Senin, 06 Januari 2014

Kekeliruan Strategi Reformasi Birokrasi

                   Kekeliruan Strategi Reformasi Birokrasi

Roby Arya Brata  ;   Analis Antikorupsi dan Kebijakan Publik
TEMPO.CO,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


Selain memenuhi tuntutan dan amanat gerakan reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance), reformasi birokrasi merupakan suatu keniscayaan untuk menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan reformasi birokrasi, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 telah menetapkan suatu kerangka kebijakan dan strategi implementasi reformasi birokrasi.

Meski demikian, pelaksanaan program-program reformasi birokrasi ternyata kurang berhasil mencapai sasaran-sasaran jangka menengah (periode 2010-2014) untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan akuntabilitas kinerja pemerintah. Berbagai indikator mengindikasikan rendahnya kinerja dan efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi.  Karena itu, permasalahan kebijakan yang hendak dipecahkan dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan akselerasi dan efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian dan lembaga (K/L). 

Kebijakan reformasi birokrasi didesain untuk menggapai visi "Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia". Makna visi tersebut adalah mewujudkan pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21. 

Dalam road map reformasi birokrasi periode 2010-2014 telah ditetapkan tiga sasaran jangka menengah dan indikator keberhasilan reformasi birokrasi. Sasaran pertama, terwujudnya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; kedua, terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat; serta ketiga, meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. 

Pencapaian ketiga sasaran tersebut diukur dengan menggunakan berbagai indikator. Sasaran I menggunakan indikator indeks persepsi korupsi (IPK) dan opini BPK (wajar tanpa pengecualian/WTP), sasaran II memakai indikator integritas pelayanan publik dan peringkat kemudahan berusaha, serta sasaran III menggunakan indikator indeks efektivitas pemerintahan dan instansi pemerintah yang akuntabel (SAKIP).

Sejauh ini pencapaian ketiga sasaran tersebut kurang memuaskan, sebagaimana ditunjukkan oleh pencapaian target-target indikator. IPK Indonesia pada 2013, misalnya, hanya mencapai skor 32 dari target 50 pada tahun ini (2014). Dalam hal opini BPK, dari laporan keuangan 92 K/L tahun 2012 yang sudah diperiksa, 68 sudah mendapatkan opini WTP. Meskipun jumlah opini WTP naik dibanding pada 2011 (67 K/L), secara persentase mengalami penurunan sebanyak 3 persen (sebelumnya 77 persen). Target WTP untuk K/L pusat pada 2014 adalah 80 persen.

Tanpa kerja keras, target skor integritas pelayanan publik K/L pusat tahun 2014 sebesar 8,0 ada kemungkinan juga akan sulit tercapai. Tahun ini skor itu baru mencapai 7,37 dari baseline 6,64 pada 2009. Target peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) pada peringkat 75 pada 2014 juga kecil kemungkinan untuk dicapai. Pada 2013, peringkat Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia itu hanya 128 dari 185 negara yang disurvei. 

Selain itu, target skor indeks efektivitas pemerintahan pada 2014 sebesar 0,5 juga akan sulit dicapai. Pada 2012, skor itu hanya -0,29 (dari skala -2,5 sampai +2,5). Meski demikian, kita masih bisa berharap pada pencapaian target indikator akuntabilitas instansi pemerintah tahun 2014 sebesar 100 persen. Untuk K/L, pada 2012, target itu telah mencapai 95,06 persen.

Pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang menyebabkan perlambatan dan kekurangefektifan reformasi birokrasi K/L. Pertama, faktor penyeragaman strategi kebijakan dan pelaksanaan reformasi birokrasi. Misalnya, strategi tersebut terlalu menekankan pada penyeragaman kebijakan yang prosedural yang bersifat top-down, tanpa  mempertimbangkan kondisi spesifik pada struktur implementasi reformasi birokrasi di lapangan (street level).

Kedua, faktor birokratisasi reformasi birokrasi. Dalam banyak kasus, pemenuhan dokumen reformasi birokrasi menjadi prioritas utama reformasi birokrasi, bukan pencapaian sasaran-sasaran reformasi yang bersifat substansial.  Tujuan dan target reformasi birokrasi menjadi salah arah. Karena itu, untuk meningkatkan akselerasi dan efektivitas implementasi reformasi birokrasi, pemerintah hendaknya lebih membebaskan K/L melakukan inovasi-inovasi dan kreativitas dalam perumusan strategi kebijakan serta pelaksanaan reformasi birokrasi. 

Pemerintah jangan memaksa mereka menyeragamkan strategi dan pendekatan reformasi birokrasi yang sama yang bersifat top-down, dengan tidak mempertimbangkan permasalahan dan kondisi governance yang spesifik dari masing-masing K/L tersebut (one size fits all). Pemerintah tidak boleh menggunakan "obat" yang sama untuk penyakit-penyakit yang berbeda. Tugas fungsi dan core business instansi yang berbeda memerlukan penanganan dan strategi reformasi birokrasi yang berbeda-beda pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar