Kemiskinan
dan Kemerdekaan Akses Informasi
Ilham Prisgunanto ; Dosen
Program Studi Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Januari 2014
MELEK internet (internet literate) merupakan masalah serius dan akan berimbas
pada kehidupan manusia dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya. Melek
internet diprediksikan akan menjadi jurang pemisah generasi muda dengan yang
tua, dan akan terjadi pergeseran terhadap pendiskriminasian terhadap mereka
yang kurang mahir dalam menggunakannya. Prediksi kesenjangan sosial itu ada
dan disebutkan banyak literatur teknologi informasi yang membahas kedatangan
gelombang generasi 3.0 yang sudah ada saat ini. Namun, kemiskinan menjadi masalah
utama kehidupan manusia saat ini dalam peradaban teknologi informasi.
Kemiskinan merupakan musuh yang
perlu diperangi dengan serius. Kemiskinan merupakan faktor penyebab
terjadinya ancaman disintegrasi bangsa,
buruknya tingkat kesehatan dan keterpurukan identitas budaya, lambannya
perkembangan ekonomi, serta rendahnya kesadaran hukum dan penyimpangan dalam
pemerintahan. Kritik Reinhard Bendix yang dijelaskan dalam teori modernisasi
menyebutkan gerak pembangunan dan modernisasi tidak selalu memajukan bangsa,
malah sebaliknya memunculkan kemiskinan, kemelaratan, bahkan pemusnahan
bangsa. Ia mencontohkannya dalam kasus-kasus di negara Afrika, seperti
Ethiopia (Suwarsono, 1994:50).
Resep ampuh
Dengan
demikian, jelas bahwa kemiskinan tidak akan muncul dari tidak mau
berkembangnya suatu bangsa, malah sebaliknya karena imbas modernisasi dalam
upaya mengikuti standar suatu bangsa mengikuti tren dunia saat ini. Negara
berkembang akan terseret oleh modernisasi dunia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa. Maka benarlah pendapat yang menyebutkan bahwa mereka
yang tidak mengikuti perkembangan dunia dan modernisasi akan tergilas oleh
derap langkah kemajuan teknologi. Resep ampuh melawan penyakit kemiskinan
ialah pengetahuan memadai yang dalam arti sesungguhnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi mutlak perlu guna beradaptasi dan bertahan hidup.
Pola itu sesuai dengan kritik Inkeles dengan konsepsi manusia modern yang
mutlak syarat utamanya adalah pendidikan (Ibid, 30).
Karena itu, pendidikan merupakan
kunci utama manusia keluar dari kemiskinan. Alokasi anggaran dan pengembangan
pendidikan nasional menunjukkan seberapa serius negara mengurusi pengurangan
kemiskinan. Ketika pemerintah saat ini mengalihkan subsidi dari menghilangkan
subsidi BBM ke pengembangan pendidikan, itu
merupakan bukti nyata keseriusan negara dalam upaya menghapuskan kemiskinan.
Sayangnya, masih adanya praktik komersialisasi pendidikan yang menyebabkan
proses pengurangan kemiskinan terhambat. Sesuai dengan seleksi alam, manusia
yang tersingkir karena komersialisasi mengharapkan lebih pada media massa,
internet, dan perpustakaan yang dianggap mampu menggantikan guru dan dosen
yang mahal untuk hadir di bangku sekolah dan kampus.
Fenomena yang
ada di lapangan ternyata berbeda, semua sarana tersebut ternyata masih kurang
memadai dan jauh dari yang diharapkan. Berapa media massa yang serius
berbicara tentang alih teknologi dan pengembangan pengetahuan dalam bahasa
yang populer? Bukti nyata, banyak majalah yang semula serius pada bidang itu
bangkrut dan program tayangan televisi berubah menjadi infotainment karena
kalah bersaing dalam perolehan rating pemirsa. Kondisi sedemikian disebabkan
media massa perlu biaya dalam operasi kerja di era globalisasi informasi sekarang.
Artinya semua informasi sudah dikomodifikasi dan dikomersialisasikan demi
perolehan untung (Straubhaar, 2004:267).
Bayangkan harga buku sekarang ini
mencapai Rp40 ribu-Rp100 ribu, cukup mahal bukan? Sebaliknya, biaya mengakses
internet sekitar Rp7.000-Rp10 ribu per jam dan cukup waktu mengunduh
literatur lengkap bentuk e-book. Jadi memang tidak murah untuk mendapatkan
informasi di era digital sekarang. Bagaimana dengan si miskin yang
mengeluarkan uang segitu hanya untuk mendapatkan informasi? Begitu
menyedihkan bahwa di sebagian masyarakat kita masih saja ada yang tersisihkan
di tengah ingarbingar perang informasi dan kemajuan teknologi informasi
digital.
Berdayakan
perpustakaan
Bagaimana dengan perpustakaan dan
pusat dokumentasi? Apakah bisa menjadi solusi pemecahan masalah tersebut?
Dalam kondisi perkembangan perpustakaan yang menyedihkan saat ini, hal itu
dapat dianggap sebagai pemecahan yang pesimistis dan utopis. Bayangkan berapa
banyak mahasiswa yang putus sekolah hanya karena tidak dapat membeli
literatur dan mendapat informasi untuk bahan penelitian tugas akhir. Banyak
perpustakaan perguruan tinggi yang tidak memiliki akses informasi penting
untuk pemenuhan keperluan sivitas akademikanya.
Alhasil, banyak mahasiswa yang
menunggu uluran tangan kakak kelas (senior) untuk mendapat bahan bacaan yang
bagi mereka penting. Tak mengherankan bila mahasiswa yang punya jaringan luas
(network) itu akan lebih banyak mendapat informasi. Perpustakaan perguruan
tinggi bagi mahasiswa sekadar gedung pajangan yang mentereng untuk menghiasi
menara gading intelektual gengsi saja tapi nihil koleksi. Banyak mahasiswa
sekarang sudah larut dalam dunia politik praktis, dan bosan mengkritisi
pengembangan pendidikan. Jelas dapat dikatakan bahwa dalam strata sosial masyarakat,
pihak yang paling miskin dalam informasi adalah para mahasiswa yang mengaku
sebagai kaum intelektual. Mereka semakin terpuruk dalam pemenuhan informasi,
bukti nyatanya terlihat banyak mahasiswa yang mudah diprovokasi sehingga
bersikap subjektif. Padahal, mereka tidak tahu akan kasus dan permasalahan
itu.
Bagaimana dengan perpustakaan
umum? Jangankan untuk menggunakan fasilitas yang ada, sekadar datang ke
perpustakaan saja warga enggan. Masalah jam buka yang tidak sesuai, koleksi
yang minim, dan sarana rusak merupakan jawaban klasik dari pengunjung.
Apalagi dengan petugas perpustakaan yang galak dan acuh tak acuh sehingga
menambah panjang rentetan keengganan orang untuk datang. Perpustakaan gudang
buku, berdebu, dan tidak nyaman adalah gambaran negatif yang ada (Sulistyo Basuki, 1992).
Masih berlaku hukum siapa berkantong tebal berarti dia
kaya informasi, sebaliknya yang miskin akan tergilas. Salah sendiri kenapa
mau miskin? Demikianlah jawaban miring terhadap kemiskinan informasi. Dengan
demikian, jelas kemiskinan informasi lebih menakutkan daripada apa pun.
Mereka bisa membuat orang terasing, mudah tersinggung, emosi, dan jadi biang
konflik. Apakah masyarakat Indonesia memang sedemikian? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar