Selasa, 21 Januari 2014

Akar Banjir Jakarta

Akar Banjir Jakarta

M Rokhis Khomarudin   ;   Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana,
Pusat Pemanfaatan Pengindraan Jauh Lapan
KORAN JAKARTA,  21 Januari 2014
                                                                                                                       


Setiap kali DKI Jakarta banjir, hujan yang disalahkan. Padahal, hujan juga suatu rahmat dan biasa turun pada saat musim hujan. Di wilayah tropis, hujan besar itu biasa. Lalu, kenapa selalu hujan yang disalahkan? Memang, banjir terjadi karena adanya air. Tetapi toh itu memang sudah alamiah bahwa hujan turun pada saat memang harus turun. 

Bagaimana dengan perubahan iklim, seperti bisa dilihat pada banjir Jakarta dari tahun ke tahun. Sebenarnya, banjir Jakarta sudah terjadi sejak tahun 1600-an.
Kejadian tahun 2007 merupakan banjir terbesar dalam tiga abad terakhir. Luasan daerah banjir Jakarta meningkat karena letak geografis Jakarta dengan 13 sungai. Selain itu, 40 persen wilayah Jakarta di dataran rendah yang sebagian besar elevasinya di bawah permukaan laut. 

Penurunan muka tanah (land subsidence) karena pemanfaatan air tanah yang tidak terkontrol, tambahan permukiman, dan bangunan tinggi. Dari pengindraan jauh tahun 2007-2008, penurunan muka tanah Jakarta berkisar antara 0,011 m (1,1 cm) hingga 0,27 m (27 cm) pertahun. 

Penurunan muka tanah ini akan menyebabkan daerah rawan banjir di DKI Jakarta meluas. Ada juga perubahan lahan dari tahun ke tahun. Dari tahun 2007 hingga 2013 penambahan lahan untuk bangunan sekitar 20 persen. 

Untuk mengatasi banjir Jakarta harus dilihat tiga prosesnya. Pertama, hujan besar di hulu tidak dapat diserap tanah karena alih fungsi lahan hutan menjadi permukiman atau lahan terbuka lainnya. Jadinya, air mengalir menuju sungai dan menyebabkan debit tinggi, mengalir dari hulu ke hilir. 

Tambah lagi, sungai-sungai di daerah hilir menyempit karena penambahan permukiman sehingga air sungai tidak tertampung, meluap, dan terjadi banjir. Kedua, hujan Jakarta dengan intensitas lama dan tinggi karena permukaan tanah terdiri dari lahan terbangun dengan sistem drainase buruk sehingga tanah tak dapat menyerap sehingga banjir. Ketiga, luapan air laut.

Untuk problem pertama, debit sungai hasil hujan harus dikurangi dan tidak sampai menggenangi wilayah DKI Jakarta. Caranya, reboisasi di wilayah hulu sehingga air hujan terserap, tidak lari ke sungai. Mengurangi debit sungai dengan membangun danau atau embung-embung. 

Hanya saja, memperbaiki wilayah hulu yang sudah banyak vila tidak mudah. Pembuatan danau atau embung memerlukan kajian komprehensif agar efektif menampung air dan juga dapat dimanfaatkan lebih lanjut seperti pariwisata.
Penentuan lokasi harus tepat. Cara terakhir, normalisasi sungai  hilir, tengah, dan hulu agar air mengalir normal, tidak meluap. Hanya, tidak mudah karena banyak warga Jakarta tinggal di bantaran sungai. 

Untuk proses banjir yang kedua, perlu diingatkan, Depok juga mengalami banjir bukan karena aliran sungai dari Bogor, namun  wilayahnya sudah tertutup lahan terbangun dan drainase buruk. Ini membuat tanah tak dapat menyerap air hujan. Ini pula yang terjadi di Jakarta

Pengelolaan

Perlu diakui pengelolaan sampah di kota-kota besar sangat buruk. Masyarakat dibiarkan begitu saja mengelola sendiri. Sampah rumah tangga biasa dikelola oleh rukun tetangga atau membayar orang yang memungut sampah dan kemudian sampah dikirim ke tempat pembuangan umum (TPU) tanpa memilah-milah antara sampah organik dan non-organik. 

Hal ini akan menimbulkan masalah besar bagi lingkungan sekitar dan juga kondisi tanah di TPU tersebut. Bagi orang yang tidak mampu membayar, sampahnya biasanya dibuang ke sungai. Walaupun aturan pemerintah melarang membuang sampah sembarangan dengan denda yang sangat tinggi, kenyataannya sungai-sungai di Jakarta penuh sampah.

Inilah salah satu yang menyebabkan kejadian banjir di Jakarta. Aliran sungai jadi macet dan air meluap menjadi banjir. Penegakan aturan disertai penyadaran masyarakat dapat memecahkan masalah sampah di perkotaan. 

Pemanfaatan air tanah tidak terkontrol sehingga menyebabkan penurunan tanah dan meluaskan daerah rawan banjir. Pengelolaan air di kota sebesar Jakarta memang merupakan suatu keharusan agar masyarakat mendapat air bersih dan sehat.

Sungai juga menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga dan air selokan. Berjuta liter tiap hari endapan bahan kimia di sungai menyebabkan penyempitan. Selokan-selokan kecil yang macet juga menyebabkan banjir karena tidak mampu menampung air jika hujan dengan intensitas tinggi. 

Ke depan, harus dibuat sistem penyerapan air limbah rumah tangga (semacam septic tank, tetapi tidak hanya untuk buangan hajat manusia, namun juga air kotoran). Maka,  yang masuk dalam tanah air bersih. Kotoran limbah rumah tangga yang mengendap kemudian diambil dan dapat dibuat pupuk. 

Demikian juga dengan air hujan juga dapat dibuatkan sumur resapan. Sistem ini sederhana dan mudah dibuat. Di negara maju,  limbah rumah tangga terkumpul dalam lokasi. Kemudian dikelola kembali menjadi air bersih yang dapat digunakan kembali oleh rumah tangga. 

Hujan merupakan rahmat untuk kehidupan. Banjir terjadi karena ulah manusia. Kelebihan air saat hujan harus bisa dipanen dan disimpan agar saat kemarau tidak kekurangan, misalnya, disimpan dalam sumur resapan.

Di Jakarta sudah ada ketentuan setiap membangun rumah harus mematuhi koefisien dasar bangunan dan membuat sumur resapan. Hanya, ini belum berjalan baik. Jadi, jangan selalu menyalahkan pemerintah atau gubernur. Padahal masyarakat sendiri belum sadar membuat resapan. Air juga bisa disimpan dalam biopori yang juga mudah dibuat.

Jika air hujan terserap dengan baik,  genangan akan berkurang. Biopori dapat dibuat di mana saja karena tidak memerlukan lahan besar.

Untuk tipe pengatasan banjir ketiga, Indonesia perlu belajar dari Amsterdam di Belanda atau Venesia di Italia. Air laut dapat mudah dialirkan ke kanal-kanal perkotaan untuk wisata. 

Pemantauan

Dengan data satelit MTSAT (milik Jepang) yang diterima setiap jam, Lapan dapat memantau kondisi awan wilayah Indonesia juga tiap jam. Awan dapat dikelaskan menjadi beberapa peluang hujaan. Sirkulasi awan secara global juga dapat dipantau. Pembentukan depresi maupun badai tropis yang memengaruhi kondisi cuaca di Indonesia juga dapat dipantau. 

Apalagi, jika satelit Himawari (juga milik Jepang) telah diluncurkan. Jika Lapan dapat menerima dan merekamnya, kondisi cuaca di Indonesia bahkan sepertiga luas Bumi dapat dipantau tiap 10 menit. 

Perubahan penutup lahan dan penurunan muka tanah di DKI Jakarta dan wilayah lain dapat dipantau dari tahun ke tahun karena datanya secara historis direkam dengan baik. Dari data pengindraan dapat dihasilkan informasi ketinggian tempat (elevasi atau digital elevation model). 

Teknologi kini memungkinkan menghasilkan informasi ketinggian tempat dengan resolusi spasial hingga 1,5 m. Dengan kata lain, setiap 1,5 m terdapat informasi ketinggian tempat di suatu wilayah. Data ketinggian tempat ini krusial untuk pemodelan banjir dan berpotensi tergenang. Bahkan dapat untuk mencari posisi embung atau danau buatan yang tepat. 

Maka, bisa disimpulkan, hujan menjadi pemicu banjir. Hanya, perubahan kondisi lahan Jakarta menyebabkan daerah rawan tergenang meluas. Untuk mengatasinya perlu sinergi antara pemerintah pusat, daerah, pemda lainnya, masyarakat, dan juga swasta. Tanpa sinergi, sulit mengatasi banjir di Jakarta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar