Elpiji,
Relasi Warga dan Negara
Wijanto Hadipuro ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB)
Unika
Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 Januari 2014
"Apakah
pada zaman ini masih ada layanan publik dari negara tanpa memperhitungkan
untung atau rugi?"
PERTAMINA merugi Rp 7,7 triliun dari bisnis
penjualan elpiji mulai periode Januari 2011 sampai Oktober 2012. Berita itu
jelas bukan biasa melainkan merupakan penegasan bahwa hubungan yang semula
antara warga negara dan negara telah berubah menjadi hubungan antara konsumen
dan perusahaan.
Jika kita sepakat bahwa elpiji merupakan
salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup banyak orang maka
menyediakan elpiji bagi warga negara sejatinya merupakan bagian dari kontrak
sosial antara warga negara dan negaranya. Analoginya, para orang tua selalu
menyediakan kebutuhan bagi tumbuh kembang anak mereka.
Orang tua tidak pernah menghitung berapa
harga makanan yang disiapkan untuk anak, termasuk tidak pernah
memperhitungkan apakah untung atau rugi menyediakan jenis makanan tertentu
untuk anak. Kebobrokan dan kebangkrutan negara membawa kita pada arus
korporatisasi layanan publik. Layanan publik yang semula dilakukan oleh
aparatus pemerintah di bawah satu kementerian tertentu kini diserahkan kepada
perusahaan yang dibentuk khusus.
Evolusi ini tampak jelas dari perubahan
layanan jasa kereta api. Semula layanan ini dikelola oleh jawatan di bawah
Departemen Perhubungan, kemudian berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api
(Perumka), dan akhirnya menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Jiwa layanan
jasa seperti itu juga terjadi pada PDAM, PLN, perguruan tinggi negeri,
termasuk Pertamina. Jiwanya adalah karena saat dikelola sebagai bagian dari
kementerian/dinas, pengelolaannya bobrok dan karena pemerintah (bukan negara)
tidak lagi bersedia mengalokasikan dana dari APBN/D maka seluruh layanan
publik itu lantas satu demi satu dikorporatisasi, dijadikan sebagai
perusahaan.
Bahkan bila diperlukan karena alasan
efisiensi dan kekurangan modal, layanan publik itu diserahkan kepada
korporasi swasta. Sebagai korporasi, nilai-nilai yang dianut pun berubah,
bukan lagi memberikan layanan terbaik untuk warga negara melainkan untuk
menjadi efisien dan berdaya saing tinggi. Ketika nilai-nilai itu yang dianut
maka ketika korporasi layanan publik memberikan jasa terbaik, jika perlu di
bawah harga keekonomian maka korporasi akan dinilai tidak efisien dan merugi.
Apakah pada zaman ini masih ada layanan
publik yang disediakan negara tanpa memperhitungkan untung rugi? Tentu saja
ada. Lihat saja ke negara tetangga kita, Singapura. Layanan air bersih
diberikan tanpa perhitungan untung dan rugi. Air bersih dianggap sebagai
fasilitas yang harus diberikan negara kepada warga negaranya, dengan biaya
berapa pun.
Salah satu dokumen kebijakan air Bank Dunia
merumuskan dengan baik tentang sebuah konsep yang disebut merit goods. Barang yang termasuk
kategori ini adalah barang yang konsumsi yang dilakukan individu akan membawa
manfaat melebihi manfaat yang diperoleh individu bersangkutan.
Listrik, misalnya. Konsumsi listrik oleh
seorang pelajar melebihi manfaat yang diperoleh pelajar tersebut dari nilai
mata pelajaran yang diperoleh. Melalui listrik, kita sedang membangun sebuah
bangsa berdasarkan pendidikan yang baik. Demikian juga air. Tentunya air
untuk kolam renang pribadi tidak termasuk dalam kategori ini.
Merit goods layak dimasukkan ke dalam
kategori memenuhi hajat hidup banyak orang. Kategori barang semacam ini
selamestinya disediakan dengan jumlah memadai dan dengan kualitas terbaik,
pun tanpa memperhitungkan untung dan rugi.
Definisi
Ulang
Setelah hajat hidup orang banyak
didefinisikan ulang maka selanjutnya bagaimana pemerintah memaknai kata
''dikuasai'' dalam Pasal 33 UUD 1945 hasil amendemen keempat? Dikuasai harus
diartikan sebagai bertanggung jawab dan berkomitmen menyediakan. Tanggung
jawab dan komitmen ini ditunjukkan lewat kewajiban untuk menyediakan layanan
publik tersebut, atau public service obligation (PSO). Tarif kereta api kelas
ekonomi, dan air bersih untuk kebutuhan minimal sehari-hari, merupakan contoh
di mana pemerintah harus bertanggung jawab dan berkomitmen menyediakannya.
Jika sudah terlanjur dikorporatisasi maka
PSO bisa diwujudkan dalam bentuk subsidi dari pemerintah kepada korporasi dan
subsidi itu diambil dari APBN/D. Melalui mekanisme ini tidak akan ada lagi
kata Pertamina, PT KAI, atau PDAM merugi karena menyediakan layanan publik
yang berkualitas dan dengan jumlah mencukupi. Jika layanan angkutan masal
publik dianggap sebagai hajat hidup orang banyak maka tidak perlu ada
perdebatan subsidi diberikan kepada perusahaan pengelolanya, meskipun
perusahaan pengelolanya korporasi swasta, seperti bus rapid transport di
Semarang.
Gonjang-ganjing kenaikan harga elpiji 12
kilogram selayaknya diikuti pembahasan bermutu tentang pendefinisian ulang
hajat hidup banyak orang. Termasuk mekanisme supaya tidak lagi ada kata atau
istilah merugi dalam pemberian layanan publik yang berkualitas, berkait hajat
hidup tersebut. Lewat cara itu, kita, sebagai warga negara, tetap bisa
mempertahankan relasi dengan negara. Pasalnya, kita bukanlah konsumen yang
membeli jasa layanan publik yang disediakan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar