung (Straubhaar, 2004:267).

Bayangkan harga buku sekarang ini mencapai Rp40 ribu-Rp100 ribu, cukup mahal bukan? Sebaliknya, biaya mengakses internet sekitar Rp7.000-Rp10 ribu per jam dan cukup waktu mengunduh literatur lengkap bentuk e-book. Jadi memang tidak murah untuk mendapatkan informasi di era digital sekarang. Bagaimana dengan si miskin yang mengeluarkan uang segitu hanya untuk mendapatkan informasi? Begitu menyedihkan bahwa di sebagian masyarakat kita masih saja ada yang tersisihkan di tengah ingarbingar perang informasi dan kemajuan teknologi informasi digital.

Berdayakan perpustakaan

Bagaimana dengan perpustakaan dan pusat dokumentasi? Apakah bisa menjadi solusi pemecahan masalah tersebut? Dalam kondisi perkembangan perpustakaan yang menyedihkan saat ini, hal itu dapat dianggap sebagai pemecahan yang pesimistis dan utopis. Bayangkan berapa banyak mahasiswa yang putus sekolah hanya karena tidak dapat membeli literatur dan mendapat informasi untuk bahan penelitian tugas akhir. Banyak perpustakaan perguruan tinggi yang tidak memiliki akses informasi penting untuk pemenuhan keperluan sivitas akademikanya.

Alhasil, banyak mahasiswa yang menunggu uluran tangan kakak kelas (senior) untuk mendapat bahan bacaan yang bagi mereka penting. Tak mengherankan bila mahasiswa yang punya jaringan luas (network) itu akan lebih banyak mendapat informasi. Perpustakaan perguruan tinggi bagi mahasiswa sekadar gedung pajangan yang mentereng untuk menghiasi menara gading intelektual gengsi saja tapi nihil koleksi. Banyak mahasiswa sekarang sudah larut dalam dunia politik praktis, dan bosan mengkritisi pengembangan pendidikan. Jelas dapat dikatakan bahwa dalam strata sosial masyarakat, pihak yang paling miskin dalam informasi adalah para mahasiswa yang mengaku sebagai kaum intelektual. Mereka semakin terpuruk dalam pemenuhan informasi, bukti nyatanya terlihat banyak mahasiswa yang mudah diprovokasi sehingga bersikap subjektif. Padahal, mereka tidak tahu akan kasus dan permasalahan itu.

Bagaimana dengan perpustakaan umum? Jangankan untuk menggunakan fasilitas yang ada, sekadar datang ke perpustakaan saja warga enggan. Masalah jam buka yang tidak sesuai, koleksi yang minim, dan sarana rusak merupakan jawaban klasik dari pengunjung. Apalagi dengan petugas perpustakaan yang galak dan acuh tak acuh sehingga menambah panjang rentetan keengganan orang untuk datang. Perpustakaan gudang buku, berdebu, dan tidak nyaman adalah gambaran negatif yang ada (Sulistyo Basuki, 1992).

Masih berlaku hukum siapa berkantong tebal berarti dia kaya informasi, sebaliknya yang miskin akan tergilas. Salah sendiri kenapa mau miskin? Demikianlah jawaban miring terhadap kemiskinan informasi. Dengan demikian, jelas kemiskinan informasi lebih menakutkan daripada apa pun. Mereka bisa membuat orang terasing, mudah tersinggung, emosi, dan jadi biang konflik. Apakah masyarakat Indonesia memang sedemikian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar