Agus
Irfan Budiman ; Wartawan
Tempo
|
TEMPO.CO,
18 Januari 2014
Pada saat menjemput anak pulang dari sekolah,
mata saya tertuju pada sederet kertas yang dipampangkan di papan pengumuman.
Isinya sih hanya pembagian bus para murid yang ikut dalam tur sekolah.
Saya mencari nama Agus dalam daftar itu. Hasilnya nihil. Nama lainnya yang juga tak terlihat, di antaranya Rudi atau Budi. Padahal, nama-nama itu dengan mudah ditemui di mana-mana, apalagi buku telepon. Beberapa tetangga memiliki nama Budi. Jadi, untuk membedakannya, kami yang tinggal di sana terpaksa menambahkan dengan nama di belakangnya sesuai dengan tempat kerjanya. Hasilnya, ada Budi "Telkom" atau Budi "Phillip". Nama Agus, yang bisa berarti bagus atau baik, lebih ramai lagi saya temui. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, selama tiga tahun, saya selalu memiliki teman sekelas dengan nama Agus, pada orang yang berbeda-beda. Ada Agus "Bengong", karena lebih sering kepergok bengong. Ada juga Agus "Gosong", karena kulitnya gelap. Ketika bekerja, ada beberapa teman yang bernama Agus. Tapi, kini, semua telah berubah. Dari puluhan nama anak yang terpampang di sana, nama-nama tenar seperti Agus, Budi, dan Rudi itu menguap. Beriringan dengan kecenderungan beragama mutakhir, kebanyakan nama dari anak-anak yang lahir setelah tahun 2000 memiliki nama-nama berbau Islam. Tapi, bukan pula nama-nama yang umum selama ini terbaca. Sebab, anak yang bernama Abdul Somad, Ahmad Shobirin, atau Nurdin Saleh, misalnya, jarang ditemukan dalam daftar absensi. Nama yang muncul di antaranya Zidan--mungkin karena ayahnya penggila pemain sepak bola asal Prancis Zinedine Zidane. Tapi, ada juga yang menamai anaknya dengan nama Saddam. Nama-nama anak-anak itu memang tidak umum. Nama mereka merupakan hasil penjelajahan orang tua ke berbagai situs Internet atau mencari dari buku-buku yang berisikan ribuan nama bayi. Alhasil, nama-nama yang muncul seperti tidak biasa. Kombinasi nama mereka pun semakin banyak dan unik. Ada yang memadukan berbagai nama dari berbagai negara. Maka, nama anak mereka bukan saja terdiri atas dua-tiga nama ,tapi lebih dari itu. Mirip seperti pemain sepak bola Brasil. Mereka, para orang tua anak-anak itu, tentu bisa menjelaskan perihal arti namanya. Satu yang pasti, nama-nama itu bermakna indah, sesuai dengan harapan orang tuanya. Seperti baju, potongan rambut, dan model mobil, penamaan anak pun mengikuti zamannya. Jauh sebelum itu, ketika masih kanak-kanak, salah seorang tetangga saya ada yang memiliki nama yang menurut saya unik, yakni Berdikawati. Belakangan saya paham, menilik tahun kelahiran sang tetangga yang terjadi pada masa Bung Karno masih jadi pemimpin negeri ini, nama itu diberikan orang tuanya agar menjadi wanita yang berdikari--salah satu slogan yang terkenal dari si Bung, yang artinya "berdiri di atas kaki sendiri". Seorang famili juga memiliki nama yang tak kalah unik, yakni Chandra Jaya. Ya, namanya seperti itu, mirip seperti nama kelurahan. Dia juga dilahirkan di masa ketika Sukarno masih menjadi penguasa di negeri ini. Nama "Jaya" selalu dilekatkan dengan anak laki-laki. Sedangkan nama perempuan berdekatan dengan nama "Wati". Namun, di masa Orde Baru, lain lagi. Ketika militer menjadi pengelola negeri ini, seorang anak tetangga yang pada saat itu telah menikah, memberi menamai anaknya: Abriansyah. Anaknya memang lahir pada 5 Oktober, yang bertepatan dengan kelahiran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), atau yang dikenal dengan nama TNI saat ini. Mungkin, harapannya, anaknya itu tumbuh gagah perkasa seperti anggota ABRI. Tren memang terus berubah. Pertanda waktu terus berjalan. Dan ketika memiliki banyak teman yang bernama Agus, itu juga menjadi pertanda, bahwa kita memang tidak muda lagi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar